Tanya :
Ustadz, dalam suatu demonstrasi (masirah) kadang ada aksi teatrikalnya. Apakah itu boleh?
Jawab :
Aksi teatrikal termasuk dalam seni peran/drama. Syeikh Ziyad Ghazzal mendefinisikan bahwa seni drama adalah perbuatan seseorang melakukan perbuatan orang lain atau menjalankan peran orang lain, baik orang lain itu memang ada atau hanya fiksi, serta mengekspresikan suatu peristiwa dengan segala rinciannya, baik peristiwa nyata atau fiksi. (Ziyad Ghazzal, Masyru’ Qanun Wasa`il Al I’lam, hlm. 16).
Definisi lain menyebutkan seni peran (at tamtsil) adalah perbuatan mencontoh atau menirukan suatu peristiwa nyata atau fiksi yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang, baik yang terjadi pada masa sekarang maupun masa lalu, yang dimaksudkan untuk mempengaruhi para penonton dengan tak menunjukkan maksudnya secara langsung. (Muhammad bin Musa bin Musthofa Ad Dali, Ahkam At Tamtsil fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 41).
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum seni drama dalam dua versi pendapat. Pertama, membolehkan dengan syarat tertentu, berdalil beberapa hadits. Ini pendapat sejumlah ulama seperti Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, Ibnu Jibrin, Ibnu Humaid, Muhammad bin Shalih Utsaimin, dan Yusuf Qaradhawi. Kedua, mengharamkan secara mutlak, karena seni drama dianggap kebohongan (kadzib). Ini adalah pendapat segolongan ulama seperti Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Nashiruddin Al Albani, Abdullah Al Ghumari, Ahmad Al Ghumari, Bakar Abu Zaid, Shalih Al Fauzan, dan Hamud Tuwaijiri. (Muhammad bin Musa bin Musthofa Ad Dali, ibid., hlm. 96 & 107).
Menurut kami, yang rajih adalah pendapat yang membolehkan dengan syarat, sebab dalilnya lebih kuat. Dalil yang membolehkan seni drama antara lain hadits Anas bin Malik RA tentang seorang laki-laki Baduwi bernama Zahir. Suatu hari Nabi SAW mendatangi Zahir yang sedang menjual dagangannya. Lalu beliau memeluk Zahir dari belakang. Zahir berkata,’Lepaskan aku, siapa ini?’ Lalu Zahir menengok ke belakang. Maka tahulah Zahir ternyata itu Nabi SAW. Begitu tahu, Zahir lalu melekatkan punggungnya dengan erat ke dada Nabi SAW. Kemudian Nabi SAW berkata,’Siapa yang mau membeli budak ini?’ Zahir berkata,’Wahai Rasulullah, demi Allah, jadi aku ini menurutmu barang murah?’ Nabi SAW menjawab, ‘Tapi Engkau di sisi Allah bukan barang murah. Engkau di sisi Allah adalah barang mahal.’ (HR Ahmad, dengan sanad sahih. Lihat Musnad Ahmad, 3/161; Shahih Ibnu Hibban, 13/107; Sunan Baihaqi, 10/248; Majma’uz Zawaid, 4/275).
Syeikh Ziyad Ghazzal menjelaskan dalam hadits ini Nabi SAW telah melakukan perbuatan yang menunjukkan bahwa beliau adalah pemilik budak, bahwa Zahir adalah budak, bahwa beliau menawarkan Zahir untuk dijual, dan bahwa beliau mengajak hadirin untuk membeli Zahir. Padahal Nabi SAW bukan pemilik budak, Zahir juga bukan budak, dan Nabi SAW sebenarnya juga tak menawarkan Zahir untuk dijual kepada hadirin. Maka hadits ini menunjukkan bolehnya seni drama. (Ziyad Ghazzal, ibid., hlm. 19).
Syeikh Muhammad bin Shalih Utsaimin menjelaskan seni drama bukan kebohongan, sebab seseorang yang memerankan orang lain (misal Fulan) tak berkata, “Saya adalah si Fulan”, tapi berkata, “Saya memerankan si Fulan”. (Muhammad bin Musa bin Musthofa Ad Dali, ibid., hlm. 108).
Namun seni drama tak berarti boleh secara mutlak. Syeikh Ziyad Ghazzal menjelaskan seni drama dibolehkan dengan 5 (lima) syarat : Pertama, tak adanya ikhtilath antara laki-laki dan perempuan. Kedua, tak adanya laki-laki menyerupai perempuan atau sebaliknya. Ketiga, tak memerankan para malaikat, para nabi, para khulafa rasyidin, istri-istri Nabi SAW, dan Maryam ibunda Nabi Isa AS. Keempat, tak membuat atau menggambar makhluk bernyawa. Kelima, tak menggambarkan kejadian gaib seperti Hari Kiamat, surga, neraka, dan alam kubur. (Ziyad Ghazzal, ibid., hlm. 17). Wallahu a’lam.(ustadz Shiddiq al Jawi)
subhanallah…..pembahasan yg bagus
terima kasih ustaz, tp bagaiman dengan adegan artis di sinetron atau film dilayar televisi
syukron ustadz, kalau misalnya cerita-cerita atau kisah-kisah yang dipakai dalam training-training motivasi yang biasanya belum jelas validitasnya itu gimana? atau lelucon-lelucon dalam pidato/training yang kadang-kadang hanya fiktif belaka, itu hukumnya gimana ustadz? syukron.