USAID Sebagai Perpanjangan Tangan Kepentingan Pemerintah Amerika Serikat – (Kasus Bantuan Kemanusiaan di Aceh 2005-2007)

Benarkah USAID (United States Agency for International Development) memang merupakan perpanjangan tangan Departemen luar Negeri? Mari kita telusur kembali sejarah lahirnya USAID. Semua itu bermula pada pasca Perang Dunia II ketika Amerika mengucurkan bantuan ke Eropa melalui Marshal Plan dan Empat Poin Program Truman. Sebagai Presiden Amerika Serikat pada 1949 Harry S Truman dalam pidatonya mencetuskan empat poin:

1.    Amerika akan mendukung PBB dan berperan dalam pengambilan keputusan.
2.    Amerika akan melanjutkan program perbaikan ekonomi dunia.
3.    Amerika akan melindungi kemerdekaan dan kedamaian penduduk seluruh dunia dan agresi.
4.    Amerika akan mencanangkan program modernisasi dan investasi capital.

Sebagai derivasi dari empat poin tersebut, maka dibuatlah Undang-Undang Bantuan Luar Negeri dan pada 1961 pemerintah Amerika Serikat menandatangani undang-undang tersebut dan USAID kemudian dibentuk oleh pemerintah eksekutif. Maka sejak itu, USAID telah menjadi agen utama pemerintah Amerika Serikat untuk memberikan bantuan kepada negara-negara yang baru pulih dari bencana, mencoba keluar dari kemiskinan, dan terlibat dalam reformasi demokratis.

Dan USAID, ternyata berada di bawah kendali Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, namun memiliki kewenangan sendiri. Jadi seperti Bappenas di Indonesia.  Sedangkan sumber dana USAID berasal dari Kognres (DPR), berasala dari pajak rakyat Amerika Serikat dan bahkan  berasal dari 1-1,5 persen GDP rakyat Amerika Serikat.

Bahkan lucunya, rakyat Amerika sendiri tidak mengenal USAID dan hanya negara-negara berkembang yang mengenal USAID karena memang negara-negara berkembang tersebut yang membutuhkan bantuan.

USAID didirikan pada 1961 dan berpusat di Washington. Gagasan pembentukan USAID merupakan suatu bagian dari Undang-Undang tentang bantuan luar negeri Amerika yang telah disetujui pada 1961 tersebut di atas.

Satu karakteristik USAID yang perlu digarisbawahi di sini,  adalah fakta bahwa tak peduli apakah Pemeritantah Amerika sekarang dikuasai oleh partai demokrat atau partai republik, namun USAID tetap eksis karena USAID merupakan senjata bagi Amerika dalam menyalurkan bantuan dana bagi negara negara berkembang. Dan dengan bantuan dana tersebut bisa mendikte secara politis negara yang menerima bantuan tersebut.

Karakteristik USAID Sebagai Penyalur Bantuan Luar Negeri Amerika Serikat

Misi USAID, mengelola bantuan kemanusiaan dan ekonomi bagi negara-negara asing.

Amerika dan Indonesia menandatangani perjanjian kerjasama ekonomi pada 1950, dan Amerika telah memberikan bantuan dana sebesar US$ 80 juta untuk bidang umum dan US$ 67 juta untuk membantu perbaikan akibat perang di Indonesia. Akhir 1961, misi USAID di Indonesia adalah membantu pemerintah mengatasi masalah perkembangan penduduk di Indonesia yang semakin meningkat.

Pada 2005, setahun setelah tsunami Aceh, Amerika membantu Indonesia memulihkan pelayanan pemerintah di Aceh Besar dan mengembalikan warga ke rumah masing masing. Pada 30 Juni 2005, USAID menandatangani kesepakatan dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar terkait bantuan dana sebesar US$ 4 juta dalam bentuk bantuan teknis untuk masyarakat.

Pemerintah Kabupaten Aceh Besar telah membuat suatu rencana aksi pembangunan kembali komunitas yang hancur akibat tsunami pada 26 Desember 2004. Atas permintaan pemerintah daerah, USAID kemudian menanggapinya dengan meluncurkan Program Dukungan Bagi Pemerintahan Lokal/Local Governance Support Program (LGSP) selama 2 tahun untuk membantu pemerintah Aceh Besar meningkatkan kapabilitas dalam menjalankan rencana rekonstruksi.

Pertemuan tersebut dihadiri oleh William McKinney, perwakilan pemerintah Amerika untuk rekonstruksi Aceh dan Philip Schwehm, Direktur Program LGSP. Sedangkan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar diwakili oleh Walikota Zain Aziz dan Pejabat Sementara Gubernur Aceh dan Wakil Ketua Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias Azwar Abubakar.

Sekadar informasi. LGSP bertujuan meningkatkan ketrampilan teknis pegawai pemerintah daerah dan para pemimpin dewan dalam menerapkan rencana aksi, sekaligus menjamin partisipasi penuh masyarakat dalam proses rekonstruksi.

Prioritas Utama USAID adalah meningkatkan kapabilitas rekonstuksi tata ruang dan perumahan sehingga warga dapat segera membangun kembali secepatnya. Sampai saat ini USAID telah memberikan dana bantuan lebih dari US$ 53 juta sebagai bagian dari paket bantuan Amerika Serikat untuk pemulihan dan rekonstruksi di Aceh dan Sumatera Utara sebesar US$ 4 juta.

Sisi yang menarik untuk dicatat dari fakta-fakta tersebut di atas, pelaksanaan bantuan luar negeri USAID kepada Indonesia tidak terlepas dari kepentingan nasional yakni negara donor Amerika Serikat. Kepentingan nasional juga tidak lepas dari kebijakan luar negeri negara tersebut.

Karena itu, kebijakan luar negeri yang dibuat pemerintah Amerika dengan sendirinya juga ikut mendukung pemberian bantuan luar negeri Amerika (USAID) melalui LGSP kepada Indonesia.

Seberapa rawan sebenarnya bantuan luar negeri Amerika dalam mengendalikan arah kebijakan strategis Indonesia? Menurut temuan penelitian penulis dari berbagai literature bahan bacaan, bantuan luar negeri Amerika dalam berbagai bentuknya seperti bantuan ekonomi, militer, pinjaman, hibah, dan lain lain, akan selalu menampakkan dua cirri utama penjajahan:
1.    Pemaksaan dominasi
2.    Eksploitasi.

Pentingnya Indonesia bagi Amerika dengan jelas terumuskan melalui pidato Edward Master, Duta Besar Amerika untuk Indonesia, di depan American Chamber of Commerce pada 27 Januari 1980:
“Indonesia sangat penting dari segi keamanan. Negara ini terletak secara strategis di antara Australia dan daratan Asia. Ia terbentang di antara jalur-jalur laut yang menggabungkan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia yang bersahabat, stabil dan dan sehat secara ekonomis menjamin perairan penting ini selalu tetap terbuka untuk kita dan negara-negara di kawasan ini bagi siapa semua itu adalah garis hidup Eropa dan Timur Tengah.”

Pidato tersebut tetap merupakan landasan politik luar negeri Amerika Serikat hingga kini. Karena itu penulis beranggapan bahwa bantuan luar negeri dengan bentuknya, harus dibaca sebagai salah satu alat kebijakan luar negeri Amerika Serikat, tak terkecuali bagi Indonesia. Termasuk dalam konteks LGSP di Aceh yang diluncurkan oleh USAID.

Motif Ekonomi Pemerintah Amerika Serikat: Kuasai Minyak dan Gas

Dalam jangka panjang bantuan Amerika lewat USAID tersebut harus melayani keberadaan Amerika di provinsi Aceh tersebut, sebagai bagian dari kelangsungan sistem kapitalistik Amerika di dunia.

Seberapa strategis Aceh bagi kepentingan strategis perekonomian Amerika? Provinsi Aceh jelas kaya akan sumber daya alam seperti minyak dan gas. Utamanya, pantai barat-selatannya kaya akan endapan mineral ekonomis dan batubara. Sedangkan pantai timur-utaranya mengandung ladang minyak dan gas raksasa.

Saat ini Aceh memiliki 121 barel juta cadangan minyak. Selain itu, Aceh juga memiliki 5 miliar kubik cadangan gas.  Hal ini berpotensi do sepanjang garis daratan dan lautan pantai utara timur. Cadangan gas blok A di Kabupaten Aceh Utara di sini ditemukan pada struktur Julok Rayeuk, Alur Siwah, Alur Rambong dengan perkiraan cadangan sebesar 560 miliar kaki kubik. Terdapat juga 10,9 juta barel condensate.

Hampir 90 persen dari area produksi Hydro Carbon saat ini terletak di darat, terletak dari Aceh Tamiang ke Aceh Utara. Sebelumnya Badan Pengkajian  dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang melakukan survey geologi dan geofisika kelautan, juga menemukan cadangan gas migas yang amat besar perairan timur laut Pulau Simeulue, Aceh.

Bahkan ini diperkirakan yang terbesar di dunia yakni 320,79 miliar barel. Meski volume tersebut belum tentu sepenuhnya diisi oleh hidrokarbon, namun potensi ini menggambarkan candangan yang dimiliki Aceh memang cukup besar.

Tak heran jika sejak 1978, menyadari betapa besarnya sumberdaya alam minyak dan gas di Aceh, Amerika melalui PT Exxon Mobil sudah berada di Aceh dan mengeksploitasi kekayaan minyak dan gas di Aceh.

Bagi Amerika, keuntungan dari PT Exxon Mobil di Aceh cukup besar dan dapat menghasilkan 3,4 juta ton per tahunnya. Maka situasi yang kondusif di Aceh  sangat dibutuhkan. Salah satunya, terciptanya perdamaian antara GAM dan RI.
Dalam konteks inilah, bantuan luar negeri Amerika di Aceh melalui USAID dan program LGSP, harus dibaca sebagai bagian dari strategi Gedung Putih untuk mengamankan investasinya di Aceh.

USAID dan Jaringan NGO Sebagai Satelitnya di Aceh

Terkait bantuan USAID, ada 10 LSM lokal yang mendapat bantuan dari USAID yaitu: Forum LSM, Kontras Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh, BIMA (Bina Masyarakat),Katahati Institute, Aceh Peace Research Center(APRC),Flower Aceh, Walhi Aceh,Yayasan Sepakat Aceh,Bitra Aceh.

Bantuan tersebut ada yang sifatnya langsung dar USAID, ada pula yang melalui perantaraan lembaga lain yang mendapatkan mandat dari USAID untuk menyalurkan dana.

Dengan bantuan tersebut, Amerika bisa memperkuat jaringan hingga ke daerah-daerah lewat NGO-NGO lokal yang menjadi mitra mereka. Dengan demikian akses mereka akan sangat mudah mendapatkan informasi tentang kondisi politik di daerah tersebut. Semua informasi tersebut pada giliranya akan menjadi alat bargaining  bagi pemerintah Amerika dalam menerapkan kebijakannya di Indonesia.

Misalnya dalam kasus Aceh, sejak konflik dulu Amerika banyak membantu NGO lokal lewat dukungan dana untuk menjalankan program di masyarakat. Imbalanya, NGO lokal itu harus mensuplai informasi kepada USAID sebagai pihak donor  tentang perkembangan yang terjadi di daerah tersebut. Isu di daerah tersebut akan menjadi bahan bagi pemerintah Amerika Serikat dalam mendikte pemerintah Indoenesia.

Dengan kata lain, di setiap negara di mana Amerika Serikat memiliki komitmen kerjasama ekonomi, dan di situlah  USAID akan memainkan perannya dalam menggalang kekuatan dari kelompok LSM dan masyarakat sipil. Salah satu mekanisme control untuk bantuannya itu adalah dengan menggalang jaringan di kalangan NGO atau masyarakat sipil.

Caranya adalah lewat pemberian dana program melalui USAID. Namun pada dasarnya NGO penerima dana dari USAID ini akan dijadikan sebagai jaringan pemerintah Amerika Serikat. NGO itu akan dijadikan penyuplai informasi tentang berbagai persoalan ekonomi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, termasuk masyarakat Aceh.

Penulis : Gita Rizkasari, Sarjana Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional (UPN), Jakarta

*Disarikan dari skripsi berjudul “Kepentingan Amerika Serikat Dalam United State Agency for International Development (USAID) Terhadap Program Bantuan Kemanusian Di Aceh Periode 2005-2007” (http://www.theglobal-review.com; 7/11/2011)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*