JAKARTA – Wakil Ketua Komnas HAM, Ridha Saleh, sekaligus Ketua tim investigasi kekerasan di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) menyebut perusahaan tambang di Indonesia sulit terjamah oleh hukum.
Menurut Ridha, konflik agraria memang tidak bisa dihindari. Sebab filosofi awal pengesahan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960, pada dasarnya ingin mengembalikan sumber-sumber agraria ke pangkuan Ibu Pertiwi. Dimana petani dan masyarakat bawah bisa menikmatinya secara adil.
Namun pada tahun 1967, diterbitkan kembali tiga undang-undang yang disahkan sekaligus, yakni pertambangan, kehutanan, dan penanaman modal. Pada UU Pertambangan-lah dapat terdapat kesan keistimewaan bagi perusahaan tambang.
“Semua perusahaan tambang yang akan mengekploitasi memiliki imunitas yang tidak dapat dikriminalisasi, jika mendapat masalah. Jadi ada pemberian kistimewaan atau kekebalan hukum. Inilah hal pertama dari liberalisasi agraria,” jelas Ridha, di kantor PB PMII, Jakarta, Minggu (15/1/2012).
Ridha menambahkan, kesenjangan, kekerasan, dan dominasi korporasi sudah terjadi sepanjang rezim orde baru. Dan hal inilah sumber masalah yang mengakibatkan kekerasan.
“Jika dilihat kasus kekerasan agraria sekarang ini ada perbedaan karekteristik dengan masa orde baru ialah kalau saat itu terpusat, namun saat ini dilakukan wewenangnya di otoritas daerah,” tuturnya.
Ridha menjelaskan, kasus kekerasan di Ogan Komelir Ilir (OKI) merupakan contoh dimana wewenang dikelola oleh masyarakat lokal, dengan perjanjian bahwa masyarakat meminjamkan tanahnya untuk dikelola perusahaan dalam wktu 10 tahun.
“Namun setelah lebih dari 10 tahun tanah tidak dikembalikan dan perusahaan membayar pam swakarsa untuk mengambil alih tanah rakyat,” tukasnya. (Okezone.com Minggu, 15 Januari 2012 19:12 wib)