[Renungan Idul Adha 1432 H] Ibadah Haji: Persatuan Umat dan Urgensi Daulah Khilafah

[Al Islam 579] Kegembiraan Hari Raya Kurban (Idul Adha) kembali kita rasakan. Namun, kegembiraan itu hendaknya jangan sampai membuat kita melupakan kondisi saudara kita, umat Islam di seluruh dunia, yang hingga kini masih terus dililit keterpurukan di segala bidang. Keterpurukan itu adalah akibat dominasi dan penerapan Kapitalisme yang secara global dipimpin oleh AS, pemimpin kafir penjajah, dan dijalankan oleh para kaki tangan mereka di negeri kaum Muslim. Keterpurukan itu juga karena tiadanya pelindung hakiki bagi umat Islam, yaitu Imam atau Khalifah. Rasulullah saw. bersabda:

« إنَّمَا اْلإمَامُ جُنَّةٌ يُقاتَلُ منْ وَرَائِهِ وَيُتَّقى بهِ »

Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu bagaikan perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya (HR Muslim).

Kegembiraan itu juga jangan sampai membuat kita gagal menangkap pelajaran “hikmah haji“, yaitu manfaat-manfaat yang dapat dipersaksikan oleh kaum Muslim khususnya para jamaah haji. Allah SWT berfirman:

لِّيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ

agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka (QS al-Hajj [22] : 28).

Ayat ini menunjukkan, dalam ibadah haji kaum Muslim akan mendapatkan berbagai manfaat yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan (Ali bin Nayif Asy-Syahud, Al-Khulashah fi Ahkam al-Hajj wa al-Umrah, hlm.2).

Persatuan Hakiki

Di antara pelajaran terpenting dari ibadah haji ini adalah pesan persatuan umat (wahdah al-ummah). Umat Islam dari seluruh pelosok dunia berkumpul untuk melakukan ibadah yang sama, zikir yang sama, di tempat yang sama dan dengan busana ihram yang sama; tanpa mempedulikan lagi batasan negara bangsa (nation state), perbedaan suku, warna kulit, bangsa, dsb.

Semua itu semestinya mengingatkan kita akan karakter umat Islam sebagai umat yang satu (ummat[an] wahidah). Rasulullah saw. menegaskan hal itu di dalam Piagam Madinah:

Ini adalah piagam perjanjian dari Muhammad saw. antara orang-orang Muslim dan Mukmin dari Quraisy dan Yatsrib serta orang-orang yang menyusul mereka, bergabung dengan mereka dan berjihad dengan mereka. Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu (ummat[an] wahidah), berbeda dengan manusia lainnya (Shafiyurrahman Mubarakfuri, Ar-Rahiq Al-Makhtum, hlm. 153).

Perwujudan karakter umat yang satu itu tiada lain karena adanya tali pengikat yang satu di antara mereka, yaitu agama Islam. Maka Allah SWT berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

Berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah dan jangan bercerai-berai (QS Ali Imran [3]: 103).

Berkumpulnya jamaah haji dengan sesama Muslim dari seluruh pelosok dunia akan menyadarkan mereka -juga kita-, bahwa yang mempersatukan umat Islam hanya satu faktor saja, tidak lebih, yaitu agama Allah (Islam).

Sementara faktor lainnya baik suku, warna kulit, bangsa, dsb, sesungguhnya bukanlah faktor pemersatu dan tidak layak menjadi faktor pemersatu. Tak ada manusia yang kuasa memilih atau menolak dilahirkan sebagai suku, warna kulit, atau bangsa tertentu. Semua itu hanyalah qadha` yang terkait dengan penciptaan manusia, tanpa ada kuasa dan hak memilih bagi manusia. Karena itu, faktor kesukuan, warna kulit, kebangsaan, dsb itu bukan dan tidak layak dijadikan sebagai faktor pemersatu; dan bukan pula sebagai dasar pembentukan sebuah negara, melainkan qadha` Allah dalam penciptaan yang menjadi sarana untuk manusia saling mengenal. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا

Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal (QS al Hujurat [49]: 13).

Memang, dalam kenyataannya umat Islam itu bermacam-macam, terdiri dari beragam suku, bangsa dan ras. Namun meski dengan perbedaan dan keragaman itu umat Islam tetap merupakan umat yang satu dan ibarat satu tubuh sebagaimana digambarkan oleh Nabi saw.:

« مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فَِي تَواَدِهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُم عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَى»

Perumpamaan kaum Mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi dan berlemah lembut adalah laksana satu tubuh. Jika ada satu organ tubuh yang sakit maka seluruh tubuh lainnya akan turut tak bisa tidur dan merasa demam (HR Muslim).

Jelaslah, inilah diantara pelajaran terpenting dari ibadah haji, yaitu pesan persatuan umat Islam. Umat Islam dari seluruh pelosok dunia seharusnya menjadi umat yang satu. Mereka seharusnya hanya diikat oleh satu faktor pemersatu hakiki berupa tali agama Allah saja, dan mengabaikan faktor lainnya baik warna kulit, suku, bangsa, dsb.

Bingkai Persatuan

Persatuan umat Islam dan karakter umat yang satu itulah yang menjadi dasar dari adanya negara yang satu (dawlah wahidah), yaitu satu negara Khilafah dengan satu kepemimpinan seorang khalifah untuk umat Islam di seluruh dunia.

Jika kebangsaan menjadi dasar bagi negara-bangsa, maka bagi umat Islam, karakter umat yang satu menjadi dasar bagi negara Khilafah yang satu. Tidak boleh ada lebih dari satu negara Khilafah bagi seluruh kaum Muslim dari Maroko hingga Merauke. Rasulullah saw. bersabda:

« إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا الآخِرَ مِنْهُمَا »

Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya (HR Muslim).

Berdasarkan nas-nas tersebut, “Imam mazhab yang empat sepakat bahwa tidak boleh kaum Muslim pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam (Khalifah), baik keduanya bersepakat maupun bermusuhan” (Syaikh Abdurrahman al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (Fiqih Menurut Empat Mazhab), V/416).

Imam an-Nawawi juga menegaskan: “Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua orang Khalifah pada waktu yang sama, baik Darul Islam itu luas maupun tidak (Imam an-Nawawi, Syarh Muslim, XII/232).

Urgensi Khilafah

Pelajaran penting lainnya dari ibadah haji adalah kesadaran akan urgensi negara Khilafah (ahammiyah dawlah al-Khilafah). Bisa disaksikan bahwa kaum Muslim datang ke Tanah Suci untuk berhaji dari berbagai negeri di lima benua berbeda, bukan hanya dari Jazirah Arab yang menjadi titik bermulanya agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw.

Bagaimana Islam dapat tersebar sedemikian luas? Sesungguhnya, jawabannya hanya satu. Adanya umat Islam yang berada di berbagai negeri di berbagai pelosok bumi terjadi karena adanya negara Khilafah yang melakukan futuhat (penaklukan) dan aktivitas dakwah ke seluruh dunia.

Bahkan para ulama besar termasuk Walisongo yang menyebarkan dakwah di Nusantara pada sekitar abad 14 atau 15 M yang lalu, juga tak lepas dari jasa Khilafah. Khilafah Utsmaniyah di Turki-lah yang dulu berjasa besar mengirim para dai yang kelak disebut Walisongo itu untuk menyebarkan dakwah Islam di Nusantara.

Karena itu, fenomena jamaah haji yang berasal dari berbagai negeri di segala penjuru dunia itu semestinya menyadarkan kita akan urgensi Daulah Khilafah. Sebab, salah satu urgensi Khilafah adalah mengemban risalah Islam ke seluruh dunia, dengan dakwah dan jihad fi sabilillah. Tanpa adanya negara Khilafah yang melakukan aktivitas dakwah dan jihad, niscaya kita tak akan menyaksikan fenomena menakjubkan berkumpulnya jamaah haji dari seluruh penjuru dunia itu.

Adanya negara Khilafah sangat urgen karena menjadi pelaksana aktivitas dakwah dan jihad itu untuk menyebarkan Islam kepada seluruh umat manusia. Jadi adanya negara Khilafah itu urgen bagi terealisasinya karakter Islam sebagai risalah universal untuk semua manusia. Allah SWT berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا

Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada seluruh umat manusia, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan (QS Saba` [34]: 28).

Selain itu, Khilafah juga sangat urgen demi penerapan syariah Islam. Boleh dikatakan, semua kewajiban syariah -seperti penegakan hudud, jinayat, pemungutan dan pendistribusian zakat, serta pelaksanaan berbagai sistem kehidupan, termasuk kesempurnaan pelaksanaan ibadah- bertumpu dan bergantung pada satu poros, yaitu keberadaan negara Khilafah. Artinya, tanpa adanya Khilafah, pelaksanaan berbagai kewajiban syariah itu tak akan mungkin terlaksana secara sempurna.

Ibadah haji, tanpa negara Khilafah, memang dapat terlaksana. Namun, tanpa Khilafah tetap saja pelaksanaaanya menjadi kurang sempurna karena masih banyak mendapat hambatan dan kendala. Misalnya, urusan paspor haji. Dengan Khilafah paspor menjadi tidak relevan dan tak dibutuhkan lagi. Sebab, orang Indonesia, Mesir, atau Sudan, tatkala pergi ke Makkah, tak akan dianggap lagi pergi ke luar negeri, melainkan masih perjalanan dalam negeri. Paling banter perjalanan antarpropinsi. Dengan demikian, pengelolaan administrasi haji akan lebih sederhana dan menghemat banyak ongkos. Mereka yang pernah naik haji, tentu sangat memahami kerepotan administrasi yang sebenarnya tidak perlu ini.

Maka dari itu, Khilafah jelas sangat urgen demi sempurnanya pelaksanaan berbagai kewajiban syariah. Khilafah menjadi mutlak adanya. Hal ini sesuai kaidah syariah:

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَواَجِبٌ

Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.

Wahai Kaum Muslim

Itulah diantara pelajaran terpenting dari ibadah haji. Sekaranglah saatnya semua itu kita wujudkan. Saatnya kita raih kemuliaan dengan turut aktif mewujudkan Khilafah di tengah-tengah kita. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar al-Islam

Kiriman uang dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke tanah air mencapai US$ 5,05 miliar atau sekitar Rp 43 triliun selama triwulan III-2011 (detikFinance, 01/11/2011). Selama tahun 2010 kiriman uang TKI mencapai US$ 6,73 miliar atau sekitar Rp 60 triliun. Angka tersebut meningkat 1,8 % dari tahun 2009 yang sebesar US$ 6,61 miliar. (DetikFinance, 24/3/2011).

  1. Itulah salah satu “prestasi” ekspor negeri ini.
  2. Ironis, rakyat terpaksa menyabung nyawa di luar negeri, sementara triliunan kekayaan negeri ini justru diserahkan untuk dijarah oleh asing dan dilegalkan dengan undang-undang buatan “wakil rakyat”. Di sisi lain, berlangsung pemelaratan secara sistematis di negeri ini akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme neo-liberal.
  3. Terapkan Sistem Ekonomi Islam dan kelola kekayaan sesuai syariah, niscaya rakyat makmur dan sejahtera tanpa harus menyabung nyawa di luar negeri.

One comment

  1. alhamdulillah …..? dari Al islam kami terus tambah wawasan…?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*