LONDON, KOMPAS.com — Pemerintahan Tony Blair pernah berusaha untuk menekan Universitas Oxford agar kampus itu menerima Saif Khadafy belajar di sana. Namun, Saif ditolak karena ia tak cukup cerdas.
Adalah Profesor Valpy Fitzgerald, Kepala Departemen Pembangunan Internasional Universitas Oxford, yang mengungkap upaya busuk rezim Blair itu, sebagaimana dilansir Daily Mail, Kamis (1/12/2011). Fitzgerald mengatakan, ia dihubungi seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri Inggris tahun 2002. Pejabat itu meminta agar Oxford menerima Saif di program MA bidang ekonomi pembangunan atau studi pembangunan.
Prof Fitzgerald memberi tahu pejabat itu bahwa ia khawatir dengan kemampuan akademis Saif. Putra pertama dari istri kedua Kolonel Moammar Khadafy itu “tidak memiliki pelatihan ilmu sosial dan gelarnya tidak memenuhi standar kualitas yang diperlukan”.
Pengungkapan hal itu muncul setelah London School of Economics (LSE) menerima “sumbangan” senilai 1,5 juta poundsterling dari Saif, meskipun ada bukti bahwa uang itu berasal dari suap yang dibayarkan perusahaan-perusahaan asing demi mengamankan proyek menguntungkan mereka di Libya. Sebuah laporan resmi menyimpulkan, uang tunai itu telah dibayarkan kepada putra playboy dari Kolonel Khadafy itu oleh kontraktor-kontraktor yang berusaha untuk “mendapatkan bantuan” dari diktator tersebut. Yang mengherankan, donasi tersebut secara resmi diterima pada hari saat Saif meraih gelar PhD kontroversial dalam sebuah upacara wisuda di LSE.
Laporan itu, yang disusun mantan Hakim Agung Lord Woolf, mengungkapkan, karier akademis Saif di London dipenuhi keluhan akan kecurangan. Namun, meskipun ada tuduhan itu, sebuah kajian independen oleh University of London menyimpulkan bahwa Saif tidak seharusnya dilucuti gelar PhD-nya.
Saif ditangkap pemberontak Libya setelah rezim ayahnya tumbang. Ia kini ditahan dan akan diadili. Jika terbukti bersalah, ia sepertinya akan dieksekusi.
Dalam laporannya yang setebal 188 halaman, Lord Woolf mengatakan, gabungan tuduhan kecurangan dan sumbangan untuk LSE menimbulkan persepsi yang sangat disayangkan “tentang kegiatan LSE itu”.
Lord Woolf menyusun laporan itu menyusul pengunduran diri Sir Howard Davies sebagai direktur LSE pada Maret lalu di tengah berita mengejutkan terkait hubungan intensif LSE dengan rezim Khadafy. Selain sumbangan Saif, universitas itu juga ternyata menandatangani kontrak senilai 2,2 juta poundsterling untuk melatih pengawai layanan sipil Libya. Sir Howard juga mengambil peran ganda sebagai utusan ekonomi Tony Blair untuk Libya dan penasihat dana investasi Pemerintah Libya.
Laporan Lord Woolf merinci kegagalan yang terbilang mengejutkan dalam manajemen puncak LSE dalam penanganan donasi. Para pejabat universitas itu gagal mengungkapkan rincian asal-usul uang tersebut, yang mereka temukan di sebuah laporan due diligence, bagi dewan yang mengatur LSE ketika mempertimbangkan itu sebagai sumbangan. Uang tersebut seolah-olah sumbangan dari Yayasan Pembangunan dan Lembaga Amal Internasional Khadafy yang dikelola Saif Khadafy.
Namun, para pejabat LSE bisa menemukan bahwa uang itu pada kenyataannya berasal dari kontraktor-kontraktor yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di negara Afrika Utara itu. Jadi, uang itu masuk kategori uang suap. Lord Woolf mengatakan, bukannya menimbulkan “keprihatinan nyata”, laporan itu secara efektif diabaikan.
Laporan itu juga mengkritik Profesor David Held, yang kemudian menjadi kepala ilmu politik di LSE, yang membuat presentasi kepada dewan universitas tentang sumbangan tersebut meskipun ada “konflik kepentingan yang sangat jelas”.(http://www.kompas.com/read/xml/2011/12/02/05500685/Saif.Tak.Cukup.Cerdas.untuk.Masuk.Oxford)