Jakarta. Usulan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) bahwa informasi intelijen bisa dijadikan sebagai alat bukti mendapat penentangan dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). “Jadi gagasan itu harus ditolak karena pasti menimbulkan masalah,” tegas Juru Bicara HTI Muhammad Ismail Yusanto terkait usulan paling baru dalam konteks RUU Intelijen, Selasa (27/9) di Jakarta.
Persoalannya, lanjut Ismail, intel itu dalam menjalankan pekerjaannya tertutup serta informasi yang dihimpunnya itu bisa benar dan bisa salah. Karena memang informasi tersebut lebih untuk fungsi deteksi dan peringatan dini bukan untuk penyelidikan dan penyidikan.
Nah, bagaiamana mungkin sesuatu yang bisa benar bisa tidak, itu dipakai sebagai alat bukti. Sedangkan sesuatu itu bisa dijadikan alat bukti kalau sudah masuk ke penyidikan sehingga bisa dijadikan sebagai bukti hukum.
Kalau info dini yang dihimpun intelijen dijadikan alat bukti bisa terjadi kekacauan sebab sangat berberpotensi terjadinya manipulasi karena informasi tersebut dihimpun atau diambil diam-diam.
“Kalau lah umpamanya intelijen bekerja jujurpun itu masih menimbulkan masalah karena bisa benar bisa salah. Apalagi kalau intelijen itu sudah mengandung muatan-muatan atau tujuan tertentu,” paparnya.
Menurut Ismail, meskipun bertujuan untuk mencegah terjadinya pemboman tetap saja informasi intelijen tidak boleh dijadikan alat bukti. Di negara yang dikenal intelijennya sangat canggih pun tetap saja terjadi kecolongan. Karena memang di dunia saat ini itu tidak ada satu pun model lembaga intelijen yang 100% mampu menangkal kemungkinan tindak kejahatan.
Ia mencontohkan kasus teroris Kristen di Norwegia dan Amerika. Timothy Mc Veigh meledakkan truk berisi bahan peledak penuh di depan gedung FBI Amerika. Sedangkan Anders Behring Breivik membom gedung dekat Kantor Perdana Menteri Norwegia di Oslo dan membantai sekitar 93 orang.
“Padahal orang mengakui bahwa intelijen di sana itu sudah sangat canggih. Tapi toh tetap saja kecolongan. Jadi menurut saya problemnya bukan di situ,”
Menurutnya terjadinya kecolongon pemboman bukan karena informasi intelijen tidak dijadikan alat bukti penangkapan tetapi lebih karena dua faktor. Pertama, ketangguhan intelijen dan faktor ketangguhan pelaku.
Jadi tetap saja informasi intelijen itu harus diletakkan sebagai informasi dan peringatan dini yang mempersempit ruang terjadinya kejahatan. Tetapi ketika terjadi kejahatan bukan berarti itu mutlak kelemahan intelijen dan karenanya intelijen itu harus diberi perangkat tambahan.
Jadi tidak perlu dalam RUU Intelijen itu intel diberikan kewenangan menyadap, menangkap, melakukan pendalaman itu istilahnya, apalagi dijadikan pula informasi intelijen sebagai alat bukti.
“Sebab dengan tambahan kewenangan itu, dia bisa menimbulkan masalah baru. Karena dia sangat berpotensi untuk diselewengkan atau disalahgunakan. Dan kekuatiran ini bukan tanpa alasan karena pengalaman masa lalu menunjukan seperti itu.” pungkasnya. []mediaumat.com/joko prasetyo