HTI Press. DPD I HTI Lampung kembali mengadakan Halqah Islam dan Peradaban (HIP) edisi 15, pada Jumat (28/10/2011) di Aula lantai 2 Graha Gading Karang, Bandarlampung. Talkshow dakwah yang dimulai Pkl. 20.00-22.30 malam ini bertema “Mengkritisi Lahirnya UU Intelijen”.
Narasumber yang dihadirkan meliputi elemen penting dalam masyarakat Lampung, yaitu; (Pemimpin Umum Lampung Post/Dewan Pers Lampung) H. Bambang Eka Wijaya, (Ketua Komisi Fatwa MUI Lampung) Dr. Bunyana Sholihin, dan (Humas DPD I HTI Lampung) Ust. H. Akhiril Fajri, S.E.
Sebelum dimulai, tim IT memutar film ta’rif (mengenal) dan film perjuangan Hizbut Tahrir di seluruh dunia. Mayoritas hadirin yang hadir adalah para Tokoh masyarakat, Insan Pers, dan Cendekiawan yang berjumlah hampir ratusan orang.
Moderator acara, Fathoni bertanya pada Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya mengenai perkembangan UU Intelijen ini hingga disahkan. Bambang Eka Wijaya dari Pimum Lampung post dan dewan pers Lampung yang pernah mendapat rekor MURI sebagai penulis paling aktif ini mengatakan, UU ini multitafsir dan sangat kabur. “Kita menyampaikan tentang kekayaan negara seperti sumber daya alam nanti bisa ditangkap. Bambang eka juga menambahkan poin Pasal 43 ini bisa menjadi preseden buruk bagi jurnalis karena ada item delik kelalaian atas rahasia negara. Kalau ada wartawan yang mendapat informasi pejabat korupsi, bisa ditangkap oleh intelijen, dengan alasan sedang diteliti. Menurutnya, grand design UU intelijen ini adalah untuk membuat rakyat tidak bisa berkutik menghadapi penguasa dan jangan sampai pengalaman dahulu seperti zaman orde baru yang sangat refresif terulang kembali dengan adanya UU intelijen ini.
Humas HTI Lampung Akhiril Fajri mengatakan, HTI sudah melakukan berbagai upaya mengawal isu krusial mengenai persoalan umat ini. “dan umat sepakat UU ini harus ditolak. Sebab, Ada pasal pasal tersebut yang multitafsir. Ditafsirkan sesuai dengan kepentingan pihak-pihak tertentu yang sedang menjalankan pemerintahan,” ujarnya. Bisa saja sikap kritis mengenai hak-hak umat bisa dianggap membahayakan. Padahal sebenarnya yang membahayakan Indonesia adalah penguasa yang menjual aset negara kepada asing. Selama tahun 2000 hingga kini sudah puluhan BUMN diprivatisasi. Penguasa justru berpihak pada asing dan rakyat dirugikan. Penguasa telah menggadaikan keutuhan dan kekayaan alam ini kepada pihak asing, nah dengan adanya pasal karet ini menggugat penguasa secara langsung seperti pemikir, intelektual, wartawan atau aktivis Islam yang mengungkapkan kontrak karya dapat ditangkap karena dianggap membahayakan ketahanan ekonomi nasional. Padahal ekonomi nasional kita kapitalis. Dan yang mengancam itu sebenarnya para kapitalis asing. Para ulama dan pejuang Islam justru mengingatkan penguasa dengan mengkritisi keberpihakan penguasa dengan pihak asing.
Hal senada diungkapkan Bambang, menurutnya Indonesia hidup dalam ekonomi landrente. “Rakyat kita hidup dalam ekonomi riba dan tenggelam di dalamnya, dan inilah ancaman ekonomi kita, bahkan membuat negara ini menjadi bobrok” ujar Bambang.
Menanggapi hal ini, dari Ketua Komisi Fatwa MUI, Bunyana Sholihin mengatakan, kasus sekarang digunakan untuk kemashlahatan penguasa, bukan umat. “Kita lihat UU kita memang tak punya kerangka hukum untuk menata aturan hukum itu sendiri. Berbeda dengan Syariat Islam yang sempurna. Islam itu lengkap. Masuk WC saja ada aturan hukumnya bahkan sampai mengatur aturan masyarakat, katanya. Namun, sekarang muncul UU intelijen yang kontradiksi dengan syariah Islam, dimana mematai-mematai muslim itu hukumnya haram apalagi rakyat kita yang mayoritas muslim ini. Karenanya UU intelijen ini harus ditolak dan harus di uji material terlebih dahulu sebab kalau merugikan umat Islam ini akan berbahaya kedepannya bagi para da’i n aktivis-aktivis Islam.
Akhiril Fajri kemudian menjelaskan mengenai tajassus atau intelijen dalam Islam. Intelijen digunakan untuk menyasar orang kafir yang memerangi kaum muslim secara nyata dan haram memata matai rakyat secara umum. Dan dalam syariah kita lihat konteksnya memata matai siapa. Kalau melakuakan tajassus kepang negara kafir muhariban fi’lan maupun hukman maka hukumnya boleh, seperti Rasulullah mengutus Abdullah bin Jahsy memata matai musuh, mengamati aktivitas kaum kafir Quraisy. Artinya aktivitas intelijen atau spionase hanya dilakukan pada muhariban fi’lan, de juredan de facto. Selain itu, baik itu muslimmaupun Orang kafir dzimmy dalam naungan khilafah tidak boleh dimata matai negara. “karenanya hanya dengan penerapan syariah dalam naungan khilafah-lah masyarakat akan tenang, bukan dengan sistem demokrasi kapitalis sekuler sekarang ini”.
Oleh karena itu, dalam HIP kali ini para peserta yang terdiri dari tokoh masyarakat, insan pers, Mubaligh dan cendikiawan juga sepakat untuk menolak UU intelijen ini. Dan tidak lupa pada HIP kali ini juga terdengar pesan untuk tetap bersama-sama berjuang untuk menegakkan syariah dan Khilafah untuk Indonesia lebih baik. (LI dan Infokom Lampung)