Selamatkan Indonesia dengan Syariah – Menuju Indonesia Lebih Baik
HTI Kalimantan Selatan pada 15 Desember lalu di
Ustad Hidayatul Akbar menyampaikan catatan HTI tertang permasalahan utama
Ust Hidayatullah Muttaqin menyampaikan refleksi di bidang ekonomi. Menurut Ust Hidayatullah Muttaqin, terjadinya pertumbuhan ekonomi
Meskipun Presiden RI dalam pidato awal tahun 2007 lalu mengatakan ada 3 problem besar yang dihadapi Indonesia yakni tingginya tingkat kemiskinan, pengangguran, dan utang luar negeri Indonesia , namun pada tahun ini tidak ada kebijakan yang jelas untuk mengatasinya. Pemerintah justru terjebak dalam pola Kapitalistik sehingga yang lahir bukanlah peningkatan kesejahteraan rakyat, tetapi ketimpangan ekonomi dan penguasaan aset nasional ke tangan asing dan swasta. UU No 25 tahun 2007 tentang penanaman modal merupakan contoh produk hukum yang pro Kapitalis.
Adapun prestasi pemerintah berhasil menurunkan kemiskinan 2,1 juta per Maret 2007 tidak sesuai dengan realitas. Di masyarakat yang terjadi justru lapangan kerja semakin sempit, penggusuran pedagang kaki
Kondisi ini menggambarkan data statistik BPS yang dijadikan pijakan pemerintah sebagai indikator turunya kemiskinan bukanlah jumlah orang miskin yang bekurang. Tetapi data yang dirilis BPS dalam Berita Resmi Statistik BPS 2 Juli 2007 tersebut hanya memuat berkurangnya jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan standar pengeluaran per bulan di bawah Rp.166.697. Dalam publikasi tersebut tidak disebutkan katagori-katagori kemiskinan lainnya.
Mengutip data BPS 2006, Ustad Hidayatullah Muttaqin mengatakan pada periode Maret 2006, jumlah orang terkatagori tidak miskin berjumlah 91,06 juta jiwa dengan standar pengeluaran per bulan di atas Rp 229 ribu. Artinya ada sekitar 128,94 juta jiwa penduduk Indonesia yang hidup dengan pengeluaran per bulan di bawah Rp 299 ribu, suatu kondisi yang sangat memprihatinkan.
Yang kontras di tengah keprihatinan hidup rakyat, kekayaan orang-orang terkaya
Dalam tahun 2007 pemerintah berhasil mengalihkan permasalahan beban hutang negara ke beban subsidi, sehingga subsidi dijadikan kambing hitam oleh pemerintah. Padahal subsidi adalah kewajiban pemerintah untuk menjaga terpenuhinya kebutuhan dan kepentingan rakyat. Bila subsidi dikurangi akan berdampak buruk bagi masyarakat. Besarnya subsidi BBM saat ini disebabkan kesalahan pemerintah sendiri, pemerintah tidak menyiapkan kilang pengolahan BBM yang dapat memenuhi kebutuhan nasional. Pemerintah juga menyerahkan kepemilikan ladang-ladang migas kepada swasta dan asing yang menyebabkan pemerintah tidak berkuasa atas migas
Selama ini terbentuk opini subsidi menyebabkan defisit APBN sehingga harus ditutupi dengan hutang baik hutang luar negeri maupun hutang dalam negeri. Padahal beban hutang pemerintah-lah yang menjadi penyebab APBN defisit. Dalam APBN 2007 pemerintah menerbitkan obligasi Rp 55,06 trilyun, pinjaman luar negeri Rp 40,27 trilyun. Sementara beban cicilan pokok hutang luar negeri yang dibayar sebesar Rp 54,83 trilyun, sedangkan beban cicilan bunga hutang luar negeri dan bunga obligasi sebesar Rp 85,08 trilyun. Dengan demikian transaksi hutang pemerintah menyebabkan APBN 2007 tekor (negative transfer) sebesar Rp 44,57 trilyun. Jadi tidak ada pemasukan dari dana hutang melainkan lebih banyak pembayaran hutang. Sampai dengan tahun 2007 jumlah hutang pemerintah mencapai Rp 1325 trilyun yang terdiri dari hutang luar negeri Rp 546 trilyun dan hutang obligasi Rp 779 trilyun.
Mengenai perekonomian lokal Kalimantan Selatan, Ustad Hidayatullah Muttaqin mengatakan meskipun Kalimantan Selatan kaya sumber daya alam khususnya barang tambang, tetapi kehidupan masyarakat memprihatinkan sedangkan fasilitas publik seperti jalan umum banyak yang rusak, listrik dan air ledeng sering macet. Kalimantan Selatan merupakan penghasil batubara terbesar ketiga di Indonesia dan hanya ada 3 propinsi yang memiliki cadangan batubara besar yakni Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan. Penyerahan kepemilikan tambang batubara kepada swasta dan asing, serta orientasi ekspor menyebabkan hasil-hasil batubara tidak kembali ke masyarakat dan tidak terpenuhinya kebutuhan lokal. Salah satu akibatnya adalah PLN wilayah Kalimantan Selatan sering padam karena kurangnya supply batubara meskipun pertambangan batubara melimpah di propinsi ini.
Di bagian akhir refleksi ekonomi 2007 Ustad Hidayatullah Muttaqin menyimpulkan berbagai problem ekonomi di
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, negeri ini perlu mengambil syariat Islam sebagai ganti sistem Kapitalis. Karena dengan syariat Islam, paradigma pemerintahan bukan lagi paradigma penjaga malam sebagaimana Kapitalisme-nya Adam Smith melainkan paradigma pemerintah sebagai pengelola dan pengatur urusan umat dengan syariat Islam. Dengan paradigma ini, pemerintah akan menerapkan hukum-hukum kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Hukum-hukum ini akan mencegah penguasaan aset strategis dan sumber daya alam ke tangan swasta dan asing, juga mencegah terjadinya ekonomi sektor ribawi. Penerapan hukum-hukum kepemilikan ini harus disertai dengan kebijakan ekonomi yang berbasis pada politik ekonomi Islam. Karena melalui politik ekonomi Islam pemerintah memiliki peranan kuat di tengah masyarakat dalam memenuhi setiap kebutuhan primer warga negara dan memberikan dorongan kepada mereka meningkatkan taraf hidupnya.
Di akhir konfrensi pers, Ustad Hidayatul Akbar menyampaikan 3 pernyataan sikap HTI, yakni: Pertama, persoalan yang menimpa Indonesia pada tahun 2007 ini disebabkan 3 faktor utama, yaitu alam, sistem, dan manusia. Kedua, permasalahan kemiskinan, korupsi, disintegrasi dan intervensi asing, dan berbagai bentuk kezaliman lainnya disebabkan oleh diterapkannya sistem Kapitalis Sekuler, dan kepemimpinan yang tidak amanah. Ketiga, untuk mengatasi problem-problem tersebut Hizbut Tahrir memandang betapa pentingnya seruan untuk menyelamatkan
Redaksi Jurnal Ekonomi Ideologis
slide presentasi refleksi akhir tahun 2007 bidang ekonomi dapat didownload di sini
Sistem Ekonomi Kapitalis=Sistem Ekonomi Budak
Sistem Ekonomi Islam=Sistem Ekonomi Orang Merdeka
(simak buku karya Husain MATLa)