RUU Intelijen = Lahirnya Rezim Represif

Pembahasan RUU Intelijen yang tidak bisa diselesaikan pada masa sidang DPR sebelumnya akan kembali dilanjutkan dalam masa sidang saat ini.  Pembahasan RUUnya sendiri terus berjalan dan terkesan dilakukan secara tertutup dan sembunyi-sembunyi.  Pembahasan terakhir adalah harmonisasi tim pemerintah dan DPR pada tangal 5-6 September 2011 dan menghasilkan draft yang nantinya akan disodorkan ke sidang paripurna yang direncanakan digelar pada tanggal 27 September 2011 nanti.

Draft terakhir RUU Intelijen itu sejatinya tidak banyak berubah dari draft sebelumnya.  Bahkan terlihat banyak mengadopsi usulan pemerintah yang tertuang dalam DIM yang diajukan pemerintah.  Di dalam draft terakhr itu masih terdapat sejumlah pasal yang bermasalah.  Draft terakhir itu jika disahkan nantinya tetap akan berpeluang melahirkan rezim represif yang bisa memata-matai rakyat.  Intelijen nantinya masih berpeluang dijadikan alat oleh pemerintah dalam hal ini presiden.  Bahkan Kepala BIN nantinya berubah menjadi satu-satunya pihak bisa menentukan telah terpenuhinya indikasi dan bukti awal yang cukup pada diri seseorang sehingga orang tersebut boleh disadap, diselidiki dan didalami.  Dimana keputusan itu cukup diberitahukan kepada Ketua Pengadilan.

Berikut ini beberapa catatan kritis yang perlu menjadi perhatian semua elemen masyarakat terkait draft RUU Intelijen yang akan diajukan ke sidang paripurna DPR 27 September nanti:

Pertama, ada kalimat-kalimat dan frase yang tidak didefinisikan dengan jelas, pengertiannya kabur dan multitafisr, sehingga nantinya berpeluang menjadi pasal karet.   Misalnya, frase “ancaman nasional” dan “keamanan nasional”, dsb definisinya tidak jelas, pengertiannya kabur dan multitafsir.  Begitu juga “lawan dalam negeri”, siapa dan kriterianya apa, tidak jelas.  Tolok ukur lawan dalam negeri “yang dapat mengancam kepentingan dan keamanan nasional” bisa dinilai sebagai pasal karet yang nantinya bisa dijadikan dasar untuk menjadikan seseorang sebagai sasaran kegiatan intelijen dengan alasan “dapat mengancam keamanan dan kepentingan nasional”.  Apalagi jika dikaitkan dengan RUU Kamnas dimana definisi, kriteria dan tolok ukur “keamanan nasional” begitu luas dan multi interpretatif bahkan mencakup keamanan individu dan kelompok tertentu, makin melenturkan RUU Intelijen untuk menjadi alat demi kepentingan politik tertentu, khususnya penguasa. Poin pertama ini sangat penting, karena rumusan yang tidak jelas, kabur, cenderung multitafsir dan tidak terukur menyangkut definisi dan hakikat dari “ancaman”, “keamanan nasional ” dan “lawan dalam negeri” itu  sangat mungkin disalah gunakan demi kepentingan politik kekuasaan. Karena bersifat subyektif, maka penafsirannya akan tergantung “selera” pemegang kebijakan dan kendali terhadap operasional intelijen yang dalam RUU Intelijen draft terakhir ini adalah adalah kepala BIN, dan tentu saja presiden sebagai atasannya. Bisa jadi, sikap kritis dan kritik atas kebijakan pemerintah akan dibungkam dengan dalih menjadi “ancaman” atau mengancam “keamanan nasional”.

Kedua, di dalam RUU Intelijen draft terakhir ini Pasal 1 dikatakan Intelijen Negara adalah “penyelenggara intelijen”.   Frase ini adalah perubahan atas draft sebelumnya yang menyebut intelijen negara sebagai lembaga pemerintah.  Perubahan itu tentu setelah draft sebelumnya mendapat dikritik keras sebab dengan definisi sebelumnya itu, intelijen berpeluang dijadikan alat penguasa untuk memata-matai rakyat dan musuh politiknya.  Namun perubahan itu sebenarnya tidak menutup peluang penyalahgunaan itu.  Sebab pada pasal selanjutnya dijelaskan bahwa intelijen negara itu adalah BIN, intelijen TNI, intelijen kepolisian, intelijen kejaksaan dan intelijen kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian.  Khusus untuk BIN langsung dibawah presiden.  Jadi perubahan itu tidak merubah esensi yang dikritik, hanya merubah redaksional yang tidak lagi dinyatakan secara eksplisit sebagai lembaga pemerintah saja.  Perubahan itu juga tidak secara tegas menyatakan intelijen sebagai alat negara.

Ketiga, di Pasal 32 RUU Intelijen (draft terakhir), “BIN memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan pendalaman terhadap setiap orang yang terkait dengan kegiatan terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase, dan kegiatan yang mengancam keamanan nasional, kedaulatan dan keselamatan nasonal termasuk yang sedang menjalani proses hukum“. Lalu di pasal 33 dinyatakan “(1) penyadapan sebagai dimaksud dalam pasal 32 dilakukan berdasarkan Undang-undang ini” (2) Penyadapan terhadap Sasaran yang mempunyai indikasi sebagamana dimaksud Pasal 32, dilaksanakan dengan ketentuan: a. untuk penyelenggaraan fungsi intelijen. b. atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara … (3) Penyadapan terhadap Sasaran yang telah mempunyai bukti awal cukup, dilaksanakan dengan memberitahukan kepada Ketua Pengadilan“.

Pemberian wewenang  penyadapan tanpa harus izin (Ketua) pengadilan tetapi cukup memberitahukan kepada Ketua Pengadilan akan menjadi pintu penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi penyadapan itu didasarkan pada alasan yang definisi, kriteria dan tolok ukurnya tidak dijelaskan, kabur dan multitafsir sehingga bisa bersifat subyektif dan tergantung selera.  Kepala BIN dijadikan satu-satunya pihak yang memutuskan “Sasaran telah memiliki indikasi” dan “Sasaran yan telah mempunyai bukti awal cukup”.  Terminologi ini biasanya adalah terminologi penegakan hukum seseorang menjadi tersangka.  Itu artinya kepala BIN memiliki wewenang menetapkan seseorang menjadi “tersangka” sehingga bisa diselidiki, diperiksa, disadap, diperiksa aliran dananya dan dilakukan pendalaman terhadapnya” diluar penadilan dan kejaksaan, atau tidak melalui proses hukum.  Di negara hukum manapun, penyadapan harus atas izin pengadilan.  Jika ada sebagian negara maju yang membolehkan penyadapan tanpa izin pengadilan, itu dianggap tidak demokratis, mencederai demokrasi, melanggar proses hukum dan mencederai HAM.  Pemberian wewenang kepada Kepala BIN untuk menetapkan sasaran penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan pendalaman tanpa izin pengadilan ini akan menyebabkan jabatan Kepala BIN menjadi alat kekuasaan dan demi kepentingan tertentu.  Dan dalam pelaksanaannya sangat mungkin Kepala BIN akan tergantung pada masukan anak buahnya atau dia menerima masukan jadi tentang hal itu.  Itu artinya aparat intelijen tetap memiliki peluang besar untuk memiliki andil dalam pembuatan keputusan sasaran penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan pendalaman.  Ini berpeluang terjadinya kegiatan intelijen liar dan dijadikannya rakyat yang kritis dan lawan politik sebagai sasaran. Intelijen bisa jadi justru sibuk memata-matai rakyat.  Akibatnya warga tidak lagi terjamin hak privasinya dan terancam, yang ironisnya justru oleh intelijen yang dibayai dengan uang mereka.

Keempat, di Pasal 35 dinyatakan “Pendalaman terhadap setiap orang, termasuk yang sedang menjalani proses hukum sebagamana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan dengan ketentuan: a. untuk penyelenggaraan fungsi intelijen. b. atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara; dan c. bekerjasama dengan penegak hukum terkait.” Dalam penjelasannya dikatakan “Ketentuan ini dimaksudkan sebagai upaya terakhir untuk mendalami informasi sebagai tindak lanjut dari informasi yang diperoleh sebelumnya, antara lain melalui pengintaian, penjejakan, pengawasan, penyurupan, pemeriksaan aliran dana atau penyadapan“. Istilah “pendalaman” ini agaknya dimaksudkan sebagai ganti istilah “pemeriksaan intensif” yang mencakup penangkapan dan penahanan.  Sebab dalam penjelasan tidak bisa dipahami sebagai pembatasan bentuk kegiatan dalam pendalaman itu sehingga tidak mencakup penangkapan dan penahanan.  Sebaliknya, secara implisit itu juga mencakup penangkapan dan penahanan.  Satu-satunya pihak yang memutuskan adalah Kepala BIN. Frase “bekerjasama dengan penegak hukum terkait” juga sangat luas interpretasinya.  Ini akan berpotensi lahirnya rezim intel. Usulan itu sama saja memberi wewenang intel BIN atas perintah Kepala BIN untuk mengambil orang yang dicurigai, tanpa diberitahu tempat dan materi interogasi, tanpa pengacara dan tanpa diberitahukan kepada keluarganya.  Lalu apa bedanya dengan penculikan?  Jika RUU ini disahkan, maka akan lahir kembali rezim represif. Penculikan akan terjadi lagi seperti pada masa Orde Baru atau bahkan lebih dari itu, sebab dilegalkan oleh undang-undang.  Padahal di negara hukum manapun, penangkapan adalah wewenang aparat penegak hukum yakni kepolisian, disamping bahwa penangkapan bukanlah fungsi intelijen.

Kelima, di dalam RUU tidak ada mekanisme pengaduan dan gugatan bagi individu yang merasa dilanggar haknya oleh kerja-kerja lembaga intelijen.  Hal itu ditambah adanya potensi intelijen menjadi “arogan” dan nyaris tanpa kontrol -seperti terpapar diatas- akan menjadi musibah dalam kehidupan sosial politik warga negara dan hak-hak warga negara akan terabaikan. Warga berpotensi jadi korban tanpa ruang untuk mendapatkan keadilan.  Disinilah terlihat jelas potensi lahirnya rezim intel.

Keenam, RUU Intelijen tidak mengatur dengan jelas mekanisme kontrol dan pengawasan yang tegas, kuat dan permanen terhadap semua aspek dalam ruang lingkup fungsi dan kerja intelijen (termasuk penggunaan anggaran). Akibatnya, intelijen akan menjadi “super body” yang tidak bisa dikontrol dan bisa dijadikan alat kepentingan politik status quo.

Ketujuh, RUU ini bisa menjadi preseden buruk bagi jurnalis, khususnya jurnalis investigatif.  RUU ini berpotensi untuk membungkam suara-suara kritis.  Dengan delik kelalaian di pasal 43 bisa menjadi ancaman bagi sikap kritis dan keterbukaan.

Kedelapan,  ancaman sanksi didalam RUU ini pasal 45 tidak akan bisa mencegah penyalahgunaan penyadapan.  Sebab penyalahgunaan hanya jika penyadapan dilakukan diluar fungsi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan (RUU).  Itu artinya selama dilakukan atas perintah Kepala BIN, penyadapan tidak akan bisa dipermasalahkan. Jadi penyalahgunaan penyadapan sulit untuk dibuktikan.  Adanya peluang personel intelijen berperan dalam penentuan keputusan oleh Kepala BIN sebab Kepala BIN tentu akan sangat bergantung pada masukan anak buahnya, hal itu makin memperbesar peluang intelijen dijadikan alat. Apalagi usulan sanksi di dalam RUU itu bukan hanya lembek tapi cair.  Sebab ancaman hukuman menggunakan kata maksimal, artinya bisa saja sangat ringan.

Kesembilan, terkait dengan BIN.  BIN diberi fungsi yang meluas hingga ke daerah.  Di dalam penjelasan pasal 10 ayat (1) dinyatakan “Yang dimaksud dengan “menyelenggarakan fungsi intelijen dalam dan luar negeri”, termasuk mementuk unit organisasi struktural di daerah dan perwakilan di luar negeri.”  Karena BIN juga memerankan fungsi koordinasi semua penyelenggara intelijen (TNI, Polri, Kejaksaan dan kementerian/nonkementerian) yang masing-masing memiliki struktur hngga daerah, maka BIN seperti diharuskan membentuk struktur organisasi di daerah.  Disampin itu BIN khususnya Kepala BIN diberi wewenang sangat besar dan luas dalam hal penyelenggaraan intelijen termasuk menentukan sasaran penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan pendalaman.

Kesepuluh, pemeriksaan aliran dana yang hanya didasarkan pada perintah Kepala BIN -dalam pelaksanaannya keputusan itu  bisa jadi banyak dipengaruhi/ditentukan oleh personel BIN- akan menciptakan peluang disalahgunakan, bahkan peluang terjadinya korupsi dan sejenisnya.

Kesebelas, Cakupan fungsi intelijen TNI, intelijen Kejaksaan, intelijen kementerian/nonkementerian tidak dijelaskan.  Dikhawatirkan intelijen semua itu akan menyasar rakyat sebab fungsi semua lembaga itu terkait dengan rakyat.  Domain fungsi intelijen BIN yang tidak dijelaskan dengan jelas dan hanya dibatasi dengan penjelasan sebagai penyelenggara Intelijen Negara dalam negeri dan luar negeri.  Sebab intelijen pertahananan menjadi domain TNI, penegakan hukum menjadi domain intelijen kejaksaan, dalam rangka tugas kepolisian menjadi domain intelijen Polri dan dalam rangka pelaksanaan tugas kementerian menjadi domain intelijen kementerian/nonkementerian, yang semuanya juga belum dijelaskan dan hanya dinyatakan “dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”. Itu artinya fungsi intelijen BIN akan sarat dengan nuansa politis dan ideologi sehingga wajar jika BIN dengan semua paparan diatas sangat mungkin dijadikan alat politik penguasa.

Disamping semua itu, RUU Intelijen ini pada akhirnya akan berpeluang sangat merugikan rakyat.  Umat islam khususnya para aktivis Islam akan menjadi sangat dirugikan dan berpelung menjadi korban. Upaya penegakan ajaran Islam yang bersumber dari Allah SWT  atas kepentingan asing atau pihak tertentu, bisa jadi dipersepsikan sebagai ancaman.  Disamping itu, elemen masyarakat yang bersuara kritis dan para jurnalis pun akan bisa menjadi korban.

Pensahan RUU inteligen ini merupakan kemunduran kerena memberikan kemungkinan penguasa berdasarkan kepentingan dirinya atau asing melakukan tindakan represif. Sesuatu yang dikritik habis-habisan pada masa Orde Baru dulu. Di saat negara lain seperti Malaysia justru telah mencabut ISA (internal security act) yang selama ini menjadi alat penindasan rezim berkuasa.

Adalah sangat mengerikan kalau era gelap Orde Baru kembali hadir. Dimana seseorang diculik, disiksa, ditangkap , bahkan dibunuh berdasarkan persepsi ancaman sepihak dari penguasa. Saat itu aktifis Islam benar-benar mengalami masa yang mengerikan, khutbah-khutbah jum’at dikontrol, ceramah diinteli, Aktifis Islam yang menyerukan kebenaran al Qur’an dan as Sunnah ditangkap dan disiksa diluar batas kemanusiaan. Media masa dibungkam, dikontrol untuk tidak bersikap kritis terhadap panguasa. RUU ini akan memberikan jalan lahirnya rezim represif. Karena itu sikap yang jelas dari masyarakat, tokoh, ulama, ormas, organisasi, harus jelas, yaitu menolak. Karena siapapun akan bisa menjadi korbannya. Mencegah adalah lebih baik dari pada semuanya telah terlambat. (Lajnah Siyasiayah  Hizbut Tahrir Indonesia)

Berikut tabulasi catatan kritis terhada RUU Intelijen Negara:

No

RUU Intelijen

Kritik

1

Pasal 1 ayat 4

Ancaman adalah setiap upaya, pekerjaan, kegiatan dan tindakan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai dapat membahayakan keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan bangsa serta kepentingan nasional

Kata “ancaman …” belum didefinisikan dengan jelas, pengertiannya masih kabur dan multitafsir, dan kriteria serta tolok ukurnya tidak jelas, sehingga memungkinkan interpretasi yang subyektif karenanya mungkin menjadi pasal karet.  Apalagi tidak dijelaskan dalam RUU siapa yang memutuskan bahwa sesuatu/pihak sudah ancaman atau bukan.

2

Pasal 1 ayat 2:

Intelijen Negara adalah penyelenggara Intelijen yang merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan fungsi dan kegiatan Intelijen.

Intelijen tidak disebut sebagai alat negara.  Sebutan penyelengara Intelijen lebih menunjuk pada pelaksana fungsi.  Pada faktanya dan di pasal selanjutnya jelas bahwa semua penyelenggara Intelijen itu berada di pemerintah dan merupakan alatnya pemerintah.  Khsus BIN dengan kewenangan yang begitu luas, langsung berada di bawah presiden. Akibatnya ini memungkinkan intelijen dijadikan alat oleh penguasa

3

Pasal 1 ayat 8:

Pihak Lawan adalah pihak dari dalam maupun luar negeri yang melakukan kegiatan yang dapat mengancam kepentingan dan keamanan nasional.

Frase “dapat mengancam kepentingan dan keamanan nasional” tidak jelas definisi, kriteria, tolok ukur kata tersebut “dapat” sangat fleksibel, multitafsir dan berpeluang munculnya interpretasi dan justifikasi subyektif. Lebih berbahaya lagi jika dikaitkan dengan draft RUU Kamnas dimana keamanan Nasional juga mencakup keamanan individu dan kelompok. Ini memberi peluang besar Intelijen digunakan untuk kepentingan politik penguasa atau kelompok tertentu bahkan mungkin dipenaruhi asing.

4

Pasal 4:

Intelijen Negara berperan melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan dan tindakan untuk deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman yang mungkin timbul dan mengancam kepentingan dan keamanan nasional.

Pengertian dan batasan “ancaman yang mungkin timbul dan mengancam kepentingan dan keamanan nasional” tidak jelas, sehingga bersifat subyektif bagi pemegang kebijakan dan kendali operasional intelijen, memungkinkan disalahgunakan demi kekuasaan.

5

Pasal 32 :

Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), Badan Intelijen Negara memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan pendalaman terhadap setiap orang yang terkait dengan kegiatan terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase dan kegiatan yang mengancam keamanan, kedaulatan dan keselamatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum.

Ini memberi wewenang sangat luas kepada BIN yang sangat mungkin disalah gunakan demi kepentingan politk kekuasaan dan kelompok tertentu.  Kata ‘Subversi” yang sangat lentur kembali dicantumkan, nantinya bisa kembali memunculkan rezim represif seperti Orde Baru

6

Pasal 33 :

(1) penyadapan sebagai dimaksud dalam pasal 32 dilakukan berdasarkan Undang-undang ini

(2) Penyadapan terhadap Sasaran yang mempunyai indikasi sebagaimana dimaksud Pasal 32, dilaksanakan dengan ketentuan:

a. untuk penyelenggaraan fungsi intelijen. b. atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara

c. Jangka waktu penyadapan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan

(3) Penyadapan terhadap Sasaran yang telah mempunyai bukti awal cukup, dilaksanakan dengan memberitahukan kepada Ketua Pengadilan“.

– penyadapan bisa terjadi secara liar, sebab tidak bisa dikontrol bahkan oleh pengadilan, karena cukup hanya memberitahukan.

– sangat mungkin dijadkan alat kepentingan kekuasaan.

– oposisi, jurnalis kritis, masyarakat yang kritis, dan aktivis dakwah bisa sangat mudah dijadikan sasaran penyadapan

– sangat memungkinkan pelanggaran hak privasi warga negara

7

Pasal 35.

Pendalaman terhadap setiap orang, termasuk yang sedang menjalani proses hukum sebagamana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan dengan ketentuan: a. untuk penyelenggaraan fungsi ntelijen. B. atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara; dan c. bekerjasama dengan penegak hukum terkait.” Dalam penjelasannya dikatakan “Ketentuan in dimaksudkan sebagai upaya terakhir untuk mendalami informasi sebagai tindak lanjut dari informasi yang diperoleh sebelumnya, antara lain melalui pengintaian, penjejakan, pengawasan, penyurupan, pemeriksaan aliran dana atau penyadapan“.

–       Istilah “pendalaman” ini agaknya dimaksudkan sebagai ganti istilah “pemeriksaan intensif” yang mencakup penangkapan dan penahanan.  Sebab dalam penjelasan tidak bisa dipahami sebagai pembatasan bentuk kegiatan dalam pendalaman itu sehingga tidak mencakup penangkapan dan penahanan.  Sebaliknya, secara implisit itu juga mencakup penangkapan dan penahanan.

–       Satu-satunya pihak yang memutuskan adalah Kepala BIN.

–       Frase “bekerjasama dengan penegak hukum terkait” juga sangat luas interpretasinya.  Ini akan berpotensi lahirnya rezim intel.

–       Usulan itu sama saja memberi wewenang intel BIN atas perintah Kepala BIN untuk mengambil orang yang dicurigai, tanpa diberitahu tempat dan materi interogasi, tanpa pengacara dan tanpa diberitahukan kepada keluarganya.  Lalu apa bedanya dengan penculikan?

–       Jika RUU ini disahkan, maka akan lahir kembali rezim represif. Penculikan akan terjadi lagi seperti pada rezim Orde Baru  atau bahkan lebih dari itu, sebab dilegalkan oleh undang-undang.  Padahal di negara hukum manapun, penangkapan adalah wewenang aparat penegak hukum yakni kepolisian, disamping bahwa penangkapan bukanlah fungsi intelijen. Jika demikian, apa bedanya dengan penculikan? Bahkan ini lebih berbahaya karena dilegalkan oleh undang-undang

–       Berpeluang melahirkan rezim intel, ini ditambah kewenangan penyadapan maka itu akan kembali ke masa  gelap era  kopkamtib

8

Pasal 41

(1) Pengawasan internal untuk setiap penyelenggara Intelijen Negara dilakukan oleh pimpinan masing-masing

(2) Pengawasan eksternal penyelenggara Inetlijen Negara dilakukan oleh komisi pada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang khusus menangani bidang Intelijen

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaukan komisi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan membentuk Panitia Kerja yang wajib menjaga Rahasia Intelijen sebagaimana dimaksud dalam pasal 27

–          Pengawasan model ini tidak kontinu dan permanen.  Itu artinya intelijen bisa out of control.

–          Pengawasan lewat Panja selama ini terlihat lemah dan

–          Ditambah dengan alasan “rahasia intelijen” maka intelijen akan menjadi “tak tersentuh”

9

Pasal 43

Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan bocornya Rahasia Intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

–          Ini berpotensi digunakan untuk membungkam suara-suara kritis dengan tuduhan membocorkan rahasia negara

10

Pasal 45

Setiap Personil Intelijen Negara yang melakukan penyadapan di luar fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

–          Pasal ini tidak bisa mencegah penyalahgunaan penyadapan sebab selama atas perintah Kepala BIN tidak bisa dipermasalahan.  Apalagi pengertian “dalam rangka fungsi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan” itu sangat luas.

–          Dalam RUU Intelijen ini tidak  dibahas sama sekali penyalahgunaan “pemeriksaan aliran dana” dan “Pendalaman”.  Itu artinya penyalahgunaan dalam hal keduanya tidak akan tersentuh dan tidak bisa dipermasalahkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*