Islam Memuliakan Pembantu

Oleh: Hafidz Abdurrahman

Ketika Keluarga Membutuhkan Pembantu

Islam telah mengatur kehidupan suami-istri dalam sebuah keluarga, sebagai kehidupan dua sahabat, yang saling membantu satu sama lain. Meski demikian, Islam juga membagi fungsi dan peran masing-masing. Suami diperintahkan untuk mencari nafkah dan mengurus urusan di luar rumah, sedangkan istri diperintahkan untuk menjaga rahasia, harta dan kehormatan keluarganya di dalam rumah suaminya. Seluruh urusan domestik rumah dibebankan ke pundak istri. Namun, karena kehidupan suami-istri adalah dua sahabat, bukan dua mitra usaha, maka batasan tersebut tidak bersifat mutlak, tetapi fleksibel. Artinya, masing-masing bisa saling membantu satu sama lain, sebagaimana filosofi persahabatan. Bukan filosofi mitra bisnis, dengan kalkulasi untung dan rugi.

Dalam konteks itulah, seorang suami berkewajiban membantu istrinya dalam mengatur dan mengurus urusan domestik rumahnya. Bisa secara langsung dengan membantunya sendiri, atau tidak langsung dengan mengusahakan pembantu untuk membantu istrinya. Ini merupakan kewajiban suami terhadap istrinya. Karena itu, kehadiran pembantu di tengah kehidupan rumah tangga pun akhirnya menjadi kebutuhan. Terlebih jika keluarga tersebut mempunyai jumlah anggota yang banyak, di mana tugas mempersiapkan makanan, membersihkan dan mengatur perabot, mencuci dan menyiapkan pakaian, dan kebutuhan lainnya tidak lagi bisa ditangani oleh satu orang (istri).

Tetapi, seringkali adanya pembantu juga menjadi problem tersendiri, terutama ketika tinggal serumah dengan majikannya. Terkadang keberadaan mereka di sana bisa menjadi fitnah, menyebarkan keburukan, merusak dan menghancurkan rumah tangga, termasuk anak-anak mereka akibat perilaku majikan pria atau putra-putranya terhadap pembantu perempuannya; atau perilaku majikan perempuan atau putri-putrinya terhadap pembantu pria mereka. Selain itu, untuk kasus pengasuh anak-anak, aktivitasnya kadangkala membuatnya terpaksa menyusui anak majikannya sehingga menyebabkan terjadinya percampuran nasab yang bisa berdampak pada perubahan hukum yang lain. Dampak lain, jika pembantu tersebut tidak amanah, mempunyai perilaku buruk, suka menipu dan berbohong, maka tidak saja kerugian materi akan menimpa keluarga yang dihuninya, tetapi juga kerusakan akhlak dan perilaku buruk lainnya tidak ayal akan tumbuh di tengah keluarga tersebut.

Memilih Pembantu

Nabi pernah bersabda, “Agama seseorang mengikuti agama temannya.” Hadits ini juga berlaku untuk keluarga yang menggunakan jasa pembantu. Sebagai bagian dari keluarga, pembantu bisa membawa kebaikan dan sebaliknya. Maka, untuk memilihnya harus memperhatikan beberapa perkara: Pertama, agama dan ketakwaannya. Ini penting, karena inilah yang menjadi modal perilaku dan akhlaknya. Jika dia bertakwa, maka perilaku dan akhlaknya akan baik. Dia juga tidak akan menipu, berbohong dan menyebarkan rahasia keluarga tempatnya bekerja kepada orang lain. Kedua, mengerti hukum syariah, seperti khalwat, ikhtilath, menutup dan membuka aurat, menerima dan melayani tamu serta hukum-hukum yang lainnya. Kedua, rajin, trampil, cekatan dan ulet. Karena ini juga menjadi modal penting, apakah jasa yang dia berikan kepada keluarga tersebut memuaskan atau tidak. Jika memuaskan, maka akan menyebabkan hubungan keluarga tersebut dengan dirinya menjadi baik. Begitu sebaliknya. Ketiga, cerdas. Ini juga penting, karena jika tidak, perintah atau permintaan dari majikannya tidak akan bisa langsung dikerjakan, kecuali dengan penjelasan yang panjang, detail dan tidak cukup sekali. Padahal, seringkali banyak kebutuhan harus dilakukan dan dilayani dengan cepat dan tepat. Ini akan sulit dilakukan jika pembantu tidak cerdas.

Memperlakukan Pembantu

Islam telah mengatur, memanusiakan dan memuliakan pembantu. Islam juga mengakui hak-hak mereka untuk pertama kalinya dalam sejarah, ketika sejarah umat lain justru dipenuhi dengan perlakukan yang tidak manusiawi. Ini bisa dibuktikan dalam sejarah kehidupan Rasul SAW dengan para pembantu Baginda SAW. Tidak hanya itu, Nabi SAW pun memerintahkan para majikan agar memperlakukan para pembantunya secara manusiawi, penuh kasih sayang dan tidak membebani mereka dengan beban yang tidak mampu mereka pikul. “Pembantu kalian adalah saudara kalian. Allah menjadikan mereka di bawah tanggung jawab kalian. Siapa saja yang saudaranya menjadi tanggung jawabnya, maka hendaknya dia memberi makan kepadanya seperti yang dia makan; memakai pakaian seperti yang dia pakai, dan tidak membebani mereka dengan beban yang tidak bisa mereka pikul. Jika kalian membebani mereka dengan pekerjaan, maka bantulah mereka.” (Ibn al-Hajar, Fath al-Bari, I/115). Islam telah mengangkat martabat mereka pada level saudara, sesuatu yang belum pernah ada dalam sejarah.

Rasul SAW pun mengharuskan majikan untuk membayar pembantunya dengan upah yang layak dan memadai. Juga tidak boleh zalim dan menangguh-nangguhkan pembayaran mereka. Nabi bersabda, “Berikanlah buruh itu upahnya, sebelum keringatnya kering.” (HR Ibn Majah). Peringatan terhadap tindakan zalim tersebut juga dinyatakan dalam sabda Baginda SAW yang lain, “Allah berfirman: Tiga golongan yang akan Aku tuntut pada Hari Kiamat.. orang yang mengontrak (jasa) buruh, dia minta dipenuhi haknya, tetapi tidak mau memberikan upahnya.” (HR  Bukhari).

Majikan juga tidak boleh memaksa pembantunya untuk memikul beban kerja yang bisa merusak kesehatannya sehingga dia tidak bisa menunaikan kewajibannya. Nabi SAW pun berpesan kepada para majikan, “Beban yang kamu ringankan dari pembantumu kelak akan menjadi pahala bagimu dalam timbangan amal kebaikanmu.” (HR Ibn Hibban). Bahkan, Islam pun mengajarkan agar kita tetap hormat kepada pembantu, “Tidak ada sikap takabur (pada diri seseorang) yang makan bersama pembantunya.” (HR Bukhari). Nabi pun memberikan teladan nyata dalam hidup Baginda, “Rasulullah SAW tidak pernah sekalipun memukul dengan tangan Baginda apapun, baik istri maupun pembantu Baginda..” (HR Muslim), demikian penuturan Aisyah. Saat Baginda SAW melihat Abu Mas’ud al-Anshari memukul budaknya, Baginda SAW pun menegurnya. Budak itu pun dimerdekakan seketika. Nabi agung itu pun berkomentar, “Kalau seandainya kamu tidak melakukannya, pasti kamu akan dilahap neraka.” (HR Muslim)

Anas bin Malik, pembantu Nabi SAW menjadi saksi kemuliaan akhlak Baginda SAW  kepada pembantunya. “Rasulullah adalah orang yang akhlaknya paling mulia. Suatu ketika Baginda mengutusku untuk suatu keperluan. Aku berkata, ‘Demi Allah, saya tidak mau pergi – meski di dalam hatiku, saya akan berangkat memenuhi perintah Nabi kepadaku.’ Baginda bersabda, ‘Baik, kalau begitu saya akan keluar hingga saya melihat anak-anak yang bermain di pasar.’ Tiba-tiba, Rasulullah SAW memegang tengkukku dari belakang. Aku melihatnya, Baginda pun tertawa, dan bersabda, ‘Wahai Anas kecil, pergilah sebagaimana yang saya perintahkan kepadamu.’ Aku pun menjawab, ‘Baik. Saya akan berangkat ya Rasulullah.’ Anas pun berkata, ‘Demi Allah, aku telah membantu Baginda selama 7 atau 9 tahun. Aku tidak pernah tahu Baginda mengomentasi apapun yang aku lakukan, ‘Kenapa kamu melakukan ini, dan itu.’ Atau mengomentari apa yang aku tinggalkan, ‘Mengapa kamu tidak melakukan ini dan itu?’ (HR Muslim)

Bahkan, Nabi pun memperhatikan urusan pembantunya hingga urusan pribadinya. Dituturkan oleh Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami, “Aku pernah membantu Nabi SAW. Baginda bersabda kepadaku, ‘Wahai Rabi’ah, apakah kamu tidak ingin menikah?’ Aku menjawab, ‘Tidak, wahai Rasulullah. Saya tidak ingin menikah. Saya tidak mempunyai sesuatu untuk bisa menghidupi istri. Saya juga tidak ingin menyibukkan diri hingga melupakan Tuan.’ Baginda SAW bersabda, ‘Tinggalkanlah saya.’ Setelah itu, Baginda SAW pun mengulanginya lagi.’ Aku pun menjawabnya dengan jawaban yang sama. Hingga Baginda mananyakannya yang ketiga, aku pun menjawabnya, ‘Tentu, ya Rasulullah. Perintahkanlah apa yang Tuan kehendaki, atau Tuan inginkan.’ Baginda pun bersabda, ‘Berangkatlah ke keluarga si Fulan di sebuah perkampungan kaum Anshar.” (HR Ahmad dan al-Hakim)

Bahkan, akhlak mulia ini tidak hanya ditujukan kepada pembantu Muslim, karena Baginda SAW pun memperlakukan pembantu non-Muslim juga sama-sama baiknya, sebagaimana yang Baginda SAW tunjukkan terhadap pembantu Baginda yang beragama Yahudi. Tatkala dia sakit, Baginda SAW pun menjenguknya. Saat menjelang ajalnya, Nabi pun menginginkannya mengucapkan dua kalimah syahadat, anak Yahudi itu pun melihat ayahnya. Ayahnya pun memerintahkannya, “Ikutilah perintah Abu Qasim (Nabi SAW).Dia pun akhirnya masuk Islam, mengucapkan dua kalimah syahadat, dan akhirnya meninggal dengan khusnul khatimah. Nabi SAW pun terharu seraya bersabda, “Segala puji hanya milik Allah, Dzat yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR al-Bukhari)

Begitulah akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam terhadap pembantu. Tidak hanya itu, Islam pun menetapkan sanksi yang tegas kepada para majikan yang bersikap kasar kepada pembantunya, yaitu seketika dilarang untuk darinya, dan kepadanya dikenakan sanksi yang tegas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*