Dalam sebuah wawancara televisi di Mesir, pada malam tanggal 12/9/201, Erdogan, Perdana Menteri Turki menyerukan kepada rakyat Mesir agar penyusunan konstitusi berasaskan prinsip-prinsip sekularisme. Ia berkata: “Dalam masa transisi di Mesir sekarang dan sesudahnya. Saya percaya bahwa Mesir akan menempatkan masalah demokrasi dengan baik. Mereka akan melihat bahwa negara sekularisme tidak berarti negara yang anti agama. Namun artinya adalah, menghormati terhadap semua agama dan memberikan kepada setiap individu kebebasan untuk menjalankan ajaran-ajaran agamanya.”
Ia menambahkan: “Jadi orang Mesir tidak perlu khawatir tentang hal ini. Mengingat pembuatan konstitusi Mesir ada di tangan mereka, maka mereka harus menegaskan bahwa negara berdiri pada jarak yang sama terhadap semua agama, dan menjamin kebebasan setiap individu untuk melaksanakan agamanya. Perlu ditegaskan bahwa sekularisme tidak berarti semua orang harus sekuler. Saya misalnya, bukan seorang sekuler, namun saya seorang Perdana Menteri negara sekuler.” Ia menjelaskan bahwa “99% dari populasi di Turki adalah Muslim, dan ada Kristen, Yahudi, serta kaum minoritas. Namun negara memperlakukan semua dengan perlakuan yang sama. Bahkan cara ini diakui oleh Islam, dan dikuatkan oleh sejarah Islam.”
Ia mengulang kembali perkataannya bahwa “Rakyat Mesir jangan khawatir tentang negara sekuler. Bahkan saya berharap terbentuknya sebuah negara sekuler di Mesir.”
Akan tetapi rakyat Mesir dan sejumlah pemimpin gerakan Islam menolak dengan tegas dagangan busuk Erdogan ini. Mereka mengatakan bahwa rakyat Mesir adalah Muslim, yang sama sekali tidak menerima pilihan apapun kecuali Islam.
Sayangnya, tidak seorang pun yang tertarik dengan dagangan busuk Erdogan ini, kecuali para tokoh Kristen di Mesir, yaitu Paus Koptik Shenouda, yang mengatakan ketika ia menerima dan bertemu dengan Erdogan pada tanggal 14/9/2011 bahwa ia menginginkan konstitusi sekuler di Mesir seperti model di Turki. Bahkan, Paus Shenouda menyatakan kekagumannya pada pengalaman sekularisme Turki dan konstitusi sekulernya. Dan ia ingin pengalaman Turki ini ditularkan ke Mesir.
Sebelumnya, Erdogan bertekad untuk berpidato pada rakyat Mesir di alun-alun Tahrir, namun urung dan bahkan meninggalkannya. Tampaknya, alasan mengapa ia tidak melakukan itu adalah, karena ketakutannya bahwa ia tidak akan mendapatkan sambutan di sana, setelah komentarnya yang memasarkan dagangan busuk dan najis itu mendapat penolakan keras dari kaum Muslim.
Perlu diketahui bahwa Erdogan sejak berkuasa lebih dari delapan tahun telah menerapkan sekularisme di Turki yang sekuler. Bahkan dalam setiap periode kemenangan dalam pemilihan, ia selalu bersumpah akan menerapkan sekuler dan menjaganya, menjaga Republik sekuler Turki, demokrasi dan prinsip-prinsip Ataturk, sebagaimana hal itu tercantum dalam teks sumpah bagi siapa saja yang menang dalam pemilihan parlemen.
Dan sekarang, Erdogan ingin negeri-negeri kaum Muslim yang lain, serta rakyat yang ingin menerapkan syariah, agar membeli dagangan busuk dan najis itu. Ia mengerti betul bahwa demokrasi itu adalah sekulerisme, melalui perkataannya bahwa Mesir akan menempatkan masalah demokrasi dengan baik. Mereka akan melihat bahwa negara sekularisme tidak berarti negara yang anti agama. Ia mengadopsi demokrasi dan sekulerisme dengan sadar dan paham, bahkan memposisikan keduanya secara sama.
Demokrasi menjadikan hak membuat undang-undang kepada manusia; sementara sekularisme memisahkan agama dari kehidupan, dan menjadikan hak membuat undang-undang kepada manusia juga. Oleh karena itu, masyarakat mulai bertanya-tanya apakah benar Erdogan seorang Muslim ketika ia menyatakan bahwa dirinya Muslim, bukan sekuler, sekalipun menerapkan sekulerisme. Mereka mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin terjadi dalam Islam! Yakni, ia senantiasa menyeru pada sekulerisme dan menerapkannya, bahkan bersumpah akan menjaganya, kemudian ia mengatakan bahwa saya seorang Muslim!
Perlu diketahui juga, bahwa ketika Erbakan berkuasa pada tahun 1996, kaum Muslim yang menjadi pengikut dan pendukungnya benar-benar berada dalam kesulitan. Sehingga ia berusaha mengkompromikan antara mereka sebagai seorang Muslim dengan keharusan menerapkan sekulerisme, dan menerima kekuasaan. Mereka bertanya-tanya bagaimana kami menerima negara sekuler sedang kami Muslim?!
Lalu, tampillah para sekuler fasik mengenakan jubah agama. Kemudian mereka berkata sebagai berikut: “Kami mengatakan tentang diri kami bahwa kami Muslim. Namun kami menerima negara adalah sekuler. Individu tidak harus sekuler, sementara yang harus sekuler hanyalah negara.”
Fatwa ini didasarkan pada buku pencipta bencana yang ditulis oleh Najmuddin Erbakan pada tahun 1975 yang berjudul Milli Görüs (Pendapat Nasional). Melalui buku itu ia melakukan pembelaan terhadap sekularisme, demokrasi dan republik, serta prinsip-prinsip Ataturk.
Para pengikutnya ketika mereka diingatkan dengan apa yang tercantum dalam buku itu, maka mereka meresponnya dengan menipu diri mereka sendiri dan menipu orang lain. Mereka berkata: “Bahwa itu hanya formalitas saja, buka pemikiran kami yang sebenarnya.”
Namun semua tahu bahwa Erdogan adalah salah satu murid setia Erbakan. Bahkan ia pernah menjadi salah satu pemimpin Partai Rafah di Istanbul, dan menjadi walikota Istanbul perwakilan dari Partai Rafah.
Menarik untuk diperhatian bahwa dalam sekulerisme yang diterapkan oleh Erdogan, perzinahan dan mengumbar aurat perempuan diperbolehkan, sementara perkawinan yang sah tidak diperbolehkan, bahkan yang melakukannya akan dijatuhi hukuman hingga 6 bulan penjara; dan poligami dilarang. Pendek kata, setiap yang diharamkan syariah diperbolehkan dan dilegalkan.
Oleh karena itu, masyarakat telah tertipu oleh Erdogan melalui beberapa pernyataan dan sikapnya, yang jelas-jelas menjalankan agenda Barat dalam hal pemikiran dan politik. Di mana di mata banyak orang seolah-olah ia benar, namun bagi siapa saja yang mengikuti dengan cermat pola pikir dan sikapnya, maka akan tampak dengan jelas kebusukannya.
Sebagai pengingat, bahwa rakyat Turki sebenarnya sangat menolak sekulerisme, dan bahkan memeranginya hingga ratusan ribu telah meraih syahid, terutama pada masa Ataturk dan Ismet Inonu, juga puluhan ribu rakyat diusir dan dipenjara.
Dan di antaranya, Syaikhul Islam terakhir yang menjadi korban kebusukan negara sekuler Turki adalah Syaihk Mustafa Shabri yang melarikan diri ke Mesir. Di Mesir beliau hidup dalam keadaan miskin, namun demikian beliau tetap teguh memerangi sekularisme yang ada di Mesir dan Turki.
Sedangkan dalam era pemerintahan Erdogan telah meningkat jumlah para pengemban dakwah yang dengan lantang memerangi sekularisme. Sehingga tidak sedikit kaum Muslim yang dengan ikhlas berjuang untuk Islam yang dipenjarakan, yang di antaranya adalah para syabab Hizbut Tahrir, di mana beberapa dari mereka masih diselimuti penderitaan di dalam penjara di bawah penindasan sekularisme dan demokrasi. Sementara yang lainnya ditangkap dan dikejar-kejar, serta dipersempit ruang gerak dan penghidupannya (kantor berita HT, 20/9/2-11).
Ya Alloh Segerakanlah tegakkan Khilafah di bagian bumi manapun dan kuatkanlah kami Ammin…