TRAGEDI keadilan seperti tak habis melanda negeri ini. Aparat terus saja pamer diskriminasi, begitu garang menindak rakyat jelata, tetapi lunglai ketika menghadapi kalangan berada dan berkuasa.
Korban teranyar ialah Rasminah, nenek berusia 55 tahun. Mahkamah Agung memvonisnya empat bulan 10 hari. Rasminah memang tak perlu menjalani penjara lagi. Masa hukuman dalam vonis MA itu sesuai dengan masa penahanan yang telah dijalani Nenek Rasminah selama proses penyidikan.
Namun, vonis itu mengguncang rasa keadilan publik lantaran kesalahan sang nenek bisa disebut ecek-ecek. Ia dituding mencuri enam piring dan bahan sup buntut milik majikannya, Siti Aisyah Margaret Soekarnoputri.
Pada sidang 22 Desember 2010, Pengadilan Negeri Tangerang sebenarnya memvonis bebas Rasminah. Namun, jaksa bernafsu mengajukan kasasi. Akibatnya, untuk menyelamatkan wajah penegak hukum, MA memvonis sang nenek sesuai dengan masa tahanannya sehingga impas.
Warga Ciputat, Tangerang Selatan, itu harus meratapi nasib sebagai rakyat kecil yang sepertinya haram mendapat keadilan. Di sisa usianya, ia pun harus menanggung beban psikologis berat lantaran menyandang sebutan tak enak, yakni pencuri.
Bukan kali ini saja wong cilik menjadi santapan kegarangan penegak hukum. Belum hilang dari ingatan ketika Nenek Minah, warga Banyumas, Jawa Tengah, divonis satu bulan 15 hari karena mencuri tiga buah kakao senilai Rp2.100 pada 2009.
Kemudian, November tahun lalu, Aguswandi Tanjung dipenjara enam bulan kurungan karena dituduh mencuri listrik, padahal ia cuma menumpang mengecas ponsel di lobi sebuah apartemen.
Mimpi buruk penegakan hukum berlanjut di Palu, Sulawesi Tengah, saat seorang pelajar diancam hukuman lima tahun hanya karena mencuri sandal jepit seharga Rp30 ribu milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap. Pada sidang 4 Januari 2012, ia divonis bersalah, tetapi dikembalikan ke orangtuanya.
Apa yang menimpa Nenek Rasminah merupakan bukti teramat nyata bahwa pedang hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Para penegak hukum di negeri ini kelebihan nyali ketika menindak para tunakuasa.
Sebaliknya, mereka miskin akal dan keberanian untuk menjerat mereka yang disebut-sebut terlibat dalam perkara kakap, seperti Bank Century, Wisma Atlet, dan juga surat palsu Mahkamah Konstitusi.
Kita jelas harus menggugat, mengapa jaksa begitu gesit membawa kasus Rasminah ini ke MA? Bukankah hingga 2011 ada 8.000 lebih perkara kasasi dan peninjauan kembali yang tertunggak untuk segera diputus?
Kasus Nenek Minah hingga Nenek Rasminah semakin mengusik nurani kita. Akan dibawa ke mana sebenarnya hukum di Republik ini? ( Media Indonesia, Rabu, 01 Februari 2012 00:00 WIB )