Seperti sudah diduga sebelumnya, kubu Islamis berhasil meraih suara mayoritas dalam pemilu putara pertama pasca tumbangnya Mubarak. Berdasarkan pengumuman Komite Tinggi Pemilihan Umum Mesir pada hari Ahad (04/12/2011) lalu, Partai an Nur yang berbasis Salafy diluar dugaan banyak pihak meraih 24,4%.
Suara terbanyak diraih Partai Kebebasan dan Keadilan yang berafiliasi kepada al Ikhwanul Muslimun ,berhasil mendulang 36,6%. Sementara partai dari kubu sekuler terpuruk , hanya mendapat 13,4% suara .Dengan demikian, partai-partai Islam memperoleh lebih dari 60% suara pada pemilu tahap pertama di Mesir.
Kemenangan kubu Islamis ini , mencerminkan keinginan rakyat Mesir yang kuat terhadap Islam. Meskipun Partai Kebebasan dan Keadilan telah menyatakan tidak akan menerapkan syariah Islam , tidak menginginkan negara Islam tapi negara sipil demokratis, dan menerima pluaralisme , tetap saja dianggap lebih kental ‘keislamannya’. Sementara partai an Nur , memang sejak awal dengan tegas menyerukan penegakan syariah Islam.
Rendahnya peralihan suara yang diperoleh partai sekuler, menunjukkan kemuakan rakyat Mesir terhadap pemerintahan sekuler selama ini yang represif dan tidak mensejahterakan rakyat Mesir. Ditambah lagi , kubu Islamis memang lebih siap menghadapi pemilu kali ini . Kubu Islamis memiliki basis massa yang jelas dan lebih terorganisir.
Kemenangan kubu Islamis ini tak ayal membuat Amerika melakukan langkah-langkah preventif untuk tetap mengamankan kepentingannya di Mesir. Surat kabar “Almesryoon“,Sabtu (3/12/2011) memberitakan kedutaan besar Amerika memanggil semua sekutu liberalnya di Kairo. Melakukan pertemuan darurat membahas implikasi keberhasila n besar al Ikhwanul al Muslimun dan koalisi Salafi.
Amerika Serikat memang sangat khawatir perubahan di Timur Tengah terutama Mesir mengarah kepada penegakan syariah Islam apalagi Khilafah. Karena hal ini akan mengancam kepentingan penjajahan Amerika di Mesir dan Timur Tengah. Tegaknya Khilafah juga akan menjadi ‘efek domino’ yang akan menyatukan negeri-negeri Islam di seluruh dunia yang memang sudah menginginkan umat Islam bersatu.
Kontak rutin Kepala Staf Gabungan Pasukan AS Laksamana Mike Mullen, Koordinator Khusus untuk Urusan Transisi Timur Tengah William Taylor, dan Duta Besar AS di Kairo dengan Dewan Militer, Syaikh Al Azhar dan simbol-simbol negara, menunjukkan keseriusan Amerika untuk tetap mengontrol Mesir. Terutama memastikan Dewan Militer Mesir tetap berpegang teguh pada sekulerisme dan berpihak pada Amerika.
Amerika juga melakukan kontak-kontak intensif dengan kubu al Ikhwanul Muslimun. Negara adi daya ini ingin memastikan bahwa al Ikhwan berpegang teguh pada demokrasi dan pluralisme. Tekanan Amerika ini tampaknya berhasil, dilihat dari pernyataan tokoh al Ikhwan yang menunjung tinggi demokrasi dan pluralisme.
Situs Islammemo mengutip laporan wartawan Mesir yang mengatakan telah menyaksikan kontak kontak intensif antara Kedutaan Besar AS di Kairo dengan sejumlah tokoh-tokoh kelompok Islamis di Mesir. Surat kabar Mesir “Almasryoon” menyatakan telah dibahas isu-isu sensitif dalam kontak-kontak ini seperti masa depan hubungan antara Mesir dan Amerika Serikat, perjanjian damai antara Mesir dan dan Israel, penyelesaian masalah Timur Tengah, hubungan politik dan ekonomi dengan negara-negara Arab.
Dilaporkan juga para pejabat pada departemen hubungi politik di Kedubes AS menuntut kekuatan Islam mengidentifikasi pandangannya dengan jelas dalam bentuk perjanjian tertulis (hitam di atas putih) terkait masalah-masalah tersebut. Hal ini mengingat kemungkinan dominasi kelompok Islamis di parlemen mendatang dan di Majelis Konstituante yang bertugas merancang konstitusi.
Dr Mahmud Husein, Sekjen al Ikhwanul Muslimun menolak menyangkal atau menegaskan adanya komunikasi ini. Sementara Dr Yasri Hammad, juru bicara partai “An-Nur” mengakui adanya komunikasi langsung antara partai dan semua Kedutaan Besar Barat di Kairo, termasuk Kedutaan Besar AS.
Dilaporkan juga, Senator AS John Kerry bertemu dengan anggota Ikhwanul Muslimin Mesir, kelompok Islam yang akan mendominasi parlemen baru, serta penguasa militer negara itu dan perdana menteri pada hari Sabtu kemarin (10/12) .Ikhwanul Muslimin mengatakan dalam sebuah pernyataan tiga pejabat tinggi mereka menghadiri pertemuan dengan Kerry, yang didampingi oleh Duta Besar AS Anne W. Patterson.
Dalam pertemuan mereka dengan senator Demokrat dari Massachusetts, pejabat al Ikhwan bersumpah untuk menghormati hak-hak sipil dan perjanjian internasional yang telah ditandatangani di masa lalu. Hal ini mungkin sebuah upaya untuk meredakan kekhawatiran bahwa kelompok ini mungkin mencoba untuk mengkaji kembali perjanjian damai Mesir dengan Israel.
Militer Berkhianat ?
Amerika juga berusaha menggunakan militer untuk melakukan langkah-langkah yang justru tidak demokratis. Salah seorang anggota Dewan Agung Militer , kamis (8/12) Mayjen Mukhtar Mulla mengatakan dewan konsultatif yang dibentuk militer dan beranggotakan 30 tokoh Mesir pilihan militer memiliki wewenang yang lebih besar.
Militer mencoba mengurangi peran parlemen mendatang dan memberikan tambahan wewenang kepada dewan konsultatif dan pemerintahan transisi yang dibentuk militer untuk menyusun konsitutusi baru. Padahal berdasarkan referandum yang dilangsung secara demokratis maret kemarin suara mayoritas menyatakan mendukung hak parlemen untuk menyusun konstitusi baru.
Sikap militer ini dikecam kubu al Ikhwan, apalagi sebelumnya al Ikhwan berusaha menahan diri untuk tidak konflik dengan militer. Sejalan dengan kubu militer. Al Ikhwan tidak terlibat dalam unjuk rasa di alun-alun Tahrir pada 18 November yang lalu. Aksi unjuk rasa ini meminta agar dewan militer segera mengundurkan diri , setelah terbongkarnya dokumen Ali al Silmi yang berisi draft konstitusi baru. Dalam draft ini, militer diberi otoritas luas soal anggaran tanpa kontrol parlemen.
Akankah al Ikhwan kembali dikhianati oleh militer seperti di masa Gamal Abdul Nasser ? Saat itu al Ikhwan dan militer bekerjasama untuk menumbangkan rejim Raja Farauk yang pro Inggris, namun setelah berhasil militer justru menyikat habis kekuataan politik al Ikhwan. Menghukum mati banyak tokoh al Ikhwan termasuk Sayyid Qutub.
Arah Perkembangan Politik
Arah perkembangan politik Mesir ini, tentu sangat mengkhawatirkan. Salah satu partai Islam berpengaruh di Timur Hizbut Tahrir telah berulang kali mengingatkan bahwa semua kerjasama dengan asing apalagi negara-negara imperialis berarti bunuh diri secara politik. Apalagi tunduk pada tuntuan mereka untuk berpegang teguh pada demokrasi dan pluralisme. Secara hukum syara’ juga diharamkan, karena status AS sebagai negara muhariban fi’lan yang secara langsung telah memerangi umat Islam.
Hal ini tidak akan membawa perubahan mendasar di Mesir. Hizbut Tahrir mengingatkan kemenangan Islam bukanlah menghantarkan orang-orang Islam ke tampuk kekuasaan yang (tetap) menerapkan sistem sekuler. Namun kemenangan sejati adalah meraih kekuasaan untuk menerapkan syariah Islam !
Sistem sekuler dengan pilar demokrasi,liberalisme, dan pluralisme hanya akan kembali mengokohkan penjajahan Amerika dan sekutunya di Timur Tengah dan melanggengkan sistem kufur kapitalisme. Padahal dua hal ini (campur tangan amerika dan sistem kapitalisme) adalah penyebab berbagai persoalan di Mesir selama ini. Dan penjajahan ini hanya akan bisa dihentikan dengan tegaknya syariah dan Khilafah yang akan memberikan kebaikan dan kesejahteraan sejati pada rakyat Mesir. (Farid Wadjdi)