Pengesahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara pada Oktober 2011 lalu, menyisakan banyak permasalahan substansial. Beberapa materi dalam UU ini tidak sejalan dengan hak asasi manusia (HAM) dan semangat untuk mereformasi intelijen.
Hal ini diungkapkan Koalisi Advokasi UU Intelijen Negara seusai mendaftarkan permohonan uji materi (judicial review) UU Intelijen Negara di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (5/1).
“Ada 16 ketentuan yang kami anggap bermasalah, sejumlah definisi yang kami anggap multi tafsir,” tutur salah satu pemohon yakni Peneliti Hukum Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ESAM) Wahyudi Djafar.
“Tidak ada definisi jelas ancaman, keamanan nasional, semua dikategorikan ancaman. Tergantung tafsir dari UU ini,” timpal Direktur Program Imparsial Al Araf.
Beberapa pasal dalam UU Intelijen Negara ini telah melahirkan sejumlah ancaman bagi jaminan kebebasan sipil, perlindungan hak asasi manusia, dan kebebasan pers. Selain itu, UU yang seharusnya menjaga tegaknya akuntabilitas intelijen, beberapa bagiannya malah membuka ruang penyelahgunaan kewenangan oleh lembaga intelijen.
“Tidak sejalan dengan arah reformasi negara, masih mencampurkan intelijen sipil dan militer. Personil-personil militer yang masuk ke intelijen negara, seharusnya dia melepaskan jabatannya. Kalau ada pelanggaran, pertanggungjawabannya kan juga jadi jelas, apakah sipil atau militer,” papar Wahyudi.
Ke-16 pasal yang dinilai bermasalah itu, antara lain Pasal 1 ayat (4), ayat (6), ayat (8), Pasal 4, Pasal 6 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 25 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 26 jo. Pasal 44 dan Pasal 45, Pasal 29 huruf d jo., Pasal 31 jo. Pasal 34 jo., Pasal 32 ayat (1), dan Pasal 36.
Dari ke-16 pasal itu, yang diminta untuk dibatalkan oleh MK, yakni Pasal 1 ayat (8), Pasal 26 jo. Pasal 44 dan Pasal 45, Pasal 29 huruf d, dan Pasal 34. Sedangkan Pasal 32, Koalisi Advokasi UU Pemohon yang lain, Direktur Eksekutif Imparsial Poengky mengatakan, pihaknya sebenarnya tidakanti atau menolak UU Intelijen Negara. Namun ternyata, ketika disahkan justru ada beberapa pasal yang snagat merugikan masyarakat sipil. “Kelompok yang berseberangan bisa jadi sasaran intelijen. Kental nuansa politis ketimbang nuansa hukum,” kritiknya. (mediaindonesia.com, 5/1/2012)