Hasil survei Transparansi Internasional (TI) terbaru menunjukkan perusahaan-perusahaan Indonesia cenderung memberi suap saat menjalankan bisnis di luar negeri.
Dari daftar Bribery Payers Index (BPI) yang terdiri dari 28 negara, Indonesia menempati peringkat ke-4 daftar pengusaha yang gemar memberi suap untuk memuluskan urusan bisnisnya.
“Dalam wawancara responden di 30 negara yang disurvei, nama pengusaha Indonesia selalu disebut kerap memberi suap,” kata Manajer Tata Kelola Ekonomi Transparansi Internasional Indonesia, Franky Simanjuntak, kepada BBC Indonesia, Rabu (2/11).
Sayangnya, survei ini tidak menjelaskan di negara mana saja pengusaha Indonesia ditengarai kerap memberi suap. Namun, setidaknya survei ini bisa menjelaskan kebiasaan membayar suap para pengusaha Indonesia.
Menurut Franky kecenderungan membayar suap ini adalah perpaduan antara kebiasaan yang dilakukan di Indonesia dan lemahnya hukum di negara tempat mereka berbisnis.
“Jika pengusaha Indonesia berbisnis di negara yang hukumnya longgar maka kecenderungan memberi suap ini semakin tinggi. Tetapi jika mereka berbisnis di negara yang aturannya ketat maka kecenderungan itu menurun,” papar Franky.
Fakta ini, tambah Franky, dalam jangka panjang dapat merugikan karena menurunkan kredibilitas para pengusaha Indonesia di mata rekan bisnis mereka di luar negeri.
Terakhir kali TI merilis daftar BPI adalah tahun 2008 lalu dan saat itu Indonesia belum menjadi salah satu negara yang disurvei.
Rusia tertinggi
Sementara itu, survei yang melibatkan 3.000-an eksekutif perusahaan ini menunjukkan pengusaha-pengusaha Rusia dan Cina menjadi yang teratas dalam urusan memberi suap.
Sedangkan pengusaha asal Belanda dan Swiss menjadi pengusaha-pengusaha yang nyaris tidak pernah memberi suap untuk memuluskan bisnis mereka di luar negeri.
Lewat hasil surveinya ini, TI menyerukan kepada komunitas internasional untuk melakukan langkah tegas bagi perusahaan yang membayar suap.
“Para pemimpin G20 harus segera mencegah praktik suap di luar negeri. Investigasi dan hukuman harus ditingkatkan,” kata Ketua TI, Huguette Labelle.
Rusia yang menjadi pemuncak daftar ini dinilai TI sebagai sebuah kasus khusus.
“Sayangnya tak ada istilah integritas dalam kehidupan bisnis Rusia,” kata Direktur TI Rusia, Elena Panfilova.
Survei TI ini juga menunjukkan pengusaha yang biasa menyuap biasanya berasal dari negara yang pemerintahnya juga dianggap memiliki integritas rendah terkait persepsi korupsi yang dirilis TI tahun lalu.
Sektor publik
Dari hasil survei itu, terlihat sektor yang paling terpengaruh dengan supa menyuap adalah sektor layanan publik dan infrastruktur.
Di sektor inilah perusahaan berkompetisi untuk memenangkan kontrak kerja dari pemerintah, mulai dari pengelolaan sampah hingga pembangunan jalan raya.
TI mencatat proyek-proyek sektor publik yang biasanya berskala besar, kompleks dan melibatkan banyak sub kontraktor, sangat mudah untuk menggelembungkan biaya dan menyembunyikan pengeluaran-pengeluaran tak tercatat.
Pengusaha yang menyuap untuk mendapatkan proyek infrastruktur dalam penilaian TI sama dengan menipu rakyat pembayar pajak dan menurunkan standar keamanan proyek itu.
Sektor lain yang rawan suap adalah pertambangan serta eksplorasi migas seperti yang banyak dilakukan pengusaha Rusia dan Cina.
Sementara sektor pertanian relatif paling bebas suap, sedangkan perbankan menduduki urutan keempat bebas suap dari 19 sektor industri. (bbc, 2/11/2011)