Rencana pertemuan antara Jenderal AH Nasution dengan Presiden Amerika Serikat John F Kennedy (JFK) medio November 1963 mengemuka di sebuah jurnal. Beragam analisis menggambarkan agenda politik antara Indonesia dan negara adidaya untuk membangun kekuatan.
“Jenderal AH Nasution memang menjadi tulang punggung Presiden Soekarno saat itu. Dia berperan untuk meyakinkan JFK agar komunisme dibendung,” ungkap ahli kajian wilayah Amerika dari Universitas Indonesia Retno Sukardan Mamoto, PhD, Rabu (25/1).
Menurutnya wajar jika Nasution-lah yang menemui langsung sang pemimpin karismatik itu sebagai Kepala Satuan Angkatan Darat. Selain sebagai pemangku kekuasaan militer tertinggi, Nasution dikenal sebagai sosok yang anti komunis.
Retno menjelaskan, peranannya menumpas bibit separatis juga terlihat dari keseriusannya menumpas pemberontakan PRRI/Permesta. Melihat kondisi itu, Nasution tak ingin ketenangan Pulau Jawa terusik. Pasalnya, menurut Retno, Nasution melihat bibit ideologi komunis mulai menggejala sejak awal zaman pergerakan pemuda Indonesia.
Nasution juga berusaha menggalang kekuatan di saat Sorkarno mulai terjepit dengan politik Nasakom. “Dialah prajurit terhebat yang anti-komunis dengan rasa nasionalis tinggi,”ucap Retno.
Sang jenderal mulai menyusun strategi pendekatan ke berbagai pihak, termasuk terhadap AS.
Bentuk militansi terhadap Soekarno ditunjukkan dengan semangat anti-kolonialisme. JFK, dalam penilaian Retno, juga mencari peluang mendekati sekelompok panglima tinggi Angkatan Darat yang tak menganut komunisme. Lantaran dirinya tahu Presiden Soekarno dikenal berideologi tinggi. Sosoknya dikenal sebagai anti-Barat sekaligus menyetujui komunis hanya dari sisi anti-kolonialnya.
Nampaknya orisinalitas pemikiran Soekarno menarik perhatian JFK. Presiden AS ke 35 itu mendukung penuh atas perjuangan RI saat merebut Irian Barat (kini Papua Barat) dari tangan Belanda. Semula JFK amat mendukung posisi Belanda karena AS membutuhkan dukungan Belanda sebagai anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
JFK takut, keengganan Belanda untuk meninggalkan Irian Barat akan mengundang perlawanan militer pihak Indonesia yang pada gilirannya dapat melibatkan negara-negara Barat lainnya, termasuk AS. Sementara itu, keterlibatan AS di Irian dikhawatirkan akan merangsang Uni Soviet terlibat pula.
“Karena itu, setelah mempelajari situasi lebih lanjut, JFK kian condong membela kepentingan RI,” pungkas Retno.
Ganyang Malaysia
Di sisi lain dalam soal Malaysia, Retno juga mempunyai kesimpulan tentang pandangan Soekarno. Menurutnya, ketegasan Soekarno soal Malaysia karena Soekarno melihat pembentukan Malaysia merupakan upaya kekuatan lama kolonial (Oldefos) untuk mengeroyok Indonesia. ‘Pengeroyokan’ itu dipelopori Inggris.
Kata Retno, semula JFK mati-matian membela Inggris, sekutu dekat AS, tetapi sedikit demi sedikit mulai berusaha memahami posisi Presiden Soekarno.
Sejarawan LIPI, Taufik Abdullah juga mengindikasikan rencana kedatangan Nasution langsung di bawah komando Presiden Soekarno. “Saat itu Soekarno bersiap-siap menyatakan perang,” terang Taufik.
Perang yang dimaksudnya terkait konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia dengan jargon Ganyang Malaysia!
Konsekuensi dari ultimatum Soekarno itu, Nasution berusaha mencari kelengkapan senjata perang hingga ke Uni Soviet. “Hal ini yang membuat JFK ketakutan sehingga mendukung penuh Indonesia di Konferensi Middleburg dan Formula Bunker serat mengirim adiknya, Robert Kennedy,”ungkap Taufik.
Berkat lobi itu, Irian Barat berstatus di bawah kekuasaan PBB, namun dipercayakan pemerintahannya pada Indonesia.
Taufik memastikan, rencana kepergian Nasution ke Gedung Putih semata berusaha mencari senjata. Tapi, secara dukungan politik baik Soekarno maupun Nasution tak mendukung AS. Dibuktikan pula dengan banyaknya tentara lulusan AS yang berjaya di Indonesia, tapi spesifikasi itu tak dipunyai Nasution. Ia tetaplah prajurit dengan nasionalisme membara.
Dugaan adanya rencana pendongkelan kekuatan PKI di tanah air pun belum menguat. “Tak ada hubungannya dengan mendongkel PKI, pusat perhatian TNI saat itu hanya ke Irian Barat. Meskipun hubungan tentara-TNI saat itu sangat buruk,”cetus Taufik. (republika.co.id, 26/1/2012)