Sejumlah kawat diplomatik AS kembali dibocorkan oleh Wikileaks lewat lamannya. Kali ini adalah yang dirilis oleh Kedubes AS di Jakarta. Sejumlah dokumen mengenai Indonesia kembali muncul di situs Wikileaks sejak 24 Agustus 2011. Dokumen di Wikileaks tersebut merupakan laporan kawat dari Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia kala itu, Cameron Hume, kepada kementerian Luar Negeri AS di Washington DC dan beberapa pihak lainnya.
Banyak hal yang terungkap dari bocoran kawat diplomatik tersebut. Beberapa di antaranya: Pertama, sejumlah menteri KIB II diklaim potensial menjadi sekutu AS. Hal itu termaktub dalam dokumen berkode referensi 09JAKARTA1773 yang dibuat pada 23 Oktober 2009. Dokumen itu berjudul, “Sekutu yang Menjanjikan untuk Kemitraan Komprehensif dalam Kabinet Baru Indonesia.” Menurut WikiLeaks, Kedubes AS di Indonesia menyebut sejumlah nama menteri yang pro-Amerika. Menteri-menteri yang layak dijadikan sekutu itu berasal dari berbagai bidang profesi. Misalnya untuk bidang ekonomi, AS menyebut Sri Mulyani, Mari Pangestu, MS Hidayat dan Hatta Rajasa layak dijadikan sekutu. Di bidang kesehatan, disebut Endang Rahayu Sedyaningsih. Nama lainnya yang disebut adalah Gusti M. Hatta, yang berpotensi menjadi sekutu AS di bidang lingkungan. Dalam bidang keamanan dan pertahanan, AS menyebut nama Djoko Suyanto dan Purnomo Yusgiantoro (Vivanews, 26/8).
Pemilihan Dr Endang Rahayu Sedyaningsih sebagai Menkes disambut gembira oleh AS. “Ini adalah pertanda baik,” demikian tanggapan Kedubes AS. Endang diakui mereka dekat dengan USAID. Adapun Menteri LH Gusti M Hatta juga ditandai sebagai ‘akademisi yang dihormati’. Polhukam menjadi bidang yang sangat penting. Kedubes AS menyebutkan tokoh kunci yang harus dipegang adalah Menko Polhukam Djoko Suyanto yang rupanya alumni pelatihan di Nellis Air Force Base. Satu lagi adalah Menhan Purnomo Yusgiantoro yang menurut Kedubes AS “telah bekerja dengan kita dahulu untuk hal kontraterorisme, energi dan lainnya.” Menteri SBY yang juga dianggap penting di mata AS adalah Menlu Marty Natalegawa. Bahkan Kedubes AS Jakarta meminta Washington memberi perlakuan khusus. (Detik.com, 25/8)
Kedua, permintaan dukungan Sri Mulyani (yang saat itu menjadi Menkeu KIB II) kepada AS. Dokumen Wikileaks membeberkan bahwa mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Inderawati (SMI) pernah meminta dukungan Amerika Serikat melalui Menlu AS Condoleezza Rice. Dalam dokumen yang digolongkan ‘Bukan Rahasia, Hanya Untuk Keperluan Resmi’ namun bersifat ‘Sensitif’ tertanggal 26 Maret 2006 itu, Kedubes AS di Jakarta melaporkan informasi yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Wakil Menteri Luar Negeri AS Christopher Hill (Inilah.com, 25/8).
Ketiga, terkait Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin yang masuk daftar cekal yang disebut ’00 Hit’, alias sudah di-blacklist untuk bisa masuk AS. Kementerian Pertahanan mengakui hingga kini Sjafrie masih dicekal AS. Dalam rilis terbaru Wikileaks disebutkan 00 Hit alias blacklist atas nama Sjafrie ini sudah berlaku sejak 21 September 2006. Sjafrie disebut melakukan dua perbuatan yang membuatnya tidak berhak mendapatkan visa AS. Dua perbuatan itu adalah aktivitas teror dan pembunuhan ekstrajudisial. “Pos (Kedubes AS) paham bahwa aktivitas teror bisa diabaikan oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri AS, tapi tidak dengan pembunuhan ekstrajudisial,” kata mereka. Kasus terkait teror yang melibatkan Sjafrie, disebutkan Kedubes AS adalah aksi kekerasan ekstremis Muslim di Sulsel pada tahun 2000. Adapun terkait pembunuhan ekstrajudisial, Sjafrie dianggap terlibat kasus Timor Timur dan Trisakti 1998. Kawat ini juga memuat aneka bantahan Sjafrie di berbagai media nasional. Kedubes AS meminta arahan karena di sisi lain Sjafrie ini tokoh penting untuk mendorong kerjasama militer RI-AS. Kalau Sjafrie tetap tidak bisa pergi ke AS, itu akan menjadi ganjalan dalam hubungan kedua Negara (Detik.com, 25/8).
Keempat, pemantauan AS terhadap sejumlah parpol dan pejabat Indonesia yang dianggap berpotensi untuk menjadi pemimpin baru pasca SBY. Wikileaks melalui situs resminya menyebut ada dua politisi yang akan maju dalam Pilpres 2014. Mereka adalah Hatta Rajasa dan Aburizal Bakrie. Ada sebuah dokumen Kedubes AS Jakarta berkode 10JAKARTA68 yang dibuat tanggal 19 Januari 2010 silam, bertajuk ‘Menatap Pemilu, Parpol di Indonesia Memilih Pemimpin Baru’.
Dalam laporan ke Washington, Kedubes AS memantau perkembangan parpol di Indonesia untuk kontestasi Pilpres 2014. Mereka memantau Ketum PAN dan Golkar, yang mereka anggap akan maju dalam Pilpres 2014. “Sebagaimana Indonesia menggelar Pilkada pada 2010, Hatta dan Bakrie akan mulai memposisikan diri mereka sebagai kandidat Presiden 2014,” demikian analisis mereka.
Kedubes AS akan memantau kongres-kongres partai politik besar di Indonesia. Karena di situlah akan muncul kandidat Pilpres 2014. “Ini adalah tahun kunci untuk parpol dan kandidat untuk memposisikan diri mereka di Pilpres 2014, karena Indonesia menggelar Pilkada di seluruh negeri,” lanjut laporan itu kepada Washington (Detik.com, 26/8).
Selain itu, institusi Polri rupanya tidak luput dari pantauan AS. Wikileaks mengungkap kawat diplomatik Kedubes AS Jakarta bagaimana mereka memetakan tokoh-tokoh kunci Polri di era Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD). AS menganggap reputasi Polri hancur akibat kasus Cicak vs Buaya. Kawat diplomatik berkode 09JAKARTA2012 bertanggal 8 Desember 2009 diungkap Wikileaks di situs resminya, (Detik.com, 26/8)
Bukan hanya pemerintahan SBY saja yang dipantau AS. Wikileaks mengungkap kawat diplomatik Kedubes AS Jakarta yang menunjukkan DPR RI juga menjadi perhatian. AS melihat DPR periode 2009-2014 masih rentan dengan praktik korupsi. Kawat diplomatik berkode 09JAKARTA1653 tertanggal 2 Oktober 2009 dimuat Wikileaks di situs mereka. Kawat ini bertajuk, ‘Parlemen Baru Indonesia Menghadapi Harapan Tinggi’. AS berharap anggota DPR periode ini jauh lebih baik dari pendahulunya yang banyak skandal korupsi. “Harus tetap dilihat apakah para anggota baru ini akan menjadi korban budaya politik uang,” kata mereka. Kepada Washington mereka melaporkan banyak anggota DPR RI yang sudah habis-habisan uang demi menjadi anggota dewan. Upaya anggota DPR itu untuk kembali modal, dinilai Kedubes AS adalah sebuah keniscayaan (Detik.com, 26/8).
Wikileaks: Hanya Mengkonfirmasi
Apa yang diungkap oleh Wikileaks tentang campur tangan AS di negeri ini-sebagaimana di berbagai belahan dunia lain-bukanlah hal baru. Harus dikatakan, bahwa Wikileaks sesungguhnya sekadar mengkonfirmasi (menegaskan) berbagai analisis di seputar intervensi AS tersebut. Hizbut Tahrir Indonesia sendiri telah sering mengingatkan kaum Muslim, baik pejabat maupun masyarakat, untuk mewaspadai berbagai intervensi negara-negara Barat, khususnya AS, sebagai pengemban ideologi Kapitalisme. Sayangnya, berbagai analisis tentang campur tangan AS atas negeri ini sering seoalh dianggap angin lalu. Bahkan berbagai dokumen yang dimuat dipublikasikan Wikileaks yang sesungguhnya merupakan kawat diplomatik yang dikeluarkan Kedubes AS tetap diabaikan oleh sejumlah kalangan. Mereka seolah tidak mengakui-jika tidak dikatakan terkesan menutup-nutupi-adanya intevensi AS di negeri ini.
Terlepas dari berbagai tanggapan-termasuk bantahan atas campur tangan AS di negeri ini-sejatinya apa yang diungkap Wikileaks dibenarkan oleh sejumlah realitas yang tak terbantahkan. Berbagai kebijakan Pemerintahan SBY sejak awal kepemimpinannya di periode pertama telah nyata-nyata amat liberal dan tentu saja pro AS. Munculnya banyak UU liberal di negeri ini adalah buktinya. Bahkan sebagian UU tersebut telah lahir sebelum kepemimpinan SBY. Ini menunjukkan bahwa campur tangan asing khususnya AS sebetulnya sudah terjadi sejak lama, tidak hanya baru terjadi pada masa Pemerontahan SBY. Sebut saja UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, UU Mineral dan Batu Bara, UU Anti Terorisme, dsb. Sebagian UU tersebut-seperti UU SDA, misalnya-bahkan diseponsori oleh Bank Dunia yang sahamnya juga dimiliki oleh AS.
Secara langsung AS juga disinyalir mengintervensi kebijakan Pemerintah dalam kasus penyerahan Blok Cepu kepada Exxon Mobile lewat kunjungan Presiden AS George W Bush. Kunjungan Presiden AS Obama dan Menlu AS Hilarry Clinton beberapa waktu lalu tentu juga membawa agenda yang tidak mungkin nihil intervensi. Pasalnya, AS selama ini merupakan Negara pengemban utama ideologi Kapitalisme yang sudah terkenal sepak terjangnya dalam mengintevensi berbagai negara.
Yang juga sangat kasatmata adalah intvernsi AS dalam masalah Papua. Beberapa kali Kongres AS mempersoalkan integrasi Papua ke NKRI selain terus-menerus mengusik apa yang mereka anggap sebagai pelanggaran HAM di Papua.
Bahkan yang menarik, naiknya SBY ke tampuk RI-1 sejak awal sudah menimbulkan kontroversi di kalangan sejumlah tokoh negeri ini. Kita masih ingat, beberapa tahun lalu pernah ada ribut-ribut di seputar adanya campur tangan asing dalam Pemilu Presiden yang sedang berlangsung, sebagaimana disinyalir terutama oleh Kwik Kian Gie. (Kompas, 9/7/2004). Sejumlah kalangan menduga kuat bahwa kenaikan SBY merupakan suatu rekayasa kelompok tertentu yang berkolaborasi dengan pihak asing, termasuk kekuatan-kekuatan asing yang berkolaborasi dengan lembaga-lembaga penelitian. Banyak kalangan juga mulai mengaitkan keterlibatan lembaga-lembaga seperti Carter Centre (milik mantan Presiden AS Jimmy Carter dan NDI/National Democratic Institute (milik Partai Demokrat AS) dalam mempengaruhi hasil Pemilu Presiden. NDI, misalnya, lembaga yang mensponsori penelitian-penelitian di Indonesia, katakanlah LP3ES, sejak awal telah menghasilkan perolehan-perolehan angka yang hampir akurat sesuai dengan perolehan KPU, sekalipun sebenarnya populasi sample yang diambil itu nggak ada 0,1 persen. Ini dianggap sebagai desain yang diciptakan sedemikian rupa untuk mendikte angka-angka perolehan di KPU itu. Belum lagi permainan teknologi informasi. Dikatakan bahwa ada kelemahan di undang-undang Pemilu saat ini, di tingkat pemasukan data tidak ada pengawas. Jadi, ketika data manual dipindah ke data digital itu tidak ada orang yang mengawasi. (www.rnw.n,12/7/04).
Di samping itu, sejumlah kalangan juga mempersoalkan keberadaan kantor National Democratic Institute (NDI) dan Carter Centre yang besebelahan dengan kantor pusat data TI KPU.
Berkenaan dengan adanya dugaan campur tangan asing dalam Pemilu Presiden ini, wajar jika mantan Menneg PPN/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie pernah mensinyalir bahwa peta kepemimpinan nasional 2004-2009 telah didesain oleh pihak asing. Kwik berpendapat, tidak hanya faktor ekonomi, tapi juga soal politik, Indonesia masih dikendalikan AS. (www.bisnis.com, 13/7/04).Bahkan, sejumlah kalangan di DPR/MPR juga merasakan bahwa tekanan asing sesungguhnya sudah terasa sejak proses amandemen UUD 1945.
Jika berbagai fakta demikian kasatmata, masihkah kita meragukan adanya campur tangan asing khususnya AS atas negeri ini? Masihkah kita ragu bahwa selama ini negeri ini banyak dikendalikan oleh pihak asing terutama AS? Semoga kini kita menyadari sekaligus mewaspadainya! Jika tidak, siap-siaplah bahwa negeri ini di masa-masa mendatang akan makin terpuruk karena makin dalamnya intevensi AS atas negeri ini yang tentu amat berbahaya! [2708/Lajnah Siyasiyah-HTI]
Negara kita dibeli dengan uang dan jabatan