Kelompok pembela hak asasi manusia, Amnesti Internasional mendesal pemerintah Bangladesh untuk menghentikan pembunuhan ilegal yang dilakukan pasukan khusus Batalyon Reaksi Cepat (RAB).
Amnesti mengklaim RAB sudah membunuh sedikitnya 200 orang sejak 2009, saat Perdana Menteri Sheikh Hasina mulai berkuasa. Padahal Hasina berjanji untuk menghentikan tindakan brutal itu.
“Hampir tak ada sepekan yang sepi penembakan oleh RAB. Pemerintah selalu mengatakan korban terkena peluru nyasar atau terlibat tembak menembak dengan aparat,” kata peneliti Amnesti Internasional Bangladesh,” Abbas Faiz.
“Meskipun pemerintah menganggap hal-hal seperti ini adalah sebuah kecelakaan, namun dari fakta yang ada patut diduga adanya pembunuhan ilegal,” tambah Faiz.
RAB, lanjut Faiz, selalu berkilah bahwa penembakan itu adalah upaya aparat membela diri. Tetapi sebagian besar korban tewas setelah mereka ditahan RAB.
“Pemerintah Bangladesh harus memenuhi janji untuk menghentikan eksekusi liar RAB yang diduga sudah melakukan ratusan pembunuhan,” tandas Faiz
Menurut laporan Amnesti, RAB bahkan sudah melakukan 700-an pembunuhan sejak dibentuk pada 2004 lalu.
Rekayasa investigasi
Semua investigasi kasus-kasus pembunuhan ini selalu ditangani RAB atau tim penyelidik bentukan pemerintah.
Sehingga, semua rincian dan metode investigasi yang dilakukan selalu dirahasiakan.
“Nyatanya semua pembunuhan liar yang dilakukan RAB selalu tak terbukti dan tak pernah dihukum,” papar Faiz.
“Tak akan ada keadilan selama RAB masih memimpin investigasi atas kesalahan yang dilakukannya sendiri. Tak ada yang bisa menghentikan RAB menghancurkan bukti dan mengatur hasil penyelidikan,” tegas Faiz.
Kepolisian Bangladesh dan RAB masih menerima pasokan senjata dari Austria, Belgia, Cina, Republik Cek, Italia, Polandia, Rusia, Slovakia, Turki dan Amerika Serikat.
Sehingga, Amnesti menyerukan agar negara-negara tersebut menghentikan pasokan senjata yang kemungkinan besar akan digunakan RAB untuk melakukan pembunuhan liar.
“Setiap negara yang mengirim senjata atau perlengkapan lain sama dengan melanggar hak asasi manusia dan bertanggung jawab atas kekerasan yang dihasilkannya,” tukas Faiz. (bbc, 24/8/2012)