Oleh: Akhiril Fajri
Humas DPD I Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Lampung
DALAM tulisan opini di Lampung Post edisi Jumat (13-1) berjudul Bahaya Formalisasi Agama, M. Iwan Satriawan menyebutkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah Wahabi.
Apakah benar HTI adalah Wahabi? Wahabi adalah gerakan Islam yang dinisbatkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab (1115—1206 H/1701—1793 M). Muhammad bin Abdul Wahhab kemudian berijtihad dalam beberapa masalah, sebagaimana yang diakuinya sendiri dalam kitab, Shiyanah al-Insan, karya Muhammad Basyir as-Sahsawani. Gerakan Wahabi beberapa kali bermetamorfosis.
Mulanya gerakan keagamaan murni yang bertujuan memurnikan tauhid dari syirik, takhayul, bidah, dan khurafat, yang dimulai dari Uyainah, kampung halaman pendirinya tahun 1740 M. Di kampungnya, gerakan ini ditentang. Dan Muhammad bin Abdul Wahhab pun terusir dari kampung halamannya dan berpindah ke Dariyyah. Di sini, pendiri Wahabi itu dilindungi Muhammad bin Saud, yang bermusuhan dengan Amir Uyainah. Dalam tujuh tahun, dakwah Wahabi berkembang pesat.
Tahun 1747 M, Muhammad bin Saud menerima pemikiran keagamaan Muhammad bin Abdul Wahhab. Keduanya pun sama-sama diuntungkan. Dalam kurun 10 tahun, wilayah kekuasaan Muhammad bin Saud berkembang seluas 30 mil persegi. Muhammad bin Abdul Wahhab pun diuntungkan, karena dakwahnya berkembang dan pengaruhnya semakin menguat atas dukungan politik dari Ibn Saud (Raja Saudi).
Partai Politik
Ini jelas berbeda dengan Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir adalah partai politik yang berideologi Islam yang berdiri pada tahun 1953 di Al-Quds Palestina, bukan Saudi. Pendirinya adalah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Tujuannya, mengembalikan kehidupan Islam dengan mendirikan khilafah yang menerapkan sistem Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Politik adalah aktivitasnya.
Walaupun begitu, Hizbut Tahrir tak pernah terlibat dalam pendirian rezim mana pun di dunia. HT juga tidak pernah terlibat dalam dukung-mendukung kekuasaan/negara manapun—termasuk Saudi—(meski HT telah berkembang di 44 negara di dunia). Sebab, semua negara yang ada di seluruh dunia saat ini–termasuk Saudi—bukanlah negara yang dibangun berdasarkan akidah Islam dan memerintah berdasarkan hukum Allah. Dalam pandangan Islam, satu-satunya negara bagi umat Islam di seluruh dunia adalah khilafah, bukannya kerajaan sebagaimana Saudi.
Pendek kata, perbedaan Hizbut Tahrir (HT) dan Wahabi begitu jelas dan nyata. Menyamakan HT dengan Wahabi bisa jadi karena tidak mengerti, atau sengaja untuk melakukan monsterisasi terhadap HT agar disalahpahami. Lantas, darimana sumbernya kalau disebutkan Hizbut Tahrir mendapatkan dana dari Saudi?
Selain itu, M. Iwan juga mengatakan syariat Islam ketika diterapkan dianggap sebagai ancaman bagi Indonesia. Ia mengatakan syariat Islam tidak cocok dengan masyarakat yang heterogen. Keraguan ini pada dasarnya cermin kegagalan penulis memahami realitas masyarakat itu sendiri.
Sunatullah
Di kehidupan ini, tidak ada dan tak akan pernah ada masyarakat yang homogen. Heteroginitas/pluralitas masyarakat memang sudah dimulai dari dulu hingga akhir zaman. Bahkan, heterogenitas merupakan sunatullah.
Faktanya pun hukum yang diterapkan kini bukan di kalangan yang homogen. Sebagai contoh, di Amerika tidak semua penduduknya satu agama, tapi aturannya yang diterapkan Amerika adalah kapitalisme. Di Indonesia terdapat empat agama resmi yang diakui, tapi aturan yang diterapkan adalah kapitalisme sekularisme. Di Tiongkok, puluhan juta dari berbagai umat tinggal di sana, tapi aturan yang diterapkan sosialisme komunisme.
Tidak konsisten dan tak adil apabila menolak ditegakkannya syariat Islam dengan alasan pluralitas. Terlebih lagi, mengapa seolah-olah yang dihakimi hanyalah Islam? Sedangkan kapitalisme maupun sosialisme yang nyata-nyata telah membawa kerusakan itu tidak? Bahkan, kapitalisme sendiri sudah diterapkan 67 tahun di negeri yang mayoritas muslim ini. Mengapa lalu ideologi Islam diragukan? Jelas itu hanyalah alasan yang dibuat-buat dan irasional.
Sejarah juga telah membuktikan dalam khilafah Islam bukan hanya muslim. Agama lain seperti Yahudi dan Nasrani dibiarkan di dalamnya. Tidak pernah ada pemberantasan etnis minoritas tertentu yang dilakukan kaum muslim. Masih ingat kita kisah Salahuddin al-ayyubi ketika ingin mengembalikan Al-quds Palestina, di mana akhirnya pendeta nasrani itu memberikan kunci masjid dan tidak ada pembantaian sama sekali. Juga dalam sejarah penerapan syariat Islam di Spanyol, kaum muslim, nasrani, dan Yahudi hidup berdampingan dengan damai dan tenteram.
Karena itu pula penegakan syariah Islam dan khilafah harus dibaca sebagai bentuk kepedulian yang amat nyata oleh umat Islam dalam berusaha mewujudkan kehidupan yang lebih baik pada masa datang, dan dalam rangka mewujudkan negeri yang baldatun thoyyibatun wa rabbun ghaffur.[]
Sumber: Lampungpost.com (17/01/2012)
hal yang jelas beda disamakan itu namanya aneh bin gak masuk akal, itu namanya generalisir. mestinya jika sdh jelas berbeda tujuan berdirinya Kerajaan Saudi yg di sponsori Muhammad bin abdul Wahab dengan HT yg di dirikan oleh syeih Taqiyuddin An Nabhani yg bertujuan untuk melangsungkan kembali kehidupan Islami. HT tak menerima kerajaan sebgai sistem kenegarannya, karena Rosulullah sdh jelas dan tegas memberi contohnya adalah KHILAFAH. sementara Muhammad bin abdl Wahab memilih KERAJAAN. dimana kesamaannya?????
yaah hati mereka sudah mati gak bisa ngeliat indahnya islam, mereka sudah terbuai bau sekularisme dan hedonisme, bagi mereka Islam hanyalah dongeng orang dulu, mitos orang dulu, produk sejarah, satu diantara banyak “merek dagang agama” yang ada, atau bahkan inspirasi seseorang, Maha suci Allah dgn jalan yang Dia gariskan yaitu Diinul Islam -bukan ‘agama’ islam- dari prasangka orang orang yg kafir yg tidak menyukai… semoga Allah menghidupkan hati mereka dan memberi hidayah pada mereka.. Amin..