Eropa diguncang serangan mengerikan di Norwegia, lebih dari 90 orang dibantai dalam dua serangan.
Banyak orang mempertanyakan apa yang memotivasi terduga pembantai itu- Anders Behring Breivik. Namun, banyak juga akan mempertanyakan apa yang memotivasi media Inggris dan mereka yang disebut sebagai ‘pakar’ untuk mulai menyalahkan semuanya kepada masyarakat Muslim tak lama setelah peristiwa itu, dengan hanya memiliki fakta yang samar, berdasarkan prasangka dan ego yang berlebihan.
Dalam beberapa menit secara ceroboh mereka berspekulasi ‘Kelompok Teroris Islam’ adalah yang paling mungkin bertanggung jawab. Namun, kemudian ketika menjadi sedemikian jelas bahwa tidak ada seorang Muslim pun yang terlibat, bahasanya kemudian berubah. Para ‘teroris Islam’ kemudian berubah menjadi ‘lone madman’ (seorang gila yang sendirian) dan kata ‘terorisme’ kemudian tidak lagi dipakai oleh para politisi maupun juga media.
Berbeda dengan sebutan hiperbolis untuk membasmi kaum Muslim yang diduga merupakan para pendukung ‘radikal’ yang dipengaruhi tindakan kekerasan selama peristiwa sebelumnya, kasus ini telah diisolir pada satu individu saja, tidak berbicara mengenai tren politik lebih luas di masyarakat yang melahirkan sikap individu itu muncul.
Selanjutnya, media Inggris memutuskan untuk mengabaikan kesalahan awal mereka, dan gagal untuk mendidik para pembacanya bahwa Situasi Terorisme dan Laporan Tren 2010 yang menyatakan bahwa dari 294 insiden ‘teroris’ di Eropa pada tahun 2009, hanya satu insiden yang dilakukan oleh Muslim.
Alasan-alasan Islamophobia yang dilakukan oleh seluruh media Eropa dan para politisi perlu dipahami.
Salah satu aspeknya adalah kefanatikan rasis Jahiliah – xenofobia (ketakutan atas orang asing) di Eropa yang ditandai oleh sentimen anti-Muslim oleh sang pembantai Breivik, permusuhannya terhadap kaum imigran dan kaum minoritas. Pandangan ini, yang merupakan pandangan Partai Nasional Inggris (BNP) dan Liga Pertahanan Inggris (EDL) Inggris, telah tumbuh bukan saja sejak adanya ‘Perang Melawan Teror’ tetapi juga karena situasi ekonomi yang buruk di Eropa. Rasisme seperti ini tumbuh subur di Eropa karena keyakinan sekular, meskipun telah dilaksanakan selama berada-abad, gagal untuk mengangkat manusia dari kecenderungan-kecenderungan dasarnya dan menyatukan masyarakat dalam suatu ikatan berdasarkan alasan intelektual yang masuk akal.
Tapi Islamofobia yang lebih jahat adalah bahwa para politisi dan media berhaluan ideologis telah memicu iklim kebencian di Eropa terhadap Islam dan kaum Muslim sebagai bagian dari ‘Perang Melawan Teror’ yang mereka lakukan. Pada bulan Februari 2011, Perdana Menteri Inggris David Cameron ketika berbicara pada sebuah konferensi keamanan di Munich, ia menyerang doktrin multikulturalisme dan mengkaitkannya dengan seruan bagi umat Islam untuk bergaya hidup lebih kebarat-baratan. Pidato itu dipuji oleh pemimpin rasis Front Nasional Perancis, Marine Le Pen.
Cameron. Sama dengan sikap Blair dan Sarkozy di Prancis, menyerang Islam karena dia menyadari bahwa di dunia sekarang ini, di mana kapitalisme sekuler telah gagal, masyarakat sedang mencari alternatif. Kaum Muslim, pasti akan melihat kepada Islam sebagai sebuah alternatif. Jadi, mereka menekan umat Islam untuk berperilaku kebarat-baratan, berpikiran sekuler, meninggalkan nilai-nilai Islam dan meninggalkan seruan untuk penerapan hukum Islam di dunia Muslim. Mereka melarang jilbab dan niqab di Eropa, sementara mengatakan bahwa pemerintahan Islam bukanlah menjadi pilihan untuk menggantikan pemerintahan diktator sekuler dalam revolusi di Negara-negara Arab.
Ketika para politisi ini, dan sekutu mereka di media mengutuk Islam, hal ini telah menciptakan iklim dimana rakyat jelata menjadi ketakutan dan membenci kaum Muslim, sehingga menambah tekanan pada komunitas Muslim.
Dalam iklim seperti ini, komunitas Muslim harus menyadari tantangan – untuk tetap berpegang pada nilai-nilai Islam – dan terus mengajak orang lain untuk menoleh pada agama yang indah ini yang memiliki pandangan menyeluruh tentang kehidupan (http://www.hizb.org.uk/current-affairs/uk-media-and-the-norway-massacres-why-they-targeted-islam)