Bantuan sosial (bansos) seringkali digunakan sebagai kedok untuk melakukan politik uang dalam pemilihan kepala daerah. Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Wirdyaningsih mengakui itu.
“Bansos ini sebenarnya politik uang. Bansos diberikan sehari sebelum pemilihan. Apa dalihnya memberi bansos kalau itu dilakukan sehari atau dua hari sebelum pemilihan,” katanya di Jakarta, Selasa (20/12) malam.
Modus ini, tambahnya, seringkali dilakukan mereka yang memiliki jabatan dalam pemerintahan. “Tidak hanya yang incumbent, tapi juga yang memiliki jabatan di pemerintahan,” katanya.
Para pejabat, menurutnya, menggunakan kewenangan dan jabatan untuk membuat kebijakan bantuan sosial. “Tapi kita tidak tahu, apakah dana bansos itu dari APBN atau ada juga dari pasangan calon,” katanya.
Menurut dia, modus bantuan sosial ini sulit dijerat dengan politik uang. Sebab, definisi politik uang sesuai UU 32/2004 hanya dibatasi pada tindakan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya agar memilih atau tidak memilih pasangan calon tertentu.
“Ini kesulitannya. Misalnya saat memberikan bantuan sosial dalam kapasitas sebagai pejabat, tapi sambil mengatakan ‘ingat, jangan lupa ya’. Ini kan kata bersayap untuk memilih dirinya,” kata Wirdyaningsih.
Lantaran itu, dia berpendapat perlu ada definisi lebih ketat mengenai politik uang. Selain itu, juga memperketat aturan bagi para pejabat yang ikut dalam pemilihan kepala daerah. Ia menambahkan, politik uang tidak hanya terjadi masa pemilihan saja, namun juga terjadi sejak pra pemilihan, mulai dari pelolosan pasangan calon kepala daerah. Dalam pemilihan kepala daerah selama 2011, pihaknya setidaknya menemukan 367 kasus politik uang. (republika.co.id, 21/12/2011)