BBM Naik, SBY Turun?

Oleh: Harits Abu Ulya

Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)

Di depan raker komisi VII DPR-RI (Selasa,6/3/2012), Menteri ESDM Jero Wacik mewakili pemerintah, menyodorkan opsi kenaikan BBM sebasar Rp 1.500 perliter mulai April 2012. Artinya BBM jenis premium menjadi Rp.6.500 perliter. Opsi kenaikan harga BBM seolah pilihan final dengan alasan untuk antisipasi dampak melemahnya ekonomi global dan tragedi politik kawasan produsen minyak di Timur Tengah.Sebuah kebijakan politik ekonomi yang tidak populis, resiko cukup tinggi. Belum lagi susulan di bulan Mei 2012 TDL (tarif dasar listrik) juga akan di naikkan sebesar 10% secara bertahap.Apakah kebijakan ini akan menjadi bumerang pemerintahan SBY? Artinya SBY bisa jatuh sebelum tahun 2014 atau hanya bisa mengurangi dominasi partai penguasa dipemilu 2014?.Dengan memetakan faktor dan variabel perubahan politik kita bisa melihat kemungkinannya.

Peta entitas yang menghendaki perubahan (dalam konteks Indonesia) terpolarisasi dalam dua kutub. Pertama, kelompok intrasistem (intra-parlementer) dan yang kedua kelompok ekstra-parlementer (diluar sistem). Dan juga bisa dikatagorikan dalam prespektif pro-sistem politik demokrasi-kapitalis dan yang kontra. Sebagian entitas ektra-parlemen sebagian masih percaya kepada sistem yang ada saat ini, bahkan terkadang mereka membuat simbiosis dengan kelompok intra-parlementer. Artinya yang diluar sistem tidak otomatis semua kontra terhadap sistem politik yang tegak. Melalui tangan entitas diatas mungkinkah jargon “ganti rezim” atau “ganti rezim-ganti sistem” bisa diwujudkan melalui isu kenaikan harga BBM? Seperti halnya sebagian masyarakat sudah mulai demo menolak kenaikan harga BBM dan rencana BEM se-Indonesia yang sudah menyiapkan demo besar dengan target jika BBM Naik, SBY harus turun.

Pertama; kecil peluang jika rakyat berharap Parpol dan anggotanya yang di parlemen untuk  memakzulkan SBY, oleh partai oposan sekalipun. Fakta empiris menjelaskan kapasitas politisi diparlemen lebih mewakili kepentingan politik segelintir orang dan kelompok. Atau sebenarnya mereka adalah wakil para pemodal, cukong yang tidak tampak dipanggung politik. Meminjam hasil survey CSIS 16-24 Januari 2012, tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai mencapai 87,4%.Kepercayaan kepada politisi hanya 23,4%, dan kinerja  parpol 87,6% dinilai sangat buruk. Ini tidak jauh beda untuk DPR periode 2004-2009, kepercayaan masyarakat rata-rata hanya 24%. Artinya, masyarakat sendiri sudah apatis terhadap mereka. Partai dan politikusnya tersandera oleh kepentingan politik transaksional.Kebijakan yang tidak populis dari status quo bisa diatur melalui setgab (sekretariat gabungan) Parpol koalisi agar DPR bisa memberikan legitimasi. Jebakan demokrasi menjadikan parpol “banci”, rumus baku pergantian RI-1 harus melalui mekanisme demokrasi. Akan menjadi aib politik jika naik ditampuk kekuasaan dengan jalan inskonstitusional. Mereka tidak punya “syahwat berkuasa” sebelum kekuasaan SBY berakhir 2014. Dan bagi mereka saat ini yang paling urgen adalah mengumpulkan pundi-pundi politik terutama finansial (uang) untuk pemilu 2014, disamping membangun citra dengan cara muslihat yang lihai saling menelikung sekalipun sesama parpol koalisi. Kaidah politik pragmatis belum bergeser, bahwa kepentinganlah yang abadi, teman dan musuh tidak abadi. Banyak kasus skandal politik bisa dimainkan untuk bargaining posisi diantara mereka, dari Century Gate, Gayus T, Wisma Atlet, Hambalang dan lainya. Wajar masyarakat menjadi sangat apatis terhadap DPR, langgam politik yang dimainkan politisi di parlemen sudah lumrah dianggap sandiwara dan seperti opera sabun yang basi.Hakikatnya kelompok ini menjadi power sub-ordinat dari sistem yang ada, dampak manuver politik pragmatismenya hanya melahirkan perubahan artificial (kulit) tidak menjawab kompleksitas persoalan bangsa.

Kedua; bagaimana dengan komponen ektra-parlemen (tapi masih percaya dengan sistem politik demokrasi)?. Mereka sebagian besar dari kalangan aktifis, ormas, NGO/LSM atau embrio sebuah parpol dan mahasiswa yang pragmatis. Orentasi politiknya tidak jauh beda, menjadi “oposan” bermanuver dan melakukan tekanan-tekanan dengan berbagai teknik dan strategi terhadap status quo. Tapi, tidak jarang itu hanya menjadi batu loncatan untuk meneguk keuntungan pragmatis. Bahasa-bahasa “proletar” yang seolah menyuarakan kepentingan rakyat hanyalah topeng, jikapun ada yang idealis saya melihatnya tetaplah semu. Mereka “Menjual” derita rakyat tapi untuk dijadikan tumbal kepentingan pribadi agar bisa bargaining posisi. Jika kalangan aktifis dan komunitas mahasiswa melalui BEM  se-Indonesia sudah siap menggelar demo dengan target SBY turun. Tapi anomali dengan fakta lapangan, saat ini mahasiswa sudah terdiaspora dalam berbagai orentasi politik pragmatis dan sedikit yang ideologis.Pragmatisme menjadi determinasi di berbagai segmen pergerakan tidak terkecuali mahasiswa. Momentum untuk reformasi jilid dua belum menemukan relevansinya dengan mengambil isu kenaikan BBM sebagai entri point. Di kalangan mahasiswa tidak ada kekuatan massif untuk mengawal isu kenaikan BBM menjadi bola salju yang berdampak tumbangnya rezim, apalagi jika peran intelijen (tangan penguasa) mampu penetrasi dan mengkondisikan pola pergerakan dan orentasinya. Sisi lain juga ada potensi munculnya “main mata” antara kelompok penekan luar parlemen dengan parpol intra-parlemen yang sikapnya oposan terhadap penguasa, namun tetap saja belum cukup melahirkan reformasi jilid dua dengan turunya rezim SBY.Karena “main matanya” hanya untuk menjatuhkan citra rival demi pertarungan di pemilu 2014.Jika reformasi jilid II terjadi, saya yakin “quasi reformasi” akan tetap terulang.Mubadzir!.

Ketiga; bagaimana peluang bagi kelompok ektra-parlementer yang kontra sistem politik demokrasi-Kapitalis?Dalam konteks Indonesia saya menemukan dua arus kelompok. Pertama; kelompok sosialis/sosdem, kelompok ini dalam jumlah yang kecil dan sangat tidak signifikan. Dengan bahasa anti neoliberal dan anti kapitalisnya juga belum memiliki kekuatan massif dan signifikan yang mampu menciptakan class struggle untuk melahirkan sintesa politik baru. Sejauh ini, aktifis, mahasiswa, kalangan buruh dengan serikat buruhnya menjadi basis potensial pergerakan mereka disamping kelompok tani. Namun di Indonesia “jajanan politik” kelompok sosialis secara psikologis tidak mudah meraih simpati dan hati masyarakat. Beberapa kasus seperti aksi bakar diri didepan istana Presiden menjadi bukti kegagalan menstimulasi desain kontraksi politik. Pemblokiran ruas jalan tol Jakarta-Cikampek di daerah Bekasi oleh kaum buruh mampu memaksa kebijakan pemerintah selaras dengan tuntutannya, bahkan kemudian menjadi inspirasi langkah-langkah berikutnya ketika cara advokasi yang prosedural gagal dilakukan. Namun menurut saya, tetap saja kelompok yang tidak sepenuhnya menolak demokrasi ini akan berhadapan dengan tembok tinggi pragmatisme dan absurditas konsepsi-konsepsi sosialisme yang mereka usung. Belum lagi kebijakan pemerintah yang bisa meninabobokkan rakyat, otomatis akan mereduksi dan membungkam topik “revolusi” ala kaum kiri.

Kemudian bagaimana dengan kelompok Islamis yang mengusung perubahan dengan Islam Idelogisnya? Apakah akan mampu merealisasikan “ganti rezim dan ganti sistem“?.Dalam hitungan politik, sebenarnya faktor perubahan yakni adanya realitas fasid (rusak) yang inderawi sudah terpenuhi. Demikian banyak problem kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia tidak beranjak dari kubangan masalah. Contoh, kenaikan harga BBM kali ini saja akan otomatis memicu inflansi menjadi 7%. Jelas-jelas rakyat kecil akan menerima dampak, semakin menderita dengan biaya hidup makin tinggi. Dan defisit menjadi 2,3% dari 1,5%, namun untuk menutup defisit pemerintah justru menambah target utang 50 triliun rupiah dengan posisi saat ini utang RI sekitar Rp.1.900 triliun, dengan target utang bruto tahun 2012 sekitar 300 triliun rupiah. Indonesia terjun bebas ke palung jurang utang luar negeri, dan menyebabkan independensi dan kedaulatan ekonomi dan politik bahkan keamanan menjadi absurt. Belum lagi dengan kenaikan BBM diperkirakan memicu penambahan penduduk miskin sekitar 1,5% atau 4-5 juta orang. Menambah angka sebelumnya sekitar 30% atau 75 juta orang dari 18,5 juta rumah tangga yang masuk katagori miskin, hampir miskin, dan sangat miskin versi pemerintah.

Problem lain juga berjibun. Kebijakan liberal disemua sektor dan menguntungkan asing telah merobek rasa nurani keadilan rakyat. Penegakkan hukum yang tebang pilih, bahkan sampai diranah keyakinan terkesan Presiden SBY juga melecehkan umat Islam, di hadapan dubes Asing bertempat di Gedung Pancasila Kemenlu (15/2/2012) menegaskan pemerintah tidak pernah melarang bahkan mengakomodir kebebasan rakyat untuk beribadah sesuai keyakinannya termasuk didalamnya penganut Ahmadiyah.

Secara obyektif menurut saya, kelompok Islamis Ideologis belum mampu mengcover dinamika politik domestik Indonesia untuk keluar menjadi pemenang. Sebenarnya peluang melakukan terobosan sangat besar, disamping targedi “revolusi Arab” cukup menginspirasi dan melahirkan optimisme tentang sebuah siklus kemenangan yakni kelahiran nasib baik kaum Islamis paska runtuhnya kapitalisme global.Namun berangkat dari isu kenaikan harga BBM, saya melihat masih adanya ganjalan yang berarti bagi kelompok Islamis. Baik terkait dengan internal kelompok atau dari eksternal.

Secara aktual, poblem-problem yang melilit mayoritas umat Islam justru melahirkan sikap sangat apatis. Masyarakat sibuk menjadi orang-orang individualis, yang penting bisa menyelamatkan kemaslahatan pribadi masing-masing. Dan ini adalah tembok tinggi yang dihadapi kelompok Islamis (ideologis) untuk mengkonsolidasikan gagasan perubahan yang revolusioner-ideologis bagi tatanan Indonesia kedepan yang lebih baik. Belum lagi tembok penghalang yang lain adalah gerakan sistemik pemerintah untuk meraih hati nurani masyarakat dengan mengintroduksikan kepada mereka tentang konsep kehidupan beragama ala Indonesia (Islam liberal), tentu dengan target utama adalah mereduksi dan mengalenasi kelompok ekstra-parlementer yang Islamis.Belum lagi, menurut saya posisi pemerintahan SBY sendiri cukup percaya diri karena beberapa faktor;

Pertama; kekuasaan SBY di sokong oleh koalisi parpol yang punya kursi di parlemen. Diluar itu masih ada Setgab (sekretariat gabungan) dimana semua kepentingan yang saling menguntungkan anggota koalisi bisa di “musyawarahkan” dan di rumuskan sandiwara politiknya. Bahkan manuver-manuver pengalihan isu dengan mudahnya bisa dilakukan melalui blow-up media.Disamping mereka juga tersandra banyak kasus dan skandal, mengharuskan politik transaksional menjadi lazim. Kedua; pemerintah telah menyiapkan “obat penenang” bagi rakyat, pemerintah menyiapkan dana kompensasi sebasar Rp 22 triliun ke masyarakat dalam bentuk; bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebesar 150 ribu perbulan selama 9 bulan (April-Desember), pemberian beasiswa, pemberian beras untuk rakyat miskin (raskin) selama 14 bulan, dan kompensasi disektor transportasi dengan bantuan yang bersifat Public Service Obligation (PSO) agar tarif angkutan desa tidak naik terlalu tinggi. Di sisi lain pemerintah juga merevisi target pertumbuhan ekonomi dari 6,7% menjadi 6,5%. Disamping akan dilanjutkan rencana konversi dari BBM ke BBG (gas) secara nasional. Rakyat di beri pelipur lara, agar terbiasa dengan lara dan duka berikutnya. Ketiga; pendekatan komunikasi via media oleh pemerintah terhadap rakyat dengan bahasa-bahasa “halus” memaksa rakyat menerima secara rasional dan mau tidak mau harus beradaptasi dengan kebijakan baru pemerintah. Belum lagi langkah “intelijen” secara efektif mampu terjun ke masyarakat dan mengkonsolidasikan tiap kebijakan pemerintah hingga tidak perlu disikapi dengan langkah ekstra-ordinary (luar biasa) dengan tuntutan turunkan rezim SBY.Dan juga tidak sulit bagi “intelijen hitam” melakukan “deception” dengan mengeksplorasi ke permukaan isu-isu sensitif yang bisa mengalihkan perhatian rakyat dari kasus BBM. Mengingat potensi-potensi konflik sosial semua terpetakan jenis dan teritorialnya, maka tinggal memberikan stimulus jika mau. Keempat; pemerintahan SBY dapat dukungan penuh kekuatan kunci, yakni militer. KASAD juga keluarga SBY sendiri, dan banyak dijabatan strategis adalah orang loyalis SBY. Disamping bahasa “kudeta” menjadi tabu bagi militer saat ini, menambah posisi rezim tidak akan tersentuh oleh gerakan-gerakan politik dari militer. Seperti Panglima TNI sendiri telah komitmen untuk mengantisipasi gejolak sosial diseluruh wilayah Indonesia. Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono menginstruksikan kepada seluruh komandan komando utama TNI dan jajarannya untuk mengantisipasi dan menanggulangi konflik sosial dan mendukung terciptanya perdamaian yang berkelanjutan.Instruksi Panglima TNI itu tertuang dalam Surat Telegram (ST) Nomor ST/ 195/ 2012 tanggal 24 Februari 2012, menekankan kembali kepada para Pangdam, Pangarmabar, Pangarmatim, Pangkoopsau I dan Pangkoopsau II untuk membantu penanggulangan konflik dan pembangunan perdamaian berkelanjutan.Ini belum lagi dukungan negara imeperialis AS terhadap pemerintahan SBY dengan kompensasi kebijakan-kebijakan liberal diberbagai sektor harus dikawal dengan segenap kekuatan politiknya oleh SBY.

Wajar kalau kemudian Presiden SBY angkat suara dihadapan insan media (14/2/2012) seakan mau menegaskan bahwa Indonesia establish dan sedang baik-baik saja.

Namun demikian, perubahan adalah suatu yang niscaya setinggi apapun tembok penghalangnya.Kuncinya adalah bagaimana menjadikan kerusakan sistemik akibat diterapkannya ideologi politik yang fasad (batil) sekuler-kapitalis sebagai amunisi untuk membangun kesadaran masyarakat disamping di gambarkan kondisi ideal yang menjadi penggantinya. Dan langkah tersebut tidak cukup, masih harus ditambah tersublimasinya kekuatan-keuatan kunci dari masyarakat yang bisa mensuport perubahan revolusioner. Jika komponen itu bisa diraih oleh kelompok Islamis ideologis maka banyak momentum politik menjadi entri point dari sebuah “revolusi” baru untuk Indonesia. Dan kelompok Islamis tidak akan berhenti di stasiun kanalisasi perlawanan.

Politik menjadi seni yang serba mungkin, SBY bisa jatuh dan juga bisa tidak. Kadang nalar linear dan paralel dalam politik tidak mampu menjelaskan lahirnya faktor baru yang tidak terduga, penyebab isu perubahan menjadi bola salju yang menggelinding  tanpa bisa dibendung.

Kali ini bisa juga bagi kelompok Islamis, jika merasa sudah punya keberanian dan kekuatan yang cukup, kemudian perlu membuat “konfrontasi” yang lebih kuat secara kontinyu dan simultan terhadap status quo hingga fajar revolusi kaum Islamis menyingsing, kenapa tidak? Kita lihat saja.Wallahu a’lam bisshowab[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*