PEMERINTAH dinilai tidak memiliki strategi holistik dan serius terhadap produksi pangan nasional. Selain tidak mampu mencegah akan terus menyusutnya lahan pertanian, pemerintah abai terhadap urusan irigasi, aspek vital dalam proses bercocok tanam.
Sejak rezim Orde Baru berakhir, tidak ada pembangunan jaringan irigasi yang signifikan. Keberadaan jaringan irigasi saat ini (7,2 juta hektare) pun, menurut Kementerian Pekerjaan Umum, malah rusak 52%.
“Jaringan irigasi yang ada saat ini bekas pembangunan zaman Orde Baru. Jadi, usianya sudah 30 tahunan kalau dihitung sejak 1980,” kata pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori di Jakarta, kemarin.
Pengamat pertanian dari Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menilai pembiaran terhadap persoalan irigasi itu disebabkan pemerintah tunduk kepada Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan Bank Pembangunan Asia saat Indonesia terimbas oleh krisis moneter pada 1998.
Mereka menyarankan Indonesia tidak membiayai sektor irigasi pertanian agar tidak terbebani oleh biaya di luar moneter. Pemerintah juga didorong memprivatisasi pembangunan jaringan. “Kenyataannya swasta tidak berminat dan pemerintah membiarkan tidak terpelihara,” kata Henry.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Udhoro Kasih Anggoro mengakui kurangnya perhatian pemeliharaan irigasi dan pembangunan jaringan irigasi. “Tanggung jawab perbaikan sarana irigasi ada di Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten. Selama ini belum jadi prioritas.”
Menurut Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir, dana untuk memperbaiki irigasi memang sangat besar, ditaksir mencapai Rp100 triliun. “Tapi, (perbaikan) bisa bertahap selama lima tahun, tergantung niat pemerintah apakah ingin meningkatkan produksi pangan.”
Direktur Irigasi dan Rawa Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Imam Agus Nugroho mengungkapkan akibat rusaknya irigasi itu, indeks pertanaman (IP) pun menjadi kurang atau lahan menjadi tidak subur sehingga produksi pangan terganggu. “Kerusakan irigasi menyebabkan IP menurun hingga 40% meski penanaman tidak berhenti,” ujar Imam.
Produksi turun
Contoh kerusakan irigasi terjadi di Sulawesi Selatan. Dari 400 ribu hektare (ha) luas jaringan irigasi, 140 ribu ha di antaranya rusak. Bendungan Bissua dan Pamukulu di Talakar, misalnya, hanya bisa mengaliri 6.430 ha dari 10.785 ha lahan pertanian di kabupaten tersebut.
Di Jawa Barat, 40% jaringan irigasi juga rusak. Menurut Ketua Pelaksana Harian Himpunan Kelompok Tani Indonesia Jawa Barat, Entang Sastaatmadja, kerusakan parah terdapat di Indramayu, Cirebon, Karawang, Subang, Tasikmalaya, Ciamis, dan Garut.
Di Kalimantan Selatan pun kondisinya hampir sama. “Sebagian besar jaringan irigasi tersier rusak,” ujar Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kalsel, Muhammad Arsyadi.
Dampak turunnya produksi pangan akibat rusaknya irigasi itu sudah terjadi di Bali. Menurut pengakuan Ketua DPD Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Bali, Nyoman Suparta, penurunan produksi beras mencapai lebih kurang 2.160 ton per tahun.
“Sistem irigasi subak terus rusak di sektor hilir sehingga lahan pertanian sawah terus menurun berproduksi,” ujarnya.
Pemerintah, diduga terkait dengan masalah itu, menurunkan target produksi beras tahun ini dari 72 juta ton menjadi 66,7 juta ton. (mediaindonesia.com, 13/2/2012)