Hukum Memanfaatkan Barang Gadai (Rahn)

Tanya :

Bagaimanakah hukum memanfaatkan barang gadai (rahn)? Misalnya, seseorang menggadaikan motornya kepada si Fulan. Bolehkah Fulan mengendarai motor tersebut?

Jawab :

Perlu dipahami lebih dahulu bahwa pada saat penggadai (rahin) menyerahkan barang gadai (rahn/marhun) kepada pemegang gadai (murtahin), tak berarti barang gadai itu menjadi milik pemegang gadai, tapi tetap milik penggadai (rahin). Dalilnya hadits Abu Hurairah RA, dia berkata, “Nabi SAW bersabda, ‘Tak terhalang barang gadai dari pemiliknya yang telah menggadaikannya. Pemiliknya berhak mendapat keuntungannya, dan dia menanggung kerugiannya.” (HR Syafi’i & Daruquthni, hadis hasan).

Hadits di atas menunjukkan barang gadai tak terpisahkan dari pemiliknya, yaitu penggadai. Jadi yang memiliki barang gadai termasuk manfaat yang muncul darinya adalah tetap penggadai, bukan pemegang gadai. Keberadaan barang gadai di tangan pemegang gadai hanyalah sebagai kepercayaan dalam utang piutang (dain) antara penggadai dan pemegang gadai, bukan berarti pemegang gadai lalu memilikinya atau berhak memanfaatkannya. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 2/340; Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 6/62).

Maka penggadai tetap berhak atas manfaat barang gadai dan tetap berhak pula mengambil imbalan (ujrah) ketika barang gadai disewakan kepada orang lain, baik orang lain itu pemegang gadai atau bukan. (Taqiyuddin An-Nabhani, ibid., 2/343).

Dalam kasus yang ditanyakan, jika pemegang gadai mengendarai motor yang digadaikan dengan akad sewa (ijarah), hukumnya boleh. Namun kalau pemegang gadai mengendarai motor itu tanpa imbalan, ada rincian hukum syara’ sebagai berikut :

Pertama, jika utang piutang (dain) yang ada bukan qardh (pinjam uang), misalnya utang karena jual beli yang belum dibayar harganya, atau karena ijarah yang belum dibayar sewanya, atau utang lainnya selain qardh, boleh pemegang gadai (murtahin) memanfaatkan barang gadai, dengan seizin penggadai (rahin). Mengapa boleh? Karena dalam hal ini tak terdapat nash yang melarangnya dan manfaat itu tak memenuhi definisi riba mengingat tak ada qardh di sini.

Kedua, jika utang piutang (dain) yang ada berupa qardh (pinjam uang), hukumnya tidak boleh pemegang gadai memanfaatkan barang gadai, walaupun diizinkan oleh rahin. Mengapa tidak boleh? Karena terdapat nash yang melarangnya dan karena manfaat itu termasuk riba yang diharamkan dalam akad qardh. Dari Anas RA dia berkata, “Rasulullah SAW ditanya,‘Seorang laki-laki dari kami meminjamkan (qardh) harta kepada saudaranya, lalu saudaranya memberi hadiah kepada laki-laki itu. Maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Jika salah seorang kalian memberikan pinjaman (qardh), lalu dia diberi hadiah, atau dinaikkan ke atas kendaraan si peminjam, maka janganlah dia menaikinya dan janganlah menerimanya. Kecuali hal itu sudah menjadi kebiasaan sebelumnya di antara mereka.” (HR Ibnu Majah)

Berdasarkan hadits ini, haram hukumnya pemegang gadai memanfaatkan barang gadai, jika utangnya berupa qardh. Kecuali, jika sebelumnya di antara mereka berdua sudah terbiasa saling memberi atau meminjamkan barang, maka hukumnya boleh. (Taqiyuddin An-Nabhani, ibid., 2/341-343).

Jadi, dalam kasus di atas, jika utang piutangnya bukan qardh, Fulan boleh mengendarai motor yang menjadi barang gadai tanpa imbalan, asalkan diizinkan penggadai (pemilik motor). Jika utang piutangnya berupa qardh, Fulan tak boleh mengendarai motor tersebut, walaupun diizinkan penggadai. Kecuali jika sebelumnya di antara mereka berdua sudah terbiasa saling memberi atau meminjamkan barang, hukumnya boleh. Wallahu a’lam. (ust siddiq al jawwie)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*