Tafsir : Di Antara Sifat Munafik

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

Dan di antara manusia ada orang yang berkata: “Kami beriman kepada Allah”, maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata: “Sesungguhnya kami adalah besertamu.” Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia? Dan sesungguhnya Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang beriman: dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang munafik (TQS al-Ankabut [29]: 10-11).

Dalam Alquran diberitakan mengenai orang-orang munafik. Mereka adalah orang-orang yang hanya beriman dalam lisannya saja, namun sesungguhnya hatinya tidak beriman. Amat banyak ayat yang menggambarkan sifat dan karakter mereka. Ayat ini adalah salah satunya yang menerangkan perkara tersebut.

Murtad Ketika Ditimpa Fitnah

Allah SWT berfirman: Wa min al-nâs man yaqûlu âmannâ bil-Lâh (dan di antara manusia ada orang yang berkata: “Kami beriman kepada Allah”). Huruf min pada frasa min al-nâs memberikan makna ba’dhiyyah (sebagian). Sehingga ayat ini tidak mencakup semua orang yang mengatakan beriman kepada Allah SWT. Akan tetapi memberikan pengertian bahwa ada sebagian di antara mereka yang memiliki karakter sebagaimana disebutkan dalam frasa berikutnya. Menurut penjelasan al-Qurthubi dan para mufassir lainnya, mereka adalah kaum munafik. Kesimpulan itu sejalan dengan ayat berikutnya yang menyebut bahwa Allah SWT mengetahui orang yang beriman dan orang munafik.

Karakter mereka disebutkan dalam kalimat berikutnya: Fa idzâ ûdziya fîl-Lâh (maka apabila ia disakiti [karena ia beriman] kepada Allah). Kata udziya berasal dari kata al-adzâ yang berarti segala bahaya yang menimpa manusia, baik pada jiwa, badan, maupun hartanya; baik bersifat duniawi maupun ukhrawi. Sedangkan pengertian fîl-Lâh, sebagaimana dijelaskan al-Qinuji adalah fî dînil-Lâh wa sabîlihi wa li ajlihi (di dalam agama dan jalan Allah, serta karena-Nya). Al-Syaukani juga memaknainya sebagai fî sya`nil-Lâh wa li ajlihi (dalam urusan Allah dan karena-Nya). Tindakan menyakiti tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh orang kafir terhadap kaum beriman dan ahli maksiat terhadap ahli taat; dengan menimpakan sesuatu yang menyakitkan disebabkan oleh keimanan mereka kepada Allah SWT dan amal yang diperintahkan terhadap mereka.

Menghadapi kejadian menyakitkan tersebut, mereka tidak bersikap sabar dan istiqamah dalam keimanan. Sikap tersebut digambarkan dalam frasa berikutnya: ja’ala fitnat al-nâs ka ‘adzâbil-Lâh (ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah). Terhadap fitnah yang ditimpakan manusia itu, mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang amat berat, menakutkan, dan menyakitkan. Demikian takutnya hingga mereka pun menyamakan fitnah manusia itu seperti azab Allah SWT di akhirat. Sehingga mereka lebih menaati orang-orang yang menfitnah agamanya itu. Mereka-sebagaimana  diterangkan Ibnu Jarir al-Thabari, al-Zamakhsyari, al-Sinqithi, dan lain-lain-kemudian   murtad dari keimanannya dan kembali kepada kekufuran.

Persangkaan mereka itu jelas salah besar. Sebab, azab Allah jauh lebih dahsyat dan menyakitkan dibandingkan dengan gangguan yang diterima dari orang kafir. Bahkan tidak ada satu pun yang bisa menyamai azab-Nya. Allah SWT berfirman: Maka pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya (QS al-Fajar [89]: 25).

Mengaku Beriman Ketika Islam Menang

Jika mereka murtad dari Islam ketika ditimpa dengan sesuatu yang menyakitkan, sikap yang mereka tampakkan berbalik ketika Islam mendapatkan kemenangan. Allah SWT berfirman: Wala in jâ`a nashr min Rabbika (dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu). Dijelaskan al-Samarqandi, yang dimaksud dengan nashr min Rabbika adalah pertolongan Allah SWT berupa kemenangan Islam atas musuh di Makkah dan tempat lainnya. Menurut al-Baidhawi dan al-Alusi, berarti fat-h wa ghanîmah (penaklukan dan rampasan perang).

Ketika Islam mendapatkan kemenangan, mereka pun menyatakan dirinya sebagai bagian dari kaum Muslim. Allah SWT berfirman: layaqûlunna innâ ma’akum (mereka pasti akan berkata: “Sesungguhnya kami adalah besertamu.”). Ma’iyyah (kebersamaan) di sini tentu bukan dalam jihad. Sebab, mereka tidak ikut pergi berjihad. Lebih dari itu, mereka telah murtad ketika mendapatkan fitnah dan gangguan akibat pengakuan iman mereka. Sehingga pengakuan yang mereka sampaikan adalah kesamaan akidah dan agama. Bahwa mereka adalah sesama Mukmin. Dengan pengakuan tersebut, mereka berharap mendapatkan ghanimah hasil peperangan dengan kaum kafir. Sikap mereka itu sebagaimana juga diberitakan dalam QS al-Nisa [4]: 141.

Hakikat Mereka Sesungguhnya

Itulah karakter mereka. Ketika ditimpa dengan perkara yang tidak menyenangkan, mereka segera berbalik kepada kekufuran. Namun ketika Islam mendapatkan kemenangan, mereka tak segan mengaku sebagai bagian dari kaum Mukmin. Terhadap pengakuan mereka itu, Allah SWT berfirman: Awa laysal-Lâh bi a’lama bimâ fî shudûr al-‘âlamîn (bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia?).  Dijelaskan al-Shabuni dalam Shafwat al-Tafâsîr bahwa istifhâm (kalimat tanya) dalam ayat ini merupakan istifhâm taqrîr (kalimat tanya yang berguna untu mengukuhkan pernyataan).

Al-Syaukani mengatakan bahwa Allah SWT lebih mengetahui terhadap apa yang ada dalam dada mereka, berupa kebaikan maupun keburukan. Lalu bagaimana mungkin mereka memberikan pengakuan dusta tersebut? Mereka adalah kaum yang imannya lemah; yang ketika mendapatkan gangguan dari kaum kafir, mereka pun sepakat dengan pengganggu keimanan mereka. Sebaliknya, ketika kekuatan Islam tampak dan Allah SWT memberikan pertolongan di berbagai medan pertempuran, mereka mengaku sebagai bagian dari kaum Mukmin.

Dengan demikian, pengakuan keimanan mereka tidak serta merta mendapat pengakuan Allah SWT. Ini juga ditegaskan dalam ayat berikutnya: Walaya’mannal-lâh al-ladzîna âmanû walaya’lamanna al-munânifiqîn (dan sesungguhnya Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang beriman dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang munafik). Menurut al-Syaukani, ayat ini mengukuhkan dan menegaskan sebelumnya. Yakni, membedakan antara dua kelompok dan menampakkan keikhlasan orang yang mukhlis dan kemunafikan orang munafik. Orang yang mukhis adalah orang yang tidak tergoncang keimanannya karena kesakitan yang menimpanya, bersabar dalam agama Allah dengan kesabaran yang benar, dan tidak menjadikan azab manusia seperti azab Allah. Sedangkan orang munafik bisa miring ke sana atau ke sini. Apabila diganggu orang kafir, maka mereka menyetujui dan mengikuti orang kafir tersebut dan ingkar kepada-Nya. Apabila angin bertiup kepada Islam, tampak pertolongan Allah, dan terlihat kemenangan Islam, mereka kembali kepada Islam dan mengaku sebagai bagian dari kaum Muslim.

Bahwa pengakuan keimanan yang disampaikan setiap orang akan mendapat ujian untuk membuktikan kejujuran dan kebenaran ucapannya, telah ditegaskan dalam awal surat ini, yakni QS al-Ankabut [29]: 2-3. Juga QS Muhammad [47]: 31 dan Ali Imran [3]: 179. Mereka termasuk orang yang tidak bisa membuktikan keimanan. Menurut Ibnu Katsir, ayat ini sebagaimana dalam QS al-Hajj [22]: 11.

Demikianlah salah satu sifat kaum munafik. Semoga kita dijauhkan dari sifat tersebut. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.

Iktisar:

1.      Di antara ciri munafik: murtad ketika diganggu karena keimanannya, dan mengaku Mukmin ketika Islam mendapat kemenangan

2.      Keimanan tidak cukup dengan ucapan, namun memerlukan bukti sifat, sikap, dan tindakan.

3.      Allah SWT mengetahui hakikat sebenarnya: siapa yang Mukmin dan siapa yang munafik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*