Oleh: TRIAS KUNCAHYONO
Ia adalah “Al-Za’iim”, Sang Pemimpin. Selama 42 tahun, Moammar Khadafy memimpin negerinya, Libya, sejak merebut kekuasaan lewat kudeta pada tahun 1969. Kini, sinar kekuasaannya mulai pudar. Ia baru menyadari bahwa kekuasaan ada batasnya. Walau ia bersumpah akan mempertahankan kursi kekuasaan sampai titik darah penghabisan, walau anaknya, Saif al-Islam, bersumpah akan menjadikan Tripoli banjir darah, apa artinya banjir darah jika itu adalah darah rakyatnya sendiri?
Seperti pepatah lama, honores mutant mores, saat manusia mulai berkuasa, berubahlah pula tingkah lakunya. Maka itu, sejarawan Lord Acton dalam suratnya kepada Mandell Creighton, tertanggal April 1887, menulis, “Power tends to corrupt, and absolute power to corrupt absolutely”—orang yang memiliki kekuasaan cenderung jahat, dan apabila kekuasaan itu demikian banyak, maka kecenderungan akan jahat itu semakin menjadi-jadi.
Kejahatan paling buruk seorang pemimpin itu adalah apabila ia merasa sudah lebih dari orang lain, menjadi manusia super, bahkan semidewa; minta dipuja-puja, bahkan minta dikultuskan. Itulah yang terjadi pada Khadafy.
“Saya seorang pemimpin internasional, pemimpin para penguasa Arab, raja diraja Afrika, dan status internasional saya tidak akan memungkinkan saya merosot ke tingkat yang lebih rendah,” katanya dalam KTT Liga Arab, Maret 2009.
Dalam banyak tulisan, Khadafy digambarkan memerintah dengan tangan besi sejak berkuasa. Para mahasiswa dipaksa mempelajari teori-teori politiknya, seperti yang termuat dalam Buku Hijau. Partai-partai politik dilarang dan orang yang berani mengkritik dirinya dipenjara, disiksa, dan beberapa dibunuh.
Masa-masa pemerintahannya selama empat dekade menghasilkan sebuah negara yang sama sekali tidak memiliki institusi yang kredibel dan juga tak memiliki kelas menengah. Pada masanya, persatuan dengan mudah dijadikan alat bagi kekuasaan. Atas nama persatuan, ia dapat membuat politik apa pun, sesuai dengan nafsu kekuasaannya. Pemerintahannya berhasil mengelabui rakyat untuk berbakti dan menyembah berhala kepada “persatuan yang sakral dan mistis” itu.
Sebagaimana mitos dapat mengamankan kekuasaan para dewa, demikian pula mitos persatuan dapat mengamankan kekuasaan rezim Khadafy. Demikianlah, persatuan yang semula adalah sarana untuk mengejar dan meraih kemerdekaan sekarang menjadi alat untuk melestarikan kekuasaan yang justru membelenggu kemerdekaan.
Namun, semuanya kini mendekati akhir. Sama seperti Saddam Hussein, yang sering disebut sebagai “Singa dari Babilon”, akhirnya tak mampu walau sekadar mengaum. Hosni Mubarak, yang karena kokoh kekuasaannya disebut sebagai “Sphinx Giza” atau “Firaun”, runtuh juga. Moammar Khadafy, Sang Pemimpin itu, harus menyadari pula bahwa waktunya telah habis. (kompas.com, 24/8/2011)
Komentar:
Nasib tragis pemimpin bengis, dicampakkan sang tuan penjajah ketika tidak lagi bermanfaat. Berikutnya penjajah mencari pengganti baru atas nama demokrasi. Tidak ada solusi kecuali kembali kepada Khilafah yang membebaskan dari penjajahan secara total..[]