Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Intelijen  dalam rapat paripurna hari ini, Selasa, 11 Oktober 2011, meski berbagai  kontroversi masih menyelimuti rancangan undang-undang ini.
Wakil  Ketua Komisi Pertahanan DPR Agus Gumiwang Kartasasmita mengakui RUU  Intelijen ini masih memiliki beberapa kontroversi. ”Rancangan  Undang-Undang Intelijen Negara ini memuat substansi yang banyak  mendapatkan perdebatan publik,” ujar Agus saat membacakan laporan Komisi  dalam rapat paripurna di gedung MPR/DPR, Selasa, 11 Oktober 2011.
Agus  mengatakan materi krusial yang mendapatkan resistensi tinggi dari  masyarakat adalah soal penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan  penggalian informasi secara mendalam. Soalnya, kewenangan itu terkait  dengan nilai-nilai demokrasi, supremasi hukum, serta pengakuan dan  penghormatan terhadap hak asasi manusia. Namun, menurut Agus, kewenangan  ini perlu agar intelijen bisa bereaksi cepat dan akurat dalam  mendapatkan informasi terkait kepentingan dan keamanan nasional.
Dia  menuturkan bahwa pemerintah pada awalnya meminta agar intelijen diberi  wewenang agar bisa memeriksa secara intensif terhadap orang yang diduga  terkait dengan terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase, yang  mengancam keselamatan dan keamanan nasional. Tapi setelah perdebatan  panjang, Agus mengatakan Komisi I—membidangi pertahanan dan keamanan—DPR  tak setuju dengan kewenangan ini.
Dengan  penolakan itu, Badan Intelijen Negara tidak diberi wewenang untuk  menahan dan menangkap orang yang merupakan ranah penegakan hukum.  Walhasil, kewenangan itu digantikan dengan kewenangan penggalian  informasi. Penggalian informasi ini, menurut politikus asal Partai  Golongan Karya ini, dilakukan untuk fungsi intelijen dan bukan penegakan  hukum. ”Antara lain pengintaian, penjejakan, pengawasan, penyusupan,  pemeriksaan aliran dana, atau penyadapan,” jelasnya.
Dalam  undang-undang itu, Agus menegaskan bahwa Komisi Pertahanan DPR  memberikan pembatasan kewenangan terhadap Intelijen. Misalnya,  kewenangan penyadapan harus memperhatikan Undang-Undang HAM,  Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang  Telekomunikasi, dan putusan Mahkamah Konstitusi. “Penyadapan dilakukan  dengan perintah Kepala BIN untuk jangka waktu paling lama enam bulan dan  dapat diperpanjang sesuai kebutuhan,” ujarnya.
Selain  itu, undang-undang ini juga mengatur soal kategori rahasia intelijen.  Yaitu informasi yang membahayakan pertahanan dan keamanan negara,  informasi soal harta kekayaan alam Indonesia yang masuk kategori  dilindungi kerahasiaannya, informasi yang merugikan ketahanan ekonomi  nasional, informasi yang merugikan kepentingan politik luar negeri dan  hubungan luar negeri, informasi mengenai memorandum atau surat yang  menurut sifatnya perlu dirahasiakan, informasi yang membahayakan sistem  intelijen negara, informasi soal agen, akses dan sumber intelijen,  informasi yang membahayakan keselamatan agen intelijen, dan informasi  soal rencana atau pelaksanaan fungsi intelijen.
Rahasia  intelijen ini juga diatur masa kedaluwarsanya. Dalam undang-undang ini  disebutkan bahwa masa retensi atau kedaluwarsa rahasia negara itu selama  25 tahun. Namun dapat diperpanjang dengan persetujuan DPR. Hal krusial  lainnya soal pemidanaan. Dalam undang-undang ini, setiap orang yang  membocorkan, mencuri, atau membuka rahasia intelijen, dapat dikenakan  pidana. Kepada anggota intelijen yang membocorkan rahasia intelijen,  akan mendapatkan tambahan pidana sebesar sepertiga dari ancaman pidana  maksimal. (tempointeraktif.com, 11/10/2011)
Hizbut Tahrir Indonesia Melanjutkan Kehidupan Islam
				
Hamba yang beriman tidak akan tertipu dengan tipuan para penipu.
mereka membuat makar dan Alloh juga membuat makar dan Alloh sebaik-baik pembuat makar. Wahai para taghut apakah kalian tidak melihat kesudahan Huzni Mubaroq dan lainnya.