Ketua Dewan Transisi Nasional Libya Mustafa Abdul Jalil di 07/03/2012 menyeru Dewan interim Cyrenaica yang mengumumkan pembentukannya untuk meninggalkan ide federalisme. Bahkan Jalil mengisyaratkan akan menggunakan kekuatan untuk mempertahankan kesatuan Libya. Ia mengatakan bahwa apa yang terjadi di kota Benghazi, sebuah pengkhianatan terhadap warisan para pejuang revolusi yang telah berkorban demi Libya bersatu.
Dewan interim Cyrenaica yang terdiri dari para pemimpin suku dan politisi Libya ini telah mengadakan pertemuan di Benghazi. Mereka mengumumkan pernyataan bersama bahwa provinsi kaya minyak Cyrenaica adalah wilayah otonom dan menyerukan untuk kembali ke federalisme. Perlu dicatat bahwa Inggris, yang mewarisi kolonisasi Italia di Libya telah mengembangkan sebuah konstitusi pada tahun 1951 memproklamirkan bahwa Libya adalah Kerajaan Federasi yang terdiri dari tiga wilayah atau tiga negara bagian otonom, yaitu provinsi Tripoli di barat, Cyrenaica di timur dan Fezzan di barat daya. Sementara wilayahnya yang terbesar adalah Cyrenaica. Dan telah dibuat untuk Libya sebuah bendera yang dinamakan bendera kemerdekaan. Namun sistem federal itu dihapus pada tahun 1963 dan diganti dengan sistem sentralistik, yang terdiri dari 10 provinsi.
Sesungguhnya sistem federal itu di dalamnya menyimpan potensi-potensi konflik kemerdekaan, yang memberi peluang pembagian wilayah untuk menjadi negara-negara yang terpisah, seperti yang terjadi di Sudan selatan ketika pemerintah otonom itu diberi kesempatan untuk melakukan referendum dan kemudian mengumumkan pemisahannya sebagai negara merdeka. Ini adalah sistem yang bertentangan dengan sistem pemerintahan dalam Islam, di mana pemerintahan bersifat sentralistik, dan administrasinya bersifat desentralistik, yakni khalifah yang mengangkat para wali (gubernur) dan yang memberhentikannya. Wali (gubernur) mengelola wilayahnya sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat, dan menurut konstitusi Islam. Tentara yang ada di wilayah tidak di bawah kepimimpinan wali, melainkan di bawa kepemimpinan militer pusat, dan Khalifah adalah panglima tertinggi militer yang sesungguhnya. Begitu juga para qadhi (hakim) di wilayah, mereka diangkat dan dipecat oleh Kepala Qadhi (Hakim Agung) Negara yang ditunjuk oleh khalifah untuk mengelola urusan peradilan. Juga, keuangan di wilayah bukan di tangan wali, melainkan di bawah sistem keuangan pusat yang mendistribusikan kekayaan bagi semua individu rakyat di seluruh wilayah dengan berkeadilan, serta memberi semua pelayanan kepada masing-masing mereka tanpa diskriminasi.
Ketika Prancis dan Inggris melakukan intervensi, yang kemudian diikuti Amerika dan negara-negara NATO lainnya di Libya, dengan dalih membantu rakyat Libya melawan Gaddafi, padahal merekalah yang selama ini mendukung Gaddafi sampai meletusnya revolusi tahun lalu, maka mereka mengembalikan kepada rakyat bendera kemerdekaan yang dirancang oleh Inggris untuk Libya, dan kemudian dilambai-lambaikan oleh para anteknya untuk menuntut sistem federal sebagai pintu masuk guna memecah belah negara. Meskipun rakyat Libya sebagian besar adalah Muslim, namun kaum kafir masih memaksakan kepada mereka konstitusi kufur dan bendera yang mereka buat. Tampaknya bahwa kesadaran masyarakat (atas rencana mereka) belum utuh hingga mereka menolak semua itu, dan terus menuntut penegakan sistem Islam dan menaikkan bendera Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, yang telah dipilihkan untuk mereka. Jadi, bukan hanya menerima pembagian Libya saja sebagai pengkhianatan, melainkan juga menerima pemisahan Libya dari negeri-negeri Islam lainnya sebagai negara merdeka adalah pengkhianatan terbesar terhadap warisan para sahabat, tabi’in dan umat Islam lainnya yang telah membebaskan Libya dan menjadikannnya tetap bersatu lebih dari 13 abad bersama dengan negeri-negeri Islam lainnya dalam naungan satu negara Islam, yaitu Khilafah Islam (kantor berita HT, 14/3/2012).