Kecenderungan umat islam untuk kembali kepada sistem syariah semakin hari semakin kuat. Berbagai survey yang dilakukan, dengan jelas menunjukan hal itu. Survei oleh PPIM – UIN Syahid Jakarta, menunjukkan masyarakat yang menginginkan syariah pada tahun 2001 sebesar 61%, tahun 2002 sebesar 71%, pada tahun 2003 meningkat menjadi sebesar 75%. Sementara pada tahun 2008 sebesar 83% (Survei SEM Institute: 2008). Selain itu, survey setara institute, sebuah lembaga swadaya masyarakat, bekerjasama dengan USAID pada Nopember 2010 lalu mencatat, 34,6 persen responden warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) menyetujui sistem khilafah. Tren ini ternyata bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir terjadi di seluruh negeri Islam. Hasil survey Universitas Maryland di 4 negara Maroko, Pakistan, Mesir, Indonesia pada April 2007 (‘Muslim Public Opinion on US Policy, Attacks on Civilians and al-Qaeda’ ) menyebutkan kecenderungan serupa: “Mayoritas responden (70 %) di sebagian besar negara-negara mendukung penerapan Syari’at dengan ketat, menolak nilai-nilai Barat, dan bahkan menyatukan seluruh negeri Islam (Khilafah).”
Bukti lain, perbincangan, diskusi, seminar terkait bangunan sistem Islam dalam berbagai aspeknya saat ini sudah menjadi perkara yang biasa dilakukan. Bahkan bukan hanya di kalangan akademisi, tetapi juga masyarakat umum. Dibahas di media-media, kajian di masjid-masjid dll. Sebagai contoh, pekan lalu koran Republika, dalam rubrik Islam Digest mengangkat tema menarik seputar konsep ahlul halli wal ‘aqdi dengan judul “Parlemen dalam sejarah islam”. selain membahas keanggotaan ahlul halli wal ‘aqdi, syarat, serta tugas-tugas mereka, juga disebutkan dalam tulisan itu bahwa dunia parlemen bukan hanya milik era pemerintahan modern, tetapi pada masa-masa awal sejarah Islam pun, cikal bakalnya telah diperkenalkan oleh para khalifah. Lebih lanjut disebutkan, secara sederhana menurut Prof Dr Azyumardi Azra, ahlul halli wal ‘aqdi adalah orang-orang yang memiliki otoritas untuk mengambil keputusan dan kesepakatan dalam lingkungan pemerintahan, mereka semacam representasi rakyat: “kalau dalam konteks Indonesia sekarang ya, DPR”. Pada bagian lain, mengutip pendapat Jimli Ash-Shidiqie, disebutkan bahwa para sahabat yang duduk dalam keanggotaan lembaga ini (ahlul halli wal ‘aqdi), tak ubahnya seperti lembaga perwakilan dewasa ini. (Koran Republika, edisi: 29 januari 2012).
Dalam skala pembahasan yang sederhana pula tulisan ini mencoba mengkritisi cara pandang di atas. Yaitu, cara pandangan sistem demokrasi yang erat melekat dalam setudi sistem pemerintahan islam, kalau tidak dikatakan, sekedar meligitimasi sistem demokrasi dengan beberapa konsep dalam khazanah pemikiran politik islam.
Beberapa istilah
Selain ahlul halli wal ‘aqdi, dalam khazanah pemikiran politik Islam dikenal beberapa istilah, di antaranya: ahlu syuro, majlis syuro, ahlul ro’yi wat tadbir (dipopulerkan Ibnu ‘Abidin) , ahlul ihtiyar (dipopulerkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah), majlis umat, dll.. Istilah-istilah tersebut secara umum menunjuk makna yang sama, baik dalam hal sifat-sifat orang yang ditunjuk oleh makna tadi, ataupun dalam hal tugas-tugasnya, sebagimana akan kita jelaskan (lihat kitab ahlul halli wal ‘aqdi sifaatuhum wa wadzaifahun, karya Dr. ‘abullah Ibnu Ibrohim at-tariqiy, hal 32.). Diantara ulama muta’akhirin yang menyamakan istilah ahlul halli wal ‘aqdi dengan ahlu syuro adalah, al-Maududi dalam nadzariyyatul islam wa hadyih, Dr. ‘Abdul Karim Zaidan dalam kitabnya ushulud dakwah, DR. ‘Abdul Qadir ‘Audah dalam kitabnya al-islam wa audho’unas siyasiy. Meski demikian, masing-masing istilah memiliki keidentikan makna tertentu. Istilah Ahlul halli wal ‘aqdi dan ahlul ikhtiyar lebih menunjuk pada proses pengangkatan kholifah. Sementara ahlu syuro lebih menunjuk pada perwakilan hak masyarakat dalam hal musyawarah. Karenanya, istilah majlis umat lebih utama digunakan karena penunjukanya yang lebih umum, yakni tempat tercerminnya aspirasi umat, baik dalam hal muhasabah (kontrol dan pengaduan), syuro, termasuk di dalamnya pengangkatan khalifah. Kenggotaan majlis umat pun bisa terdiri dari laki-laki, perempuan, dan kafir dzimmiy, mengingat syuro dan muhasabah merupakan hak seluruh warga negara. Namun, dalam hal diskusi yang objeknya tentang menyangkut hukum syara serta pemilihan khalifah, anggota majlis umat dari kalangan kafir dzimmiy tidak dilibatkan (Lihat: Ajhizatu daulatul khilfah, hal. 155).
Parelemen Vs Ahlul halli wal ‘aqdi
Setudi perbandingan (Dirosah Muqoronah) antara satu pemikiran dengan pemikiran lain, atau satu sistem dengan sistem yang lain tentu baik dan kadang perlu dilakukan. Namun, tentu hasilnya tidak harus selalu menyamakan antara keduanya, menyimpulkan bahwa di antara keduanya ada kaitan atau bahkan yang satu lahir dari yang lain, atau sebaliknya. Dalam kontek parlemen, sekilas ia memiliki kesamaan dengan konsep ahlul halli wal ‘aqdi dalam khazanah pemikiran politik islam, dari sisi bahwa keduanya merupakan bentuk perwakilan (niyabah) aspirasi rakyat dihadapan pengusanya. Namaun, ada prinsip-prinsip mendasar yang dalam kontek ini, sistem parlemen yang ada sekarang tidak bisa disamakan dengan ahlul halli wal ‘aqdi dalam sistem kekhilafahan sebagaimana dibahas oleh para fuqoha. Diatara hal-hal prinsip itu adalah:
Pertama: parlemen, kongres, dewan perwakilan atau nama-nama lainnya yang dipilih di berbagai Negara untuk menyebut badan legislatif, merupakan implikasi dari prinsip pemisahan kekuasaan yang digagas oleh Montesquieu dalam the spirit of law. Menurutnya, pemusatan kekuasan pada satu pihak merupakan sumber lahirnya kediktatoran, pemerintahan yang totaliter dan pemegang kekuasan yang bertindak sewenang-wenang. Dari situlah muncul konsep trias politika, dimana kekuasan dibagi menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sementara, dalam Islam tidak dikenal adanya pemesihan kekuasaan atau kepemimpinan kolektif (al-qiyadah al-jama’iyyah). Kepemimpinan dalam sistem khilafah dipegang oleh satu orang yaitu khalifah (al-qiyadah al-fardiyyah). Khalifah memiliki kekuasaan penuh untuk mengambil keputusan. Di tangannyalah hak legislasi/adopsi hukum syara’. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari sahabat ‘Abdillah ibnu amru, Rasulullah Saw. bersabda:
وَلَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلَاةٍ إِلَّا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ
“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di padang sahara kecuali jika mereka mengangkat salah satu dari mereka untuk menjadi pemimpin.”(H.R. Ahmad)
Dalam riwayat Abu Dawud dari sahabat Abi Sa’id al-Khudri, Rasulullah Saw. bersabda:
إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Apabila ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaknya mereka menunjuk salah seorang dari mereka sebagai pemimpin!”(H.R. Abu Dawud)
Kata satu (ahad) dalam hadis di atas merupakan bilangan (‘adad), dalam kaidah ushul fiqh ia memiliki makna tersirat (mafhum) yang harus dijadikan landasan (hujjah) dalam proses pengambilan hukum (istidlal) dari nash (al-quran atau hadis), selama tidak ada dalil lain yang menghapus makna tersirat tadi. Artinya, kepemimpinan dalam Islam itu harus satu, tidak boleh dipegang oleh lebih dari satu orang, apalagi dibagi seperti dalam sistem demokrasi saat ini.
Kedua: parleman- legislatif yakni DPR pada kontek Indonesia, dalam bingkai sitem pemeritahan koletif di atas, ia memiliki tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat. Fungsi legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. Sementara fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.
Melihat ketiga fungsi tersebut, jelas ahlul halli wal ‘aqdi berbeda dengan DPR. Fungsi ahlul hall wal ‘aqdi, majilis umat atau majlis syuro terbatas pada fungsi syuro dan pengawasan (muhsabah). Sebagai fungsi syuro, ahlul halli wal ‘aqdi adalah tempat berkonsultasi khalifah dan penasehatnya dalam perkara yang membutuhkan penelaahan, penelitian dan analisis mendalam untuk menyingkap berbagai fakta, termasuk memutuskan perang. Demikian juga dalam perkara-perkara yang memerlukan keakhlian dan pengetahuan spsifik, seperti penyiapan strategi perang, sains dan teknologi, termasuk dalam masalah finansial, pasukan dan politik luar negri. Dalam perkara-perkara diatas khalifah dapat merujuk kepada majlis umat (ahul halli wal ‘aqdi) untuk meminta masukan sebelum mengambil keputusan, sekalipun hukumnya tidak wajib. Para anggota muslim dari Majelis Umat memiliki hak untuk mendiskusikan perkara tersebut dan mengekspresikan pandangan mereka, meski pendapat mereka tidaklah mengikat (ghoir mulzim).
Adapun dalam perkara-perkara teknis-praktis dan aksi yang tidak membutuhkan penelaahan dan penelitian mendalam, seperti pengadaan berbagai kebutuhan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemudahan, baik dalam bidang birokarasi pemerintahan, pendidikan, kesehatan, perdagangan, perindustrian, maka pandangan ahlul halli wal ‘adi dalam perkara-perkara teknis tersebut bersifat mengikat terhadap khalifah (mulzim).
Sementara, fungsi muhasabah dijalankan oleh ahlul halli wal ‘aqdi dengan melaukan pengawasan terhadap seluruh kebijakan yang diambil khalifah, baik pada urusan dalam maupun luar negeri, baik dalam perkara yang pendapat mereka itu bersifat mengikat ataukah tidak sesuai kriteria diatas. Selain itu, fungsi ini juga dilakukan dengan cara menunjukkan kekecewaan mereka terhadap pada para pembantu khalifah, gubernur, atau walikota yang berbuat dzalim. Dalam hal ini pandangan majlis umat bersifat mengikat dan Khalifah berkewajiban untuk memecat mereka dalam keadaan demikian.
Dari kedua fungsi di atas nampak majlis umat tidak memiliki kewenangan dalam hal legislasi dan anggaran sebagaimana dimiliki DPR dalam kontek sistem demokrasi. Hal ini karena, Hukum dalam sistem pemerintahan Islam diambil dari al-quran, as-sunnah dan dalil syar’i mu’atabar lainnya, dengan cara proses ijtihad (bukan berdasarkan musyawarah dalam mekanisme demokrasi), yang hak adopsinya diserahkan kepada khalifah sebagai penguasa (hakim). Begitupun dalam hal anggaran (pemasukan dan pengeluaran negara) semua sudah ditentukan oleh syariah dan bersifat tetap, dimana rincian besarannya diserahkan kepada pandangan dan ijtihad khalifah. Karenanya, dalam Islam tidak dikenal undang-undang yang membahas APBN yang dibuat tahunan (Lihat: an-Nidzam al-iqthishodiy fil Islam, hal. 239).
Ketiga: parlemen- legislatif bikameral, yakni MPR dalam kontek Indonesia. Ia adalah salah satu lembaga tingi Negara, memiliki tugas dan wewenang: mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum, memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, melantik Wakil Presiden menjadi Presiden, memilih Wakil Presiden (apabila terjadi kekosongan jabatan), memilih Presiden dan Wakil Presiden (apabila terjadi kekosongan jabatan).
Dengan memperhatikan fungsi-fungsi tersebut, jelas ada perkara prinsip yang membedakan antara ahlul halli wal ‘aqdi dengan MPR. Undang-undang dasar dan undang-undang (ad-dustur wal qanun) ditetapkan berdasarkan syariah melalui proses ijtihad, yang hak adopsinya menjadi hak khalifah, bukan berdasarkan musyawarah mufakat atau voting sesuai mekanisme demokrasi. Sehingga Ahlul halli wal ‘aqdi fungsi hanyalah tempat bermusyarahnya khalifah (al-mustasyar), agar khalifah benar-benar bisa mengadopsi hukum syara yang memiliki dalil paling kuat menyangkut perkara-perkara khilafiyah, yang perlu “dilegislasi” (lebih tepatnya di adopsi) sebagai undang-undang.
Adapun pengangkatan khalifah, ia dilakukan dengan akad bai’at. Bai’at adalah kesedian untuk mena’ati khalifah dalam hal pelaksanaan syariah. Bai’at diambil dari rakyat dengan syarat keridhoan (ar-ridho) dan kebebasan memilih (al-ikhtiyar). Dalam kontek ini, bai’at bisa dilakukan melalui suara mayoritas ahlul halli wal ‘aqdi, sebagai wakil umat dan cerminan suara mereka. Namun bisa pula melalui pemilihan umum langsung dari seluruh rakyat, pengambilan pendapat mayoritas penduduk ibu kota, pembentukan panitia dari kalangan ulama dan pemuka rakyat oleh khalifah sebelumnya, dengan tetap memperhatikan dua syarat di atas. Kendati demikian, ba’iat melalui ahlul halli wal ‘aqdi yang dipilih dari kalangan para ulama, pemimpin-pemimpin kelompok, dan tokoh masyarakat, tentu lebih mudah dilakukan serta tidak membutuhkan biaya besar dan waktu lama. Pemilihan ahlul halli wal ‘aqdi sendiri bisa dilakukan melalui proses pemilu.
Sementara terkait pemberhentian khalifah, kewenangannya bukan berada pada ahlul halli wal’aqdi, melaikan pada mahkamah madzolim (qhodi khusus yang bertugas menyelesaikan sengketa antara rakyat dan pemerintah). Pemberhentian itu sendiri hanya bisa dilakukan setelah terbukti bahwa khalifah telah kehilangan syarat-syarat khalifah atau terjadi pelanggaran terhadap hukum syariah secara nyata (kufron bawahan).
Menepis syubhat
Ketika khalifah memegang otoritas yang cukup besar, dengan sistem pemusatan kekuasaan seperti dipaparkan diatas, diamana hak legislasi sepenuhnya ada di tangannya, muncul kekhawatiran bahwa hal ini akan berpotensi menimbulkan penyalahguanaan kewenangan oleh khalifah. Tak jarang, hal ini juga dijadikan sasaran black campaign tentang khilafah. Khilafah diopinikan sebagai Negara otoriter yang non akuntabel (anti kritik), atau Negara utopi yang hanya bisa dijalankan oleh orang suci.
Kekhawatiran serta propaganda hitam tersebut mudah saja ditepis jika sistem tadi dipahami dalam kerangkanya yang utuh. Dalam buku karya Abdul-Karim Newell (www.khilafah.com), yang berjudul Accountability in the Khilafah (Akuntabilitas dalam Negara Khilafah) memaparkan bahwa persoalan akuntabilitas ini dijamin melalui tiga mekanisme yaitu: Pertama, akuntabilitas melalui institusi-institusi Negara, yaitu Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim. Khalifah memang memegang kekuasaan yang besar, seperti melegislasi UU, mengelola urusan dalam dan luar negeri, menjadi pemimpin tertinggi angkatan bersenjata, mengangkat dan menerima para duta besar, mengangkat dan memberhentikan para gubernur (wali), mengangkat dan memberhentikan para hakim, dan menetapkan APBN. Namun kekuasaan Khalifah tidak lantas menjadi mutlak. Karena ada lembaga-lembaga negara yang mengimbangi kekuasaan Khalifah. Dengan demikian ada perimbangan kekuasaan yang akan mewujudkan akuntabilitas terhadap khalifah dan lembaga-lembaga negara lain. Disinilah majelis umat menjadi salah institusi penting yang berperan dalam mekanisme akuntabilitas Negara Khilafah, bukan hanya penyambung suara moral dan akhlakul karimah. Di sisi lain, legislasi hukum yang dialkukan khalifah wajib bersumber wahyu. Jika tidak, mahkamah mazhalim dapat membatalkan UU tersebut, jika terbukti bertentangan dengan syariah. Selain itu, mahkamah madzalim berkewajiban menghilangkan segala bentuk kezhaliman yang dilakukan oleh khalifah atau aparat pemerintahan lainnya atas rakyat. Kedua, akuntabilitas melalui partai politik. Jaminan akuntabilitas kedua dalam Khilafah adalah akuntabilitas melalui partai politik yangh jika dikelola secara baik, parpol akan dapat mengagregasikan pesan individu rakyat menjadi suatu tekanan yang masif lagi kuat bagi penguasa. Ketiga, akuntabilitas melalui individu warga Negara. Akuntabilitas dalam Khilafah juga dijamin melalui aktivitas individu umat secara langsung. Oleh karena itu, meskipun sudah ada majelis umat yang berbicara atas nama umat, namun hak akuntabilitas masih ada di pundak masing-masing individu umat. Hal ini karena nash-nash syariah menunjukkan tugas amar ma’ruf nahi munkar bukanlah tugas ahlul halli wal ‘aqdi, majlis umat, parpol Islam semata, melainkan juga tugas setiap individu muslim, termasuk media massa juga dapat digunakan sebagai sarana untuk menjalankan akuntabilitas terhadap para penyelenggara negara khilafah.
Dengan pemahaman yang utuh terhadap bangunan sistem Islam, maka setiap studi perbandingan (dirosah muqoronah) dengan sistem yang lain, tidak akan terjebak pada menyama-nyamakan dua hal yang berbeda, atau sekedar melakukan tambal sulam pada setiap aksi yang harus dilakukan, apalagi sekedar mecari legitimasi atas sistem yang ada, yang bukan hanya telah gagal mewujudkan kesejahteraan ditengah-tengah masyarakat, tetapi juga bertentangan denga Islam. Sebagai contoh, dari paparan di atas, jelas ahlul halli wal-‘aqdi berbeda dengan parlemen yang ada sekarang. baik menyangkut tugas dan kewenangan yang dimilkinya, ataupun sumber serta sejarah kemunculannya. Ibarat kita mempunyai anak, lalu anak kita mirip dengan anak tetangga, kita pasti tidak mau anak kita disebut anak tetangga, begitu pun sebaliknya, apalagi jika tidak mirip. Hal ini tiada lain, karena kita tahu siapa sesungguhnya anak kita, baik sifat, kepribadian, dan perangainya, bukan hanya tahu penampilan fisik belaka. Dan yang lebih penting dia juga dilahirkan dari keluarga yang berbeda. Wallahu a’lam bish showab. (Ade Sudiana)