Abdul Hafidz Ghouqoh, Wakil Ketua Dewan Transisi di Libya, dan sekaligus juru bicaranya, pada tanggal 22/1/2012 mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatannya.
Ia menyatakan bahwa periode saat ini di Libya tidak kurang berbahaya dari periode perang dan pembebasan. Ia mengatakan bahwa beberapa suasana kebencian telah menyelimuti Libya, dan kami tidak ingin suasana ini terus berlanjut, serta mempengaruhi Dewan Transisi dan kinerjanya.
Ketika ia ditanya tentang peristiwa Benghazi, di mana dua hari lalu, ia diserang di sana oleh para mahasiswa yang menyamakan tindakannya dengan tindakan Gaddafi. Ia mengatakan: “Kami tidak tahu apa yang terjadi.” Yang jelas masyarakat menyerang Kantor Pusat Dewan Transisi. Ketika Ketua Dewan Transisi Abdul Jalil keluar menemui mereka, lalu mereka melemparinya dengan kaleng plastik kosong. Pada saat polisi melakukan intervensi, mereka melemparinya dengan batu, dan menerobos masuk ke Kantor Dewan. Di antara tuntutan mereka adalah perbaikan terhadap kondisi mereka dan melenyapkan para pejabat lokal yang mendukung rezim Qadhafi. Namun, di hari yang sama terjadi aksi bahwa ribuan orang melakukan demonstrasi. Mereka menuntut penerapan Syariah Islam sambil membawa al-Qur’an dan bendera Rasulullah. Mereka menyuarakan yel-yel “Islam, Islam”. Mereka melakukan aksi pendudukan di lapangan at-Tahrir , di Benghazi, dan mereka menolak pembagian (negara) federal di Libya.
Sungguh, semua ini menunjukkan akan kesadaran masyarakat dan revolusi masih terus berlanjut. Mereka tidak menerima keberadaan para antek, yang sekarang duduk sebagai penguasa. Mereka melihat bahwa para penguasa antek ini gagal dalam memenuhi hak-hak mereka dan mengurusi urusannya. Masyarakat melihat bahwa mereka tidak berbeda dari Qadhafi dan rezimnya terkait otoritarianismenya terhadap rakyat dan ketidakpeduliannya terhadap tuntutannya; mereka tidak ingin menerapkan syariah Islam, dan mereka tunduk kepada perintah kaum kafir Barat. Sementara itu, rakyat di Libya ingin menerapkan syariah Islam, karena mereka tahu betul bahwa setiap sistem selain sistem Islam tidak akan berbeda dari rezim Qaddafi kecuali berbeda kulitnya saja.
Ketika masyarakat menuntut sistem syariah di bawah naungan Khilafah Islam, maka kesadaran masyarakat akan benar-benar sempurna. Sehingga mereka menolak rencana sistem federal, yaitu pembagian Libya menjadi beberapa daerah otonom, sama seperti proyek yang telah diterapkan oleh AS di Irak, dan para antek AS di Libya menuntutnya sejak beberapa waktu.
Sistem negara federal ini bertentangan dengan sistem Islam, yang menjadikan negara sebuah satu kesatuan yang utuh, di mana Khalifah mengangkat para wali (gubernur) untuk memimpin sebuah wilayah tanpa otonomi. Dalam hal ini, Khalifah yang mengangkat para wali dan yang memberhentikannya, sesuai ketentuan syariah yang telah memberikan kewenangan itu kepadanya. Negara dalam Islam hanya satu bagi semua rakyat tanpa ada pemisah, perbedaan dan perbatasan. Mereka datang dan pergi dari setiap penjuru negara dengan aman, nyaman dan damai. Dan kepada mereka semua didistribusikan kekayaan-kekayaan negeri dengan adil, serta mereka dijamin mendapatkan setiap pemeliharaan dan hak-haknya secara penuh (kantor berita HT, 29/1/2012).
MUDAH2HAN PARA TOKOH INTELEKTUAL MUSLIM SADAR:TIDAK ADA SISTEM YG BISA EXSIS BISA MENSEJTRAKAN RAKYATNYA KECUALI HRUS MRNRGAKAN SYSRIAT ISLAM DALAM BINKAI KHILAFAH