Syariat Islam dan Penuntasan Kemiskinan

busung-lapar.jpgAyam mati , di lumbung padi. Pepatah ini mungkin tepat menggambarkan kondisi Indonesia saat ini. Bagaimana tidak , negara yang dikenal kaya ini, sebagian besar penduduknya hidup dalam kemiskinan. Di tahun 2007, meski pemerintah melalui BPS mengumumkan jumlah penduduk miskin turun menjadi 37,17 juta orang atau 16,58 persen dari total penduduk Indonesia selama periode bulan Maret 2006 sampai dengan Maret 2007, tapi angka itu tetaplah sangat besar karena mereka hidup di bawah garis kemiskinan sebesar Rp. 151.997 per orang, per bulan, atau hanya sekitar seperlima dari Kebutuhan Hidup Minimum (BPS: Indikator Kunci Indonesia 2007).

Di Makassar, seorang ibu yang sedang hamil 7 bulan dan anaknya berusia 5 tahun meninggal karena kelaparan. Kemiskinan yang amat sangat membuat mereka tidak mampu untuk sekadar membeli beras saja. Kegagalan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan ini tidak bisa dilepaskan dari adopsi sistem Kapitalisme yang dianut dalam kebijakan ekonomi Indonesia.

Alih-alih menyelesaikan persoalan, kebijakan pemerintah justru lebih memperparah kemiskinan masyarakat. Kebijakan kenaikan BBM meskipun sudah dikecam akan memiskinkan masyarakat, tetap saja dijalankan. Walhasil , naiknya jumlah penduduk miskin tahun 2006 tidak bisa dilepaskan dari kebijakan ini. Menurut BPS, jumlah rakyat miskin di tahun 2006 meningkat menjadi 39,05 juta orang dari tahun sebelumnya yang berjumlah 35 juta orang.

Politik Ekonomi Islam

Berkaitan dengan persoalan kemiskinan ini, syariah Islam menetapkan politik ekonomi untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan . Pertama, negara wajib menjamin kebutuhan pokok tiap individu masyarakat. Termasuk dalam kebutuhan pokok ini adalah pangan, sandang, dan perumahan. Jaminan perindividu artinya negara tidak boleh membiarkan ada seorang pun dari rakyatnya yang tidak perpenuhi kebutuhan pokoknya itu. Kedua, negara wajib menjamin kebutuhan strategis kolektif (pendidikan dan kesehatan ) yang murah.

Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan primer bagi setiap individu, tidak berarti negara akan membagi-bagikan makanan, pakaian, dan perumahan kepada siapa saja, setiap saat, sehingga terbayang rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah dipenuhi. Ini anggapan yang keliru.

Pertama, Islam mewajibkan laki-laki yang mampu dan membutuhkan nafkah, untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya termasuk keluarga yang menjadi tanggung jawabnya. Bekerja dalam pandangan Islam bukanlah anjuran tapi kewajiban. Karena itu Islam sangat menghargai seseorang yang bekerja keras untuk memenuhi nafkahnya.

Umar bin Khoththob ra. saat menjadi Kholifah pernah menghukum sekumpulan orang yang berada di masjid yang melalaikan tanggung jawab mereka untuk bekerja. Kalau juga belum cukup, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu mereka.

Kalau ternyata belum terpenuhi juga, baru Negara yang turun tangan menjamin kebutuhan pokoknya. Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum muslim secara kolektif. Rasulullah saw. juga bersabda: “Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, lalu di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka” (HR Imam Ahmad).

Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharibah (pajak) kepada orang-orang kaya hingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika dalam jangka waktu tertentu, pajak tersebut tidak diperlukan lagi, maka pemungutannya oleh negara harus dihentikan.

Sementara itu, jaminan kebutuhan strategis kolektif strategis seperti kesehatan dan pendidikan wajib diberikan oleh Negara secara gratis atau murah. Tidak bisa dipungkiri, kebijakan pemerintah yang neo liberal telah menyebabkan mahalnya kesehatan dan pendidikan. Jelas ini akan membebani rakyat banyak. Dengan dijaminnya kesehatan dan pendidikan murah ini, bebas masyarakat akan menjadi ringan. Belanja keluarga akan bisa lebih diprioritaskan untuk kebutuhan pokok sehari-hari.

Tanggung Jawab Negara

Tugas Negara dalam pandangan syariah Islam bukan hanya memberikan jaminan terhadap kebutuhan pokok individu dan kebutuhan strategis kolektif masyarakat, namun Negara juga wajib menjamin bergeraknya ekonomi riil di tengah masyarakat. Hal ini akan membuat rakyat bisa bekerja mandiri untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Tidaklah mengherankan kalau Islam melarang kegiatan non riil (judi dan riba) yang menghambat laju peredaran uang. Praktik riba dan judi, keduanya membentuk sektor non-real dalam sistem ekonomi kapitalis baik dalam bentuk perbankan, asuransi, maupun perdagangan saham. Dalam sistem kapitalis, money (juga capital) memang dipandang sebagai private goods. Dalam pikiran kapitalistik , baik diinvestasikan dalam proses produksi atau tidak, semua capital harus menghasilkan uang. Faktanya, investasi di sektor non-real saat ini memang cenderung terus meningkat, jauh melampaui uang yang beredar di sektor produksi. Inilah yang disebut oleh Paul Krugman (1999) sebagai “ekonomi balon” (bubble economy).

Islam membedakan money (uang) dengan capital (modal). Money sebagai public goods adalah flow concept, sedangkan capital sebagai private goods adalah stock concept. Money adalah milik masyarakat. Karena itu, penimbunan uang (atau dibiarkan tidak produktif) dilarang karena akan mengurangi jumlah uang beredar; bila diibaratkan dengan darah, perekonomian akan kekurangan darah atau mengalami kelesuan alias stagnasi.

Semakin cepat money berputar dalam perekenomian akan semakin baik bagi ekonomi masyarakat. Jadi, uang harus dibelanjakan. Kalau tidak, sebagai private goods, dana itu diinvestasikan, diproduktifkan baik secara langsung atau dengan melakukan kerjasama bisnis dalam bentuk syarikah dengan orang lain; bisa juga disedekahkan, atau dipinjamkan tanpa riba, dan dikeluarkan zakatnya dan dilarang untuk modal judi. Secara makro, langkah-langkah itu akan membuat velocity of money akan bertambah cepat. Ini berarti merupakan tambahan darah baru bagi perekonomian secara keseluruhan.

Islam juga mewajibkan Negara menyediakan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian Beliau saw. bersabda: “Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk bekerja”

Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi kemiskinanbukanlah sesuatu yang menarik sebatas dalam tataran konsep semata. Tapi terwujud saat kaum muslimin dibawah naungan Khilafah. Tercatat dalam sejarah, Ibnu Abdil Hakam (Sîrah Umar bin Abdul ‘Azîz hlm. 59) meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata, “Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya.” (Al-Qaradhawi, 1995). (Muhammad Ismail Yusanto)

7 comments

  1. iman ti bandung

    “Ya Allah Hidupkanlah Aku sebagai Orang Miskin.”

    DEMIKIANLAH Rasulullah saw pernah berdoa. Nabi Muhammad saw tidak memandang kemiskinan sebagai bentuk kehinaan, tetapi cobaan yang harus dihadapi dengan sabar dan jiwa yang tegar. Sang teladan hidup kita ini mengajarkan kepada kita bersabar menahan diri guna berempati terhadap penderitaan para fakir miskin di sekitar kita. Kaum muslimin diajarkan untuk tidak terpesona dengan nafsu keduniaan. Alquran menyebut kekayaan dunia sekadar perhiasan yang tidak boleh lebih diprioritaskan daripada aktivitas kebajikan. Allah SWT berfirman, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46). Sehingga seorang Muslim yang benar keimanannya tidak menjadi stres dan minder lantaran kemiskinan yang menimpa dirinya, apalagi berputus asa! Tetapi dia justru bersikap menerima apa adanya bahkan merasa mulia sebagai seorang miskin yang masih tetap beriman dan beramal saleh, menjalankan tugas-tugas hidupnya yang telah digariskan oleh Islam, baik tugas individual semacam salat, baca Alquran, berdoa, menuntut ilmu, mencari nafkah menghidupi anak istri, maupun tugas sosial seperti berdakwah buat melanjutkan kehidupan Islam, melakukan amar makruf nahi mungkar, mengajarkan ilmu kepada masyarakat yang ada di sekitarnya, membina kehidupan berjamaah kaum Muslimin dalam berbuat baik di dalam salat maupun di luar salat, tolong menolong sesama kaum Muslimin dalam berbuat baik dan taqwa, berjihad fi sabilillah, dan sebagainya. Sebagian besar dari para sahabat Rasulullah saw yang hijrah ke Kota Madinah (kaum Muhajirin) adalah orang-orang miskin. Dan di antara sahabat Rasulullah saw yang merupakan pribumi Kota Madinah (kaum Anshar) ada juga yang miskin. Sekalipun demikian, mereka punya kepekaan sosial yang tinggi, lebih mengutamakan orang lain meskipun dia sendiri perlu. Alquran memuji sikap mereka dalam firmanNya, “… dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Hasyr: 9). Kesabaran kaum Muslimin dilatih, sehingga memiliki mental baja yang sangat diperlukannya dalam mengarungi kehidupan terutama dalam situasi dan kondisi yang sangat sulit dan sangat membutuhkan sikap prihatin, bahkan super prihatin. Di dalam hadis Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang di pagi hari menemukan makanan yang dapat dia gunakan memenuhi kebutuhannya pada hari itu, dan dia punya rumah buat berteduh pada hari itu, seolah-olah dia telah menguasai dunia dengan seluruh isinya”. Artinya, sekalipun kehidupannya sederhana dan penuh keprihatinan, seorang Muslim yang benar keimanannya masih sanggup menghasilkan karya yang mendunia, yang mampu mengantarkannya menguasai dunia. Fakta menunjukkan bahwa Rasulullah saw dan para sahabat yang menaklukkan dunia itu adalah orang-orang yang hidup dengan penuh kesederhanaan dan kemiskinan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a. (cucu Umar bin Khaththab ra, khalifah terbaik dari Bani Umayyah dan dijuluki khulafaur rasyidin kelima, memerintah tahun 717-720 M) yang mampu mendongkrak perekonomian kaum Muslimin dan menghasilkan pemerataan kemakmuran di seluruh negeri, adalah penguasa yang menanggalkan baju-baju kekayaan dan kemewahan yang pernah dimilikinya sebelum menjadi khalifah. Khalifah Harun ar Rasyid r.a. (khalifah terbaik dari Bani Abbasiyah, memerintah tahun 786-809 M) yang membawa kaum Muslimin ke puncak peradaban, adalah seorang penguasa yang meski masih muda, tapi brilian, dan hidup jauh lebih sederhana daripada sebelum ia jadi khalifah. Karya yang luar biasa memang hanya muncul dari sikap mental yang ulet akibat kesabaran yang luar biasa. Itulah rahasia kegemilangan kaum muslimin di abad-abad keemasan mereka. Pantaslah Rasulullah saw tidak menyembunyikan kekagumannya kepada setiap orang Muslim yang benar-benar mukmin, sebagaimana sabda beliau, “Seorang mukmin itu sungguh mengagumkan. Sebab, seluruh urusannya menjadi baik baginya. Hal itu tak ditemukan pada seorang pun kecuali seorang mukmin. Jika dia mendapatkan suatu keberuntungan, dia bersyukur. Dan bersyukur itu baik baginya. Dan jika ditimpa suatu kesulitan, dia bersabar. Dan bersabar itu pun baik baginya” (H.R. Muslim dari Suhaib ar Rumi r.a.). Dengan demikian, kesabaran luar biasa yang hanya bersumber dari keimanan yang benar menjadi modal dasar bagi kaum Muslimin dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan seberat apa pun, termasuk resesi ekonomi yang sedang dirasakan. Justru berbagai kesulitan dan musibah bagi kaum Muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah SWT adalah suatu ujian keimanan. Allah SWT berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwasanya diri mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman” sedang mereka tidak diuji lagi. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (QS. Al-Ankabut: 2-3). Dan orang-orang yang sabar dalam menempuh ujian Allah SWT punya harapan besar di akhirat dengan besarnya pahala yang dijanjikan Allah SWT sebagaimana firmanNya, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (QS. Az Zumar: 10).

  2. iman ti bandung

    Sepakat 100% dengan Mas Is: “Kegagalan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan ini tidak bisa dilepaskan dari adopsi sistem Kapitalisme yang dianut dalam kebijakan ekonomi Indonesia.”

  3. Aa' GIP - Depok

    Mudah-mudahan kami tergolong orang yang sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Seorang mukmin itu sungguh mengagumkan. Sebab, seluruh urusannya menjadi baik baginya. Hal itu tak ditemukan pada seorang pun kecuali seorang mukmin. Jika dia mendapatkan suatu keberuntungan, dia bersyukur. Dan bersyukur itu baik baginya. Dan jika ditimpa suatu kesulitan, dia bersabar. Dan bersabar itu pun baik baginya” (H.R. Muslim dari Suhaib ar Rumi r.a.)…dan juga tergolong orang yang mau mengemban da’wah melangsungkan kembalinya kehidupan Islam bi iqamatid-daulah khilafah Islamiyah…

  4. rofiq_Aljauhari

    Bukti Ketidak Seriusan Pemerintah

    Rakyat Mati, Nangis Kelaparan
    Penguasa Nangis Nonton Ayat-ayat Cinta

    Presiden : Terkait Harga Sembako Tinggi, Rakyat jangan Mengerutu dan Saling Menyalahkan
    ENAAAK aja.. Mau Lepas Tanggung Jawab

    Presiden : Saya Minta Pengertianya kepada SeluruH Rakyat
    Rakyat: Sini Susah, Situ Mewah itu yang minta dimengerti..

  5. Lagi pusing mikirin tugas

    Rakyat Mati… Penguasa Bernyanyi…
    Ya.. itulah mungkin yang gue rasakan hidup di negara yang katanya kaya raya ini.
    Udah jelas ada Islam sebagai ideologi yang mampu menyelesaikan semua masalah ummat ini…
    Masih mau aja percaya sama kapitalis, gimana sih…?
    Udah jelas kalo kapitalis itu biang dari segala masalah yang ada dan senantiasa menimpa bangsa ini,,,
    Tapi kok masih dipake ya…
    Wahai wakil rakyat,,, wakilkanlah aspirasi kami dengan benar…
    Sekarang kami menuntut anda untuk mau menerapkan Islam secara TOTAL, bukan PARSIAL.

  6. Ummar Abdul Aziz

    Ayamnya mati tapi tikusnya jadi gemuk-gemuk. ya gitu deh kalo berhadapan dengan Kapitalisme yang demokratis… udah tau rusak, busuk, bawa penyakit masih aja dibilang obat. Khan udah ada Syariat Islam, Rasulullah juga bilang itu pembawa kemaslahatan, eh… malah dibilang racun.. Dasar keblinger dah.. kemana seh kaum Muslimin di Indonesia?? koq yang melek cuman dikit…

  7. Semoga Bapak. Presiden kita memahami Syariat Islam ya, biar pejabat-pejabat lainnya ikut ketularan, khan kesempatan pak Presiden ikut mensosialisasikan, kami akan mendukung apabila ada pemimpin yang mau menyerukan berdirinya Khilafah.

    Semoga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*