Presiden: Tidak Ada Penyimpangan dalam Kasus Bank Century

Penanganan kasus pemberian dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun kepada Bank Century memang tengah diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru mengungkapkan berdasarkan laporan yang diterimanya tidak ada penyimpangan dalam pengucuran dana tersebut.

“Tidak diketemukan penyimpangan yang dikategorikan sebagai pelanggaran hukum karena dana itu tidak sesuai dengan peruntukannya,” kata SBY dalam sesi tanya jawab dengan wartawan di Istana Negara, Senin (13/2).

Menurut Presiden, berdasarkan laporan yang diterima selama ini memang tidak pernah ditemukan dari pemberian dana talangan kepada Bank Century senilai Rp 6,7 triliun tersebut. Lanjutnya hingga kini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga belum ada kerugian negara dalam proses tersebut.

Namun meski demikian ia tetap menegaskan kalau dirinya mendukung penegakan hukum dalam kasus tersebut. SBY mengatakan dengan demikian maka apakah ada penyimpangan atau pelanggaran hukum atau kejahatan akan diputuskan kemudian dalam proses hukum.

“Sekarang tentu bolanya ada di penegak hukum, terutamanya KPK saya yakin KPK akan bisa menyelesaikan masalah ini,” ujarnya. (mediaindonesia.com, 13/2/2012)

Pernyataan Hizbut Tahrir Indonesia Tentang Skandal Bank Century

Tidak akan ada asap bila tidak ada api. Kalau benar pengucuran dana talangan (bail-out) Bank Century sebesar Rp 6,7 Triliun itu adalah keputusan yang benar, yang didasarkan pada pertimbangan yang benar, serta dilakukan untuk tujuan yang benar, mestinya tidak perlu terjadi kehebohan seperti yang sekarang ini tengah berlangsung. Fakta bahwa saat ini di DPR tengah menggelinding tuntutan adanya Pansus untuk menyelidiki skandal Bank Century disertai demo dan pernyataan para tokoh di mana-mana dengan tuntutan serupa bahkan tuntutan mundur kepada Wapres Budiono dan Menkeu Sri Mulyani, menunjukkan bahwa pasti ada sesuatu yang tidak beres dari keputusan pemberian dana talangan tadi. Sebelumnya, bahkan Jusuf Kalla, saat masih menjabat sebagai Wapres telah mengatakan, bahwa ini merupakan perampokan uang negara.

Ketidakberesan penanganan Bank Century sesungguhnya sudah berlangsung sejak awal proses merger. Menurut ahli hukum perbankan dan pasar modal, Sutito, SH. MH., memang sejak awal, yakni dimulai pada bulan Desember tahun 2004, Bank Indonesia (BI) terlalu memberikan berbagai kemudahan dan kelonggaran kepada Bank CIC, Bank Pikko dan Bank Danpac untuk melakukan merger. Bank Century ini ibarat layang-layang yang dibuat dari dua kerangka yang sudah keropos kemudian dijahit dengan benang yaitu Bank Danpac. Belakangan memang terbukti, dari hasil audit sementara BPK, ternyata merger ini diduga semata-mata adalah untuk menghindari penutupan Bank CIC dan Bank Pikko.

Kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh Bank Indonesia tersebut antara lain berupa: (1) Asset dalam bentuk Surat-Surat Berharga yang semula dinyatakan macet oleh BI, kemudian dianggap lancar untuk memenuhi performa Capital Adequacy Ratio (CAR); (2) Pemegang Saham Pengendali (PSP) yang dinyatakan tidak lulus fit and proper test tetap dipertahankan; (3) Pengurus Bank yaitu Komisaris dan Direksi bank ditunjuk tanpa melalui fit and proper test dan (4) laporan Keuangan Bank Pikko dan Bank CIC yang dijadikan dasar merger diberikan opini disclaimer oleh kantor akuntan publik, padahal jelas bahwa kedua bank ini bermasalah dari segi permodalan dan cash flow.

Sejak dilakukan merger ternyata Bank Indonesia tidak pernah bersikap tegas kepada bank hasil merger ini, padahal bank ini berkali-kali mengalami posisi CAR negatif, melakukan pelanggaran BMPK dan pelanggaran Posisi Devisa Neto. Buruknya performa dan kinerja Bank Century tersebut dimulai sejak dua bulan setelah merger atau sekitar bulan Februari 2005. Akan tetapi BI terus saja membiarkan keadaan tersebut dan tidak mengambil tindakan apapun terhadap kondisi tersebut.

Rekayasa lainnya terjadi pada bulan November 2008, dengan cara BI mengubah Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai syarat pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dari semula CAR minimal 8% menjadi CAR positif. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memenuhi permintaan dari Bank Century yang mengajukan permohonan FPJP, sementara CAR Bank Century hanya dalam posisi positif 2,35% per September 2008. Padahal saat PBI diubah dan FPJP untuk Bank Century dicairkan, posisi CAR Bank Century sudah dalam keadaan negatif 3,53%. Hal ini berarti bahwa Bank Century seharusnya TIDAK layak untuk mendapatkan FPJP, akan tetapi Budiono, Gubernur BI pada saat itu terus saja memberikan FPJP.

Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy, melihat bahwa penetapan Bank Century sebagai Bank gagal berdampak sistemik oleh BI, semata-mata hanya didasarkan pada analisis yang bersifat psikologi pasar dan mengesampingkan analisi kuantitatif terhadap kondisi Bank Century. Sebab secara kuantitatif ternyata Bank Century semestinya langsung saja ditutup dan tidak berhak mendapatkan bail-out.

Ada peristiwa yang penting yang terjadi menyangkut mekanisme penetapan Bank Century sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik. Yakni rapat konsultasi Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) pertama yang dimulai pukul 23.00 WIB tanggal 20 November 2008 hingga pukul 04.00 WIB tanggal 21 November 2008. Peserta rapat menyatakan TIDAK SETUJU dengan analisis BI bahwa Bank Century adalah Bank Gagal Berdampak Sistemik.

Baru setelah rapat dilanjutkan pada tanggal 21 November 2008 pukul 04.25 WIB hingga pukul 06.00 WIB, yang dihadiri hanya oleh MENTERI KEUANGAN selaku ketua KSSK dan GUBERNUR BI selaku anggota, serta Sekretaris KSSK, rapat menyatakan bahwa Bank Century dalam status Bank Gagal Berdampak Sistemik. Hal ini berarti bahwa peranan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia pada waktu itu sangat vital, dimana dalam rapat sebelumnya yang berlangsung semalam suntuk, diubah begitu saja hanya dalam waktu 1,5 jam. Dan bisa dilihat betapa bagi kedua pejabat ini, Bank Century memiliki arti penting, sehingga mereka rela datang ke rapat pada waktu dini hari menjelang subuh.

Sebagai konsekwensi ditetapkan Bank Century menjadi Bank Gagal Berdampak Sistemik, maka diberikanlah kucuran dana untuk menstabilkan kondisi CAR Bank Century dari negatif 3,53% agar menjadi posistif 8%. Berdasarkan perhitungan, dana untuk menaikkan CAR tersebut agar positif 8% adalah hanya sebesar Rp 632 milliar. Akan tetapi dalam kenyataannya, dana yang dicairkan untuk “penyelamatan” Bank Century tersebut adalah sebesar Rp 6,76 triliun. Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah, ke mana dana-dana tersebut digunakan, kepada siapa dana-dana tersebut dialirkan dan untuk keperluan apa dana-dana tersebut digunakan? Sementara ribuan nasabah kecil dari Bank Century ini terus melakukan protes karena uang mereka tidak kunjung kembali. Jadi kemana uang yang Rp 6,7 triliun itu?

Selama dalam masa pengawasan khusus sejak 6 November 2008, berdasarkan Peraturan BI No.6/9/PBI/2004, sebagaimana yang diubah dengan PBI No.7/38/PBI/2005, Bank Century dilarang untuk mencairkan penarikan dana dari rekening simpanan milik pihak terkait. Akan tetapi Bank Century dan BI serta LPS membiarkan saja penarikan yang dilakukan oleh beberapa pihak dalam jumlah besar, di antaranya juga dibekingi oleh petinggi kepolisian melalui surat kepada Bank Century.

Berdasar fakta-fakta di atas, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:

1. Pengucuran dana talangan yang begitu besar jumlahnya kepada Bank Century yang dilakukan melalui mekanisme yang tidak wajar jelas merupakan sebuah kejahatan negara (state crime) yang dilakukan oleh pejabat negara demi keuntungan sekumpulan orang termasuk untuk kepentingan politik tertentu. Berbagai pelanggaran hukum dan upaya sistematis untuk menempatkan Bank Century sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik tersebut, secara sengaja dilakukan agar dapat menjadikan Bank Century ini sebagai pintu masuk dalam rangka merampok uang negara, melalui mekanisme bail-out. Inilah state corruption, satu jenis korupsi paling jahat karena korupsi ini justru dilakukan sendiri oleh (pejabat) negara. Kejahatan semacam ini jelas tidak boleh dibiarkan. Harus diusut tuntas, dan pelakunya harus dihukum setimpal.

2. Dari segi paradigma ekonomi, pemberian bail-out kepada sektor swasta ini merupakan resep standar ala Washington Consensus, yang menjadi rumus standar bagi IMF dalam menyelesaikan permasalahan modal swasta, yaitu negara yang harus menanggung beban pembiayaan dan permodalan bagi sektor swasta yang bangkrut. Tentu saja pembiayaan ini pada akhirnya dibebankan kepada rakyat melalui pembayaran pajak. Inilah yang menyebabkan sistem ekonomi Kapitalisme terus dipertahankan oleh para pemilik modal dan penguasa, karena sangat menguntungkan mereka agar dapat terus hidup mewah melalui uang hasil “rampokan” perbankan yang sekarat.

3. Maka, skandal Bank Century adalah bukti ke sekian kali dari rapuhnya sistem perbankan nasional yang berbasis ribawi dan birokrat yang berjiwa korup. Karena itu, skandal Bank Century ini justru seharusnya semakin meneguhkan keyakinan masyarakat akan kebobrokan sistem perbankan dan keuangan ribawi khususnya dan sistem ekonomi kapitalistik pada umumnya. Sebagai gantinya, masyarakat harus menuntut untuk tegaknya sistem ekonomi yang adil, yang bersumber dari Dzat Yang Maha Adil, itulah sistem ekonomi syariah.

4. Skandal ini juga menjadi momentum pembuktian, bahwa sistem sekuler dan rezim korup yang tengah berkuasa memang tidak bisa dipercaya. Sebagai gantinya, harus tegak sistem Islam dengan penguasa yang amanah, karena hanya dengan cara itu saja Indonesia akan benar-benar bersih dari rezim yang korup tapi juga dari sistem yang korup. Itulah sistem Islam yang diterapkan secara kaffah oleh seorang Khalifah.

Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia
Muhammad Ismail Yusanto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*