“Sudahlah, Nazaruddin dan kawan-kawan itu biar rakyat sajalah yang mengadili. Kami sudah bosan mereka itu disidang lama-lama. Rakyat sudah tahu, ini cuma drama saja. Kalau dia ke sini, barang kali saya pukuli. Mereka garong, tetapi tidak mau mengaku garong!”
Kekesalan itu meluncur dari mulut Dawiso (46), petani dari Desa Suranenggala Lor, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Kamis (16/2/2012) pagi. Kiranya Dawiso marah betul dengan kondisi negeri ini yang dipenuhi elite-elite politik dan ekonomi yang disebutnya ternyata garong!
Kemarahan itu pun tak muncul tiba-tiba. Semua bermula dari curahan hatinya mengenai saluran irigasi yang rusak dan kerugian yang dideritanya karena harus menanam ulang padi di sawahnya. Januari lalu, sawahnya kebanjiran. ”Saya sudah rugi pembibitan karena terendam air hujan. Kira-kira saya rugi sampai Rp 2 juta. Yang mahal itu, kan, ongkos buat buruh tanamnya, satu orang Rp 25.000 per hari,” katanya.
Petani di kawasan itu sudah lama mengeluh soal kondisi irigasi buruk. Saat musim hujan, sawah mereka kebanjiran. Di musim kemarau mengalami kekeringan. ”Coba, bagaimana nasib petani ini. Harga beras sudah Rp 9.500 per kilogram. Kalau sehari bisa mendapatkan Rp 50.000 saja, istri di rumah bingung harus membagi-bagi uang untuk beli beras, uang saku anak, dan bayar lain-lain,” katanya dengan nada mulai tinggi.
Pikirannya makin kalut saat bercerita soal tikus yang mulai menyerang tanamannya. Selain irigasi buruk, petani di kawasan itu dibuat pusing oleh serangan tikus. Untuk membasmi binatang pengerat itu, petani harus mengeluarkan biaya tambahan sampai Rp 500.000 per hektar (ha) setiap satu musim tanam untuk membeli pestisida.
”Yang beginian, kan, tidak mengerti mereka itu, para pimpinan negeri. Saya bosan lihat acara debat orang-orang pintar di televisi. Saya tahu karena setiap hari menonton televisi. Debat-debat terus, tetapi tidak ada perhatian kepada petani. Nasib petani makin miskin, yang di atas (pejabat) terus saja korupsi,” ungkap Dawiso.
Seorang petani lain tak lama datang menghampiri Dawiso setelah mendengar ”ribut-ribut” di dekat kali irigasi. Diskusi ”politik” ala rakyat kecil itu pun kian semarak. Rekannya itu lalu buru-buru menimpali, ”Iya benar, tolong itu biar Pak Presiden dengar nasib petani di sawah. Masak yang korupsi miliaran dibiarkan, lalu yang maling ayam ditembak kakinya, ditembak dadanya. Kan, ini akal-akalan. Semua rakyat ini sudah tahu, sudah banyak lihat televisi,” katanya.
”Petani itu maunya makan cukup, bisa menyekolahkan anak, hasil panen bagus. Dulu, sewaktu kecil, saya ingat air kali selalu penuh. Kini, susahnya minta ampun untuk mendapat air buat tanaman,” kata Dawiso.
Terasa benar para petani itu menjerit dalam hati. Beberapa kali suara Dawiso bergetar. Tangannya beberapa kali mengepal. Betapa tidak, ketika mereka harus memikirkan uang untuk biaya makan sehari-hari, ada realitas lain yang menunjukkan potensi raibnya miliaran rupiah uang negara ke kantong-kantong orang tertentu. Kekesalan Dawiso adalah potret kecil kekecewaan rakyat terhadap situasi saat ini.
”Jika kondisi tak juga berubah, orang akan kian tak percaya dengan sistem yang ada. Mereka hilang kepercayaan pada sistem hukum dan demokrasi itu sendiri. Ini bukan hal baru. Kita seperti menunggu waktu kekesalan dan kekecewaan itu memuncak. Bukan tak mungkin akan timbul revolusi sosial,” kata Dede Mariana, Guru Besar Ilmu Politik dari Universitas Padjadjaran Bandung. Dede berharap pemerintah segera sadar dan memperbaiki keadaan. (kompas.com, 20/2/2012)