Pemerintah selama ini gencar membangun opini untuk memuluskan rencana pembatasan konsumasi BBM bersubsidi yang direncanakan akan diberlakukan per 1 April di Jawa Bali. Di sisi lain seolah tertelan oleh opini yang gencar itu, juga ada rencana pemerintah yang tidak kalah efeknya terhadap masyarakat dibanding rencana pembatasan BBM bersubsidi itu, bahkan bisa jadi efeknya lebih luas. Yaitu rencana pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik (TDL) juga per 1 April 2012. Rencana yang akan diajukan ke DPR, TDL untuk pelanggan rumah tangga golongan 450 volt ampere keatas akan dinaikkan. Menurut Jarman Direktorat Kelistrikan kementerian ESDM dalam wawancara dengan stasiun TVone (Selasa, 31/1), TDL itu akan dinaikkan 10 %. Kenaikan itu dikatakan untuk menutupi subsidi listrik yang turun 20 triliun dibanding 2011. Besaran subsidi listrik di APBN-P 2011 sebesar Rp 65,6 triliun turun menjadi Rp 45 triliun pada APBN 2012. Asumsi perhitungan subsidi didasarkan dengan nilai tukar dolar sebesar Rp 8.800, harga minyak mentah sekitar US$ 90 per barel, penjualan listrik sebanyak 173, Twh, susut jaringan 8,5 persen dan tercapainya bauran energi. (http://www.tempo.co/read/news/2011/09/29).
Untuk menjalankan rencana kenaikan TDL itu, kementerian ESDM tengah menyiapkan beberapa opsi rencana kenaikan tarif dasar listrik tahun 2012. Usulan pemerintah itu akan disampaikan ke Komisi VII DPR dalam waktu dekat.
Menurut Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo, Jumat (27/1), di Jakarta, kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sebaiknya dilaksanakan bertahap, misalnya 1 persen per bulan sampai mencapai tarif keekonomian sebagaimana dilakukan di Inggris. Sementara golongan dengan daya rendah tetap mendapat subsidi.
Pemerintah pada saat pembahasan RAPBN 2012, pernah menyampaikan usulan kenaikan TDL untuk tahun 2012 sebsar 10 persenNamun DPR tidak menyetujui usulan pemerintah itu sebelum ada kajian mengenai dampak kenaikan TDL terhadap pelanggan.
Untuk itu Kementerian ESDM telah meminta konsorsium perguruan tinggi yaitu UI, UGM dan Unpad untuk melakukan kajian itu. Menurut Direktur Jenderal Kelistrikan Kementerian ESDM Jarman menyatakan, hasil kajian kenaikan TDL itu telah selesai dilaksanakan. Dari hasil kajian konsorsium perguruan tinggi itu, kenaikan TDL 10 persen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap daya saing industri. Hal itu berarti, usaha mikro kecil dan menengah yang meliputi 90 persen dari jumlah industri tidak terpengaruh dengan kenaikan TDL.
Jarman menyatakan, pemerintah menyiapkan beberapa opsi kenaikan TDL. Pertama, opsi kenaikan TDL 10 persen bagi semua golongan pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), kecuali golongan pelanggan 450 VA. Opsi kedua, tarif golongan pelanggan 450 VA dan 900 VA tidak naik sampai batas pemakaian listrik 60 kWh per bulan. Setelah pemakaian listrik 60 kWh, maka akan terkena kenaikan tarif listrik. “Opsi-opsi itu yang akan diajukan kepada pemerintah. Kami sudah mengusulkan beberapa alternatif,” kata Jarman.
Dikatakan, kenaikan TDL 10 persen itu untuk menjaga agar alokasi subsidi listrik sesuai dengan yang ditetapkan APBN 2012 sebesar Rp 45 triliun. Jika tidak ada kenaikan tarif, subsidi listrik akan bertambah Rp 8,9 triliun. Beberapa opsi itu juga akan dibicarakan dengan pelanggan industri. (Kompas.com, 28/1).
Selain itu, rencana kenaikan TDL itu juga didukung alasan karena harga TDL di Indonesia masih yang termurah di banding negara-negara tetangga. TDL di Singapura Rp 1.453/Kwh, Vietnam Rp 1.149/Kwh, Malaysia Rp 829/Kwh, Thailand Rp 782/Kwh dan Indonesia Rp 632/Kwh. (Kompas.com, 12/10/11).
Penolakan Kenaikan TDL
Rencana kenaikan TDL untuk tahun 2012 tersebut sudah digaungkan sejak pertengahan tahun 2011 lalu. Sejak itu, penolakan dan kritikan pun bermunculan. JIka rencana kenaikan TDL per 1 April jadi dilaksanakan, maka hal itu akan memberatkan masyarakat secara umum dan bisa memukul para pelaku usaha baik industri berskala besar apalagi UMKM.
Ketua Kadin Kota Bandung Deden Y Hidayat menjelaskan, rencana pemerintah menaikkan TDL hingga 10% pada 1 April 2012 diperkirakan mengancam industri berskala besar. Pengaruh signifikan yang akan dirasakan industri besar yaitu meningkatnya beban biaya produksi. Industri besar merupakan sektor yang paling besar terkena dampak kenaikan TDL, terutama industri yang mengandalkan listrik sebagai pasokan energi untuk operasional. TDL naik sudah pasti biaya produksi bertambah. Ini sangat memberatkan industri besar. Apalagi sebagian industri cukup banyak mengucurkan biaya produksi untuk membayar listrik.
Ketua, Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) Firman Turmantara dengan tegas menolak rencana kenaikan TDL sebesar 10% pada April 2012. Rencana tersebut juga bersamaan dengan pembatasan BBM bersubsidi. Penolakan tersebut karena belum maksimalnya pelayanan PLN terhadap pelanggan seperti masih terjadinya pemadaman listrik (http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/465072/37/).
Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) menilai rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 10 persen pada April 2012 , dapat berdampak pada daya saing UKM. Ketua Umum DPP IWAPI, Rina Fahmi Idris, di Jakarta, Kamis ( 22/9/2011 ) mengatakan, “Tentu ini (kenaikan TDL) kaitannya pasti berimbas sangat cepat mengenai daya saing. Kita bicara mengenai daya saing UKM dan bangsa, dua hal yang berbeda, tapi sangat saling mendukung,” ujar Rina. Menurutnya, dengan komposisi jumlah pengusaha UKM sekitar 90 persen dari jumlah pengusaha di Indonesia, maka kenaikan TDL akan berdampak langsung pada biaya produksi. “Itu (kenaikan TDL) akan sangat berimbas bagaimana mereka (UKM) akan berproduksi, bagaimana mereka akan mencantumkan harga,” tambah Rina. Dengan kondisi tersebut, maka daya saing UKM tidak bisa selaras dengan daya saing bangsa (Kompas.com, 22/9/2011).
Jika kenaikan TDL diberlakukan per 1 April dan saat bersamaan juga diberlakukan pembatasan BBM bersubsidi, maka paling merasakan dampaknya adalah rumah tangga. Sebab rumah tangga akan terkena dampak dua kali. Pertama, dampak langsung yaitu kenaikan TDL yang berimabas pada naiknya biaya tagihan listrik rumah tangga. Kedua, dampak tak langsung yaitu kenaikan harga-harga barang. Sebab dengan naiknya TDL, maka produsen barang dan jasa mau tak mau harus menaikkan harga untuk menutupinya. Di sisi lain daya beli rumah tangga tidak mengalami kenaikan. Jadi rumah tangga akan memikul beban paling berat dari dampak kenaikan TDL itu. Jika kenaikan TDL itu masih dibarengi dengan pembatasan BBM bersubsidi apapun bentuknya, maka beban yang dipikul rumah tangga menjadi berlipat ganda.
Karut Marut Pengelolaan Kelistrikan di Indonesia
Persoalan kelistrikan di Indonesia yang paling pokok selain problem kurangnya pasokan listrik juga problem biaya produksi listrik yang mahal. Rencana kenaikan TDL berhubungan dengan problem kedua. Penyebabnya adalah masalah inefisiensi dan mahalnya biaya pokok produksi (BPP) listrik. Mahalnya BPP terjadi lantaran pembangkit PLN masih menggunakan BBM. Akibatnya kenaikan harga BBM pasti akan menyebabkan naiknya biaya produksi. Ditengah tingginya harga minyak, maka BPP listrik PLN pun jadi mahal. Jika pembangkit PLN digerakkan dengan gas atau batu bara yang harganya jauh lebih murah maka tentu saja BPP listrik PLN juga menjadi lebih murah dan berikutnya harga jual atau TDL juga murah.
Disinilah masalahnya kenapa TDL mahal. Karena BPP listrik mahal, sementara harga jual listrik kepada konsumen murah (632/Kwh) maka selisihnya itu harus “disubsidi” oleh Pemerintah. Ketua Forum Lintas Asosiasi Nasional (LAN) Franky Sibarani mengemukakan, “masalahnya pembangkit listrik PLN masih menggunakan BBM, sehingga subsidi pemerintah ke PLN membengkak dan harga jual listrik ke konsumen jadi mahal. Seharusnya PLN untuk pembangkitnya menggunakan batubara atau gas, sehingga biaya pokok penyediaan (BPP) listriknya akan jauh lebih murah. Pembandingnya, jika BPP listriknya menggunakan BBM maka harga jual listrik ke konsumen adalah Rp 1800/kWh, tetapi jika dengan gas harga jualnya hanya Rp 800/kWh dan akan lebih murah lagi apabila menggunakan batubara yaitu hanya Rp 450/kWh. Yang menjadi masalah utamanya adalah PT PLN kekurangan dan kesulitan untuk untuk mendapatkan batubara dan gas.” (kompas.com, 12/10/11). Tentu kita terheran-heran dengan fakta itu. Pasalnya, negeri ini memiliki kekayaan gas dan batu bara dalam jumlah yang sangat besar. Dalam prakteknya, produksi batubara dan gas negeri ini juga sangat besar. Sementara konstitusi mengatakan bahwa kekayaan alam itu dikuasai oleh negara dan diusahakan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bagaimana mungkin, PLN yang merupakan Badan Usaha Milik Negara bisa kesulitan mendapatkan pasokan batu bara dan gas di negara yang memproduksi batu bara dan gas dalam jumlah sangat besar? Sebabnya, gas dan batubara ebih diutamakan untuk diekspor, meski denga harga murah. Ini logika yang aneh dan tidak bisa diterima oleh nalar. Sebab bagaimana mungkin, anak sendiri dibiarkan kehausan sementara airnya justru dijual kepada orang asing secara murah? Padahal anaknya sendiri itu juga bersedia membeli barang itu dengan harga yang lebih tinggi dari pembeli asing itu. Disinilah jelas terlihat adanya paradoks dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya sumber daya energi di negeri ini.
Namun benarkah besaran subsidi yang sebenarnya itu sebesar itu? PLN membeli BBM dari Pertamina. Sementara Pertamina memproduksi BBM itu dari minyak bumi hasil produksi sendiri dan juga dari impor. Bahkan karena kapasitas kilang Pertamina tidak mencukupi, maka sebagian BBM itu harus diimpor dalam bentuk jadi. Sebagai ilustrasi secara garis besar untuk menjawab benarkah itu adalah subsidi, maka harus diingat bahwa baik PLN maupun Pertamina adalah sama-sama BUMN. “Subsidi” diberikan kepada PLN lalu digunakan untuk membeli BBM kepada Pertamina. Dari situ Pertamina mendapat keuntungan. Dan PLN menjual listriknya kepada rakyat disertai keuntungan. Disini harus dilihat, Pemerintah memberikan uang kepada PLN, lalu PLN membayarkannya kepada Pertamina, lalu Pertamina membayarkan sebagian untung yang diperolehnya kepada Pemerintah kembali. Disini terlihat bahwa yang terjadi adalah uang itu keluar dari kantong Pemerintah dan masuk lagi ke kantong Pemerintah melalui jalan yang lain. Di Jadi seolah-olah yang terjadi hanya “keluar dari kantong kiri masuk lagi ke kantong kanan”. Dalam hal ini menjadi lebih mengherankan lagi bahwa Pemerintah menetapkan besaran keuntungan untuk Pertamina maupun untuk PLN. Padahal baik Pertamina maupun PLN toh sama-sama milik negara dan keuntungannya juga sama-sama kembali ke Pemerintah. Dari situ, bisa dilihat jumlah subsidi yang benar-benar dikeluarkan tidak sebesar yang dinyatakan dalam masalah tersebut. Apalagi jika Pemerintah tidak perlu mencari untung dalam hal itu.
Tidak Perlu Menaikkan TDL
Menaikkan TDL bukanlah jalan yang tepat karena sesungguhnya masih banyak cara yang bisa ditempuh untuk mengurangi apa yang disebut besarnya subsidi itu. Setidaknya hanya dengan dua cara saja maalah itu terselesaikan. Pertama meningkatkan efisiensi pengelolaan PLN dan mengurangi kebocoran serta korupsi. Menurut Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky Harsa, dengan merujuk pada laporan hasil pemeriksaan BPK, Efisiensi biaya di pembangkit listrik diperkirakan bisa menekan biaya pokok listrik sekitar Rp 6 triliun (kompas.com, 31/9/2011).
Kedua, dengan mengganti BBM dengan gas atau batubara untuk menggerakkan pembangkit. Hal itu angat dimungkinkan sebab pembangkit PLN banyak yang menggunakan sistem dual firing yang bisa menggunakan BBM atau gas. Menurut Anggito Abimanyu, jika pemerintah dapat memperbaiki produksi dengan cara menggantikan energi primer, yaitu BBM, sebesar 10 persen dan dialihkan ke gas, maka APBN yang dihemat dapat mencapai Rp 18,7 triliun. “Di sini kuncinya itu bukan di TDL, tapi di BPP, yaitu Biaya Pokok Produksi,” tambah dia (Kompas.com, 24/8/2011). Oleh karena itu, produksi gas yang ada harus diprioritaskan bagi konsumsi dalam negeri khususnya untuk listrik. Kebijakan porsi kuota gas untuk eskpor lebih besar dari pada untuk alokasi dalam negeri bertentangan dengan prinsip pengelolaan energi.
Dengan dua jalan itu, maka TDL tidak perlu dinaikkan. Besarnya APBN yang bisa dihemat dengan kenaikan TDL 10 persen hanya Rp 11,8 triliun. Sementara dengan dua jalan di atas bisa dihemat sekitar Rp 25 triliun. Bahkan hanya dengan satu langkah saja yaitu mengganti sedikit saja dari BBM untuk pembangkit PLN yaitu 10 % dan diganti dengan gas sudah tidak perlu menaikkan TDL, bahkan penghematannya lebih besar dari penghematan hasil menaikkan TDL 10%. Tinggal masalahnya adalah apakah pemerintah memiliki kemauan politik untuk mengatasi masalah kelistrikan itu tanpa harus membebani rakyat, atau tidak?
Sebab PLN tentu tidak selayaknya dibiarkan mengusahakan sendiri penyediaan gas atau batu bara itu. Apalagi selama ini PLN memang kesulitan untuk mendapatkan gas dan batu bara meski PLN sebenarnya bersedia membelinya dengan harga pasar. Maka yang diperlukan adalah kemauan politik Pemerintah untuk mengalokasikan gas dan batu bara kepada PLN. Hal itu sebenarnya dimungkinkan dengan memanfaatkan atau menegaskan kewajiban penjualan untuk pasar dalam negeri (DMO –Domestic Market Obligation) bagi para kontraktor gas dan batu bara.
Jika Pemerintah tidak bersedia melakukannya, maka memang tampak jelas bahwa Pemerintah tidak peduli dengan kepentingan rakyat. Kenapa jika untuk rakyat, begitu pelit, sementara kepada asing begitu royal? Kenapa Pemerintah begitu berat “memberikan subsidi” kepada rakyatnya sendiri, sementara sebaliknya Pemerintah dengan gembira dan senang hati memberikan subsidi kepada asing dan rakyat negara lain? Betapa tidak, Pemerintah tidak pernah atau tidak sungguh-sungguh mau mempermasalahkan atau setidaknya merenegosiasi penjualan gas ke asing dengan harga murah itu, agar bisa dialihkan ke dalam negeri dan jika kebuuthan dalam negeri telah terpenuhi baru dijual ke luar negeri tentu degan harga yang wajar. Padahal penjualan gas dengan harga murah itu telah merugikan negara ratusan triliun. Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), A. Qoyum Tjandranegara, sejak 2006 sampai 2009 Indonesia kehilangan devisa negara hingga Rp 410,4 triliun akibat mengekspor gas bumi dengan harga yang terlampau murah, sementara hasil penjualan gas bumi itu untuk mengimpor minyak. Menurutnya, ekspor gas bumi terang-terang merugikan negara, pasalnya energi murah yang diekspor tersebut hanya untuk membeli BBM yang harganya mahal. “Kita kehilangan devisa negara pada 2006 sebesar Rp 91,9 trilin, 2007 kehilangan Rp 101,2 triliun, 2008 kehilangan Rp 140 triliun, dan 2009 kehilangan Rp 77,3 triliun. Sehingga totalnya sekitar Rp 410,4 triliun,” ujarnya saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (18/1/2012). Diungkapkan Qoyum, RI mengekspor gas bumi ke China dan Korea Power dengan harga US$ 3,88/MMBTU. Sedangkan dua pabrik pupuk domestik akan ditutup karena tidak mendapatkan gas bumi padahal mau membeli dengan harga US$ 7/MMBTU. “Sementara terjadi perubahan kontrak LNG yang tidak umum dan memberatkan Indonesia,” ucapnya. (detikfinance, 18/1/12). Penjualan gas ke China dan Korea Power dengan harga sangat murah itu sama saja mensubsidi rakyat China dan Korea. Devisa yang hilang itu sama saja dengan besarnya subsidi yang diberikan mereka yang besarnya jika dibagi pertahun mencapai 100 tiliun. Jumlah yang sangat besar, sepuluh kali lipat dari jumlah yang akan “dihemat” dari kenaikan TDL 10% untuk rakyat sendiri.
Jika rencana menaikkan TDL 10% itu tetap dijalankan, itu makin menegaskan bahwa memang pemerintah ini berdieologikan neo liberal. Juga menegaskan bahwa paradigma yang digunakan pemerintah dalam mengurus kepentingan rakyatnya paradigma pedagang dimana pemerintah memposisikan diri sebagai pedagang dan rakyat diposisikan sebagai pembeli. Hanya ironisnya yang dijual adalah barang milik rakyat sendiri. Rakyat dipaksa membeli barang miliknya sendii dengan harga mahal.
Solusi Islam Terhadap Pengelolaan Kelistrikan
Problem utama kelistrikan adalah kurangnya pasokan listrik dan mahalnya BPP listrik. Sesungguhnya mahalnya harga minyak bumi bisa saja diatasi dengan batubara dan gas alam. Namun karena batubara dan gas alam lebih banyak diekspor, maka pasokan dalam negeri termasuk untuk keperluan pembangkit listrik tidak dapat dipenuhi. Listrik merupakan kebutuhan pokok rakyat, untuk keperluan rumah tangga, dunia usaha dan pelayanan masyarakat yang wajib dilakukan negara. Listrik bisa dihasilkan dari pembangkit listrik dari energi terbarukan yang berasal dari energi air, minyak bumi, gas, barubara dan energi lainnya seperti panas bumi, angin, dan nuklir. Menurut Islam, listrik merupakan kepemilikan umum yang wajib dikuasai dan dikelola oleh negara untuk kepentingan seluruh rakyat. Sebagian besar sumber energi yang digunakan pembangkit listrik seperti migas, batubara, panas bumi dan lainnya juga merupakan milik umum yang wajib dikuasai dan dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Karenanya negara tidak boleh menyerahkan penguasaan dan pengelolaan listrik kepada swasta sebagaimana negara juga tidak boleh menyerahkan penguasaan dan pengelolaan bahan baku pembangkit listrik kepada swasta. Hal ini karena listrik dan barang tambang yang jumlahnya sangat besar adalah milik umum yang tidak boleh dikuasai oleh swasta dan individu. Energi, termasuk listrik, merupakan bagian dari kepemilikan umum berdasarkan hadis Nabi saw.:
«اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءٌ فِيْ ثَلاَثٍ: فِيْ الْمَاءِ وَ الْكَلاَءِ وَ النَّارِ»
Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.(HR. Abu Daud).
Termasuk dalam api disini adalah energi berupa listrik. Yang juga termasuk kepemilikan umum adalah barang tambang yang jumlahmya sangat besar. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia meminta kepada Rasulullah saw untuk dibolehkan mengelola tambang garam. Lalu Rasulullah saw memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki bertanya : “Wahai Rasullullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air yang mengalir.” Rasulullah saw kemudian bersabda : “Tariklah tambang tersebut darinya” (HR. At-Tirmidzi). Tindakan rasul saw yang membatalkan pengelolaan tambang yang sangat besar (bagaikan air yang mengalir) menunjukkan bahwa barang tambang yang jumlah sangat besar tidak boleh dimiliki oleh pribadi, karena tambang tersebut merupakan milik umum.
Energi listrik dan bahan baku pembangkit energi listrik berupa migas, batubara, panas bumi semuanya adalah milik umum, maka penguasaan dan pengelolaan listrik wajib dilakukan oleh negara dan tidak diperbolehkan dikelola oleh individu dan swasta. Hal ini agar kebutuhan pokok berupa listrik ini dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat dengan harga murah dan dengan cara yang mudah. Bukan seperti dalam sistem kapitalis saat ini dimana listrik diperoleh masyarakat diperoleh dengan mahal dan susah karena dikelola oleh swasta dan sumber energi pembangkit tidak diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan listrik tetapi justru diekspor untuk memenuhi kebutuhan negara lain. Pengelolaan listrik termasuk bentuk pemilikan umum lainnya seperti halnya kepemilikan umum lainnya. Pengelolaan tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi pihak asing yang secara pasti akan merugikan rakyat. Pengelolaan SDA dengan sistem negara koorporasi seperti sekarang inilah yang menyebabkan banyak problem ekonomi dan energi rakyat menjadi terus bertambah. Rakyat harus membayar mahal untuk barang-barang yang seharusnya memang milik mereka. Pengelolaan seperti ini harus sudah diakhiri. Hal ini hanya akan terjadi jika dikelola sesuai syariat Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Syariah Islam telah menetapkan negara (Khilafah) sebagai wakil umat untuk mengatur produksi dan distribusi energi (termasuk listrik) tersebut untuk kepentingan rakyat. Negara tidak boleh mengeruk keuntungan dari kepemilikan umum ini. Negara hanya boleh memungut tarif sebagai kompensasi biaya produksi dan distribusi barang-barang tersebut (lihat: Abdurrahmanal-Maliki, As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah al-Mutslâ). Dimana seluruh kekayaan milik umum akan dikelola oleh negara untuk dan demi kepentingan rakyat dan bukan kepentingan para cukong, segelintir pengusaha hitam dan pejabat korup yang selalu ada dalam negara koorporasi buah dari sistem kapitalis.[Alimuddin Yasir dan Yahya Abdurrahman – Lajnah Siyasiyah DPP HTI]