Membonsai KPK

PEMBERANTASAN korupsi di Indonesia terus-menerus mendapat pukulan balik dari para koruptor. Seakan tidak pernah kehabisan amunisi, mereka menyusup dan merangsek dengan beragam cara dari berbagai penjuru untuk menghentikan perang melawan korupsi.

Salah satu penyusupan paling baru ialah upaya memangkas kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dengan undang-undang hasil revisi, nantinya KPK digiring untuk lebih banyak melakukan pencegahan ketimbang penindakan.
Celakanya, DPR sebagai pemilik mandat pembuat undang-undang sangat antusias menghela pengebirian kewenangan itu.

Komisi III DPR yang diberi tugas menyiapkan revisi bahkan sampai mengirim puluhan anggota mereka untuk melakukan studi banding ke luar negeri.
Sebanyak 10 anggota Komisi III yang dipimpin Wakil Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin telah bertolak ke Prancis, akhir pekan lalu.

Menurut rencana, rombongan kedua yang juga berjumlah 10 orang, dipimpin Wakil Ketua Komisi III Tjatur Sapto Edy, akan ke Hong Kong atau Australia pada April.

Mereka menutup mata akan fakta bahwa berbagai negara mengapresiasi kinerja KPK. Malaysia, Korea Selatan, Timor Leste, Thailand, Brunei, Afghanistan, Yaman, Pakistan, dan Bhutan bahkan mengadopsi Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang KPK yang hendak direvisi itu.

Namun, apresiasi itu rupanya tidak menyurutkan nafsu Komisi III DPR merombak UU KPK dengan mengacu ke negara lain. Beberapa anggota DPR bahkan terang-terangan menuding penindakan korupsi oleh KPK, termasuk penindakan sejumlah anggota DPR, tidak lebih daripada sekadar pencitraan.

Wajar bila kemudian mereka berteguh hati agar lembaga antikorupsi itu lebih banyak, atau bahkan hanya, mengurusi pencegahan. Mereka lalu menyebut segepok alasan, salah satunya penilaian bahwa KPK telah gagal mencegah karena terlalu fokus ke penindakan.

Padahal, suasana kebatinan yang melingkupi pembentukan KPK pada 2003 itu ialah kondisi Indonesia yang sudah berada di jalur darurat korupsi. Karena itu, harus ada terapi kejut bagi para koruptor lewat penindakan yang cepat dari sebuah lembaga superbodi independen.

Karena itu pula, menjadi sangat aneh dan tidak lucu bila khitah dasar kerja KPK lewat penindakan dibonsai menjadi berfokus ke pencegahan. Kalau sekadar pencegahan, buat apa repot-repot membentuk KPK?

Bukankah fungsi itu cukup dimainkan inspektorat jenderal di tiap-tiap kementerian dan lembaga? Anggota dewan seperti tidak mau menengok sejarah bahwa selain KPK yang dibentuk pada 2003, terdapat enam lembaga pemberantasan korupsi yang sudah dibentuk di Republik ini sejak 1957. Itu pun korupsi masih merajalela.

Dengan melihat kenyataan itu, tidak ada pilihan lain bahwa revisi UU KPK harus dikubur dalam-dalam. Justru yang harus dilakukan ialah memperkuat jaminan bahwa UU itu dapat dilaksanakan tanpa pandang bulu.

Perang melawan korupsi tidak boleh berhenti. Karena itu, dibutuhkan daya tahan dan energi luar biasa untuk menjaganya. (mediaindonesia.com, 8/3/2012)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*