Kaum Muslimin tertindas secara sistemik sejak kemerdekaan hingga kini.
Istilah tirani mayoritas atas minoritas sering digunakan oleh kelompok Kristen dan lainnya bila mereka ingin memaksakan kehendaknya. Seolah-olah mereka berada dalam tekanan oleh mayoritas Muslim sehingga tidak mampu berbuat apa-apa.
Ingat kasus penghapusan tujuh kata dalam pembukaan UUD 45 di awal kemerdekaan. Hatta, proklamator Indonesia, melobi tokoh-tokoh Islam agar mau menerima penghapusan itu karena kalau tidak orang-orang Indonesia Timur-yang notabene Kristen-mengancam akan melepaskan diri dari Indonesia.
Setelah itu, Indonesia dikuasai oleh kalangan Kristen. Posisi-posisi penting pemerintahan diambil oleh mereka. Ini tampak kian nyata pada saat pemerintahan Soeharto selama Orde Baru. Orang-orang Kristen menjadi tangan Amerika di Indonesia untuk menjadikan Indonesia kondusif dalam program liberalisasi di segala bidang sehingga perusahaan-perusahaan Amerika bisa leluasa mengeruk kekayaan Indonesia.
Kondisi seperti ini terus terjadi hingga sekarang. Kalau dulu hanya duduk di kursi birokrasi, kini hampir semua sektor pun telah dikuasai oleh mereka. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) pun tak lagi murni sebagai lembaga kemasyarakatan tapi sudah berubah sebagai lembaga advokasi dan provokasi untuk mendorong negeri ini ke arah yang sejalan dengan liberalisasi.
Kasus-kasus terbaru menunjukkan betapa kaum minoritas berusaha terus memaksakan kehendaknya. Dua kasus pembangunan gereja di Bekasi dan Bogor menunjuk ke arah itu. Di Ciketing, Bekasi, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sempat bersikeras ingin tetap beribadah dan mendirikan gereja di Ciketing Asem, Mustika Jaya, Bekasi, meski tanpa dasar hukum yang absah, dan menolak seluruh opsi yang diberikan oleh pemerintah daerah Kota Bekasi. Bahkan secara demonstratif berulang menyelenggarakan ibadah di jalanan sehingga mengganggu lingkungan. Bentrok pun tak terhindarkan. Ujungnya, umat Islam yang disalahkan.
Hal yang sama terjadi di GKI Yasmin Bogor. Mereka memaksa agar bisa beribadah di bangunan yang akan dijadikan gereja itu. Kendati Walikota Bogor telah mencabut izin mendirikan bangunan (IMB), mereka tetap ngotot. Malah kini mereka menyalahkan umat Islam dengan mengatakan kaum Muslim tidak toleran dan anti Pancasila. Padahal, merekalah yang tidak taat terhadap ketentuan yang ada.
Fakta ini membantah tudingan selama ini dari kalangan Kristen bahwa telah terjadi diktator mayoritas oleh kaum Muslim. Yang sebenarnya terjadi adalah tirani minoritas Kristen/Katolik terhadap kaum Muslimin yang mayoritas.
“Bukan hanya di bidang teologi, tirani minoritas juga berkembang di bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan pendidikan. Tirani minoritas tentu sangat merugikan rakyat negeri ini yang mayoritas Muslim,” kata juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto.
Menurutnya, tirani minoritas ini bisa berkembang akibat lemahnya atau gagalnya negara dalam melindungi kepentingan mayoritas rakyat yang Muslim sekaligus menjaga kepentingan kaum minoritas. Kelemahan atau kegagalan ini dipicu oleh landasan teologis negara ini yang tidak jelas sehingga tidak jelas pula pijakan yang digunakan dalam menata kehidupan masyarakat yang majemuk.
Ia menjelaskan, konflik kepentingan antara mayoritas dan minoritas akan terus berlangsung selama masyarakat dan negara ini diatur dengan sistem sekuler, di mana sistem ini tidak memiliki basis teologis yang jelas untuk menata secara adil antara kepentingan mayoritas Muslim dan minoritas non Muslim.
Liberal Bisu
Banyak kasus penindasan terhadap kaum Muslim di Indonesia. Kasus Ambon, juga Palu, bisa menjadi contoh nyata pembantaian kaum Muslim secara keji oleh kaum kafir. Kendati jadi korban, umat Islam seolah-olah selalu dipersalahkan sampai sekarang.
Dalam kondisi seperti ini, kalangan yang mengaku Islam liberal tak pernah melakukan pembelaan sedikitpun. Tidak ada yang membela kasus penentangan terhadap pembangunan masjid di Kupang dan di Bitung. Atau tidak ada pembelaan dari orang-orang Muslim yang mengaku sebagai pembela HAM terhadap pelarangan sejumlah wanita berkerudung di tempat kerja mereka atau di sekolah.
Sebaliknya mereka ini malah membela kepentingan kaum kafir. Kasus Ciketing dan juga GKI Yasmin, di belakangnya ada orang-orang liberal. Mereka dengan segala cara justru memojokkan umat Islam.
Berbagai sikap kaum liberal ini kian menegaskan bahwa mereka ini sama saja dengan kaum kafir. Mereka tidak ada kepedulian sama sekali dengan Islam dan kaum Muslim, meskipun mereka mengaku beragama Islam. Mereka menggunakan ‘baju Islamnya’ untuk mencari penghidupan di tengah penderitaan kaum Muslim.
Adakah yang Lebih Adil dari Islam?
Islam tidak mengenal mayoritas-minoritas. Negara akan berusaha menjaga seluruh warga negara tanpa kecuali.
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil..” (TQS al-Mumtahanah [60]: 9)
Ayat ini menjelaskan prinsip moral dan legal yang harus dijadikan pijakan oleh kaum Muslim, yaitu kewajiban bersikap baik dan adil kepada siapa saja yang tidak membangun permusuhan dengan mereka.
Prinsip-prinsip seperti ini tidak pernah dikenal dalam sejarah umat manusia, sebelum datangnya Islam. Setelahnya, prinsip-prinsip ini pun tetap hidup sepanjang beberapa abad. Ketika ini tidak ada lagi, maka nestapa dan penderitaan pun menyeruak, dan tetap ada hingga sekarang bahkan nyaris punah, karena hawa nafsu, fanatisme dan sektarian.
Islam menjamin hak-hak orang-orang non-Muslim, dan memberikan keistimewaan kepada mereka. Yang terpenting adalah jaminan kebebasan beragama. Mereka dijamin untuk tetap memeluk agamanya, dan tidak boleh dipaksa. (TQS al-Baqarah [2]: 256).
Khilafah memberikan kebebasan kepada orang kafir untuk memeluk agamanya; beribadah dengan tatacara agamanya; makan dan minum sesuai dengan ketentuan agamanya; kawin dan cerai mengikuti agamanya. Semuanya ini merupakan keistimewaan yang diberikan oleh Islam kepada mereka.
Di luar itu, mereka sama dengan kaum Muslim. Sama-sama harus tunduk kepada sistem Islam. Misalnya, jika kaum Muslim mencuri dipotong tangan, maka orang non-Muslim pun sama. Jika kaum Muslim berzina dicambuk atau dirajam, maka orang non-Muslim pun sama. Jika kaum Muslim tidak boleh mempraktikkan riba, maka orang non-Muslim pun sama. Jika kaum Muslim berhak mendapatkan jaminan kebutuhan dasar, seperti sandang, papan dan pangan, serta kesehatan, pendidikan dan keamanan, maka orang-orang non-Muslim pun sama.
Sebagai warga negara Islam, Islam menjamin hak-hak orang non-Muslim. Bahkan Islam mengancam siapa saja yang melakukan kezaliman kepada mereka, atau menciderai hak-hak mereka. Termasuk di dalamnya, negara menjamin hartnya. Semua harta warga Negara-tanpa memandang agamanya-wajib dijaga oleh Negara.
Islam mengharamkan harta orang kafir diambil atau dikuasai dengan cara yang batil, baik dicuri, dirampas, dirampok atau bentuk-bentuk kezaliman yang lain. Secara nyata, kebijakan tersebut tampak pada zaman Nabi SAW kepada penduduk Najran: “Penduduk Najran dan keluarga mereka berhak mendapatkan perlindungan Allah, dan jaminan Muhammad utusan Allah, baik harta, agama maupun jual-beli mereka, serta apa saja yang ada dalam kekuasaan mereka, baik kecil maupun besar.” (HR al-Baihaqi).
Dalam negara khilafah, kaum Muslim sebagai warga negara menjadi obyek pelayanan negara. Kalau terhadap kaum non Muslim saja negara begitu peduli, apalagi terhadap kaum Muslim. Negara akan mengerahkan segenap kemampuannya untuk melindungi umat ini dan menyejahterakan mereka. Mereka tidak akan tertindas, sebaliknya hidup mulia. []MJ