Oleh Akhiril Fajri (Humas DPD I HTI Lampung)
Sekali lagi, pemerintah kembali berencana mengeluarkan kebijakan antirakyat. Kali ini temanya seputar pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Dan, seperti telah diberitakan, mulai 1 April 2012 pemerintah berencana menaikkan harga BBM.
KEBIJAKAN pemerintah ini akan menyebabkan kelangkaan premium di pasaran. Sehingga, masyarakat akan beralih menggunakan pertamax yang tidak disubsidi. Hal itu akan sangat menguntungkan perusahaan-perusahaan minyak multinasional yang membuka SPBU di seluruh negeri ini. Intinya sebagian rakyat, yakni kalangan menengah ke atas, didorong untuk membeli pertamax (BBM nonsubsidi), dan tidak membeli premium (BBM bersubsidi).
Ini memang tidak tampak seperti kebijakan antirakyat. Sebab, kebijakan itu selintas agar BBM bersubsidi hanya dinikmati rakyat menengah ke bawah, dan tidak turut dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Paling tidak, itulah salah satu alasan pemerintah.
Kenyataannya justru tidak begitu. Jutaan pemilik sepeda motor misalnya yang rata-rata dari kalangan menengah ke bawah, memang masih dibolehkan membeli BBM bersubsidi. Kendaraan bermotor tentu saja tidak hanya yang beroda dua, tapi juga terdiri atas kendaraan khusus, mobil, bus, dan mobil beban/penumpang yang jumlahnya juga tidak sedikit.
Lebih dari 80 persen dari kendaraan tersebut ternyata merupakan sarana produksi yang dimiliki masyarakat. Artinya, kendaraan itu digunakan masyarakat untuk bekerja dan berproduksi.
Dengan demikian, jika ada peralihan dari premium seharga Rp4.500 ke pertamax yang harganya sekitar Rp6.900 per liter, akan ada kenaikan Rp2.400 per liter yang harus ditanggung masyarakat. Padahal, kini akibat gejolak pasar internasional, harga pertamax telah melambung mendekati Rp8.000 per liter.
Bisa dibayangkan betapa beratnya beban masyarakat. Pada sisi lain, justru kebijakan ini malah akan menguntungkan pihak asing di sektor hilir. Merekalah yang paling banyak menangguk keuntungan dari kebijakan itu.
Cobalah kita telaah dengan seksama istilah pembatasan BBM bersubsidi, sesungguhnya hanyalah ’’tipu muslihat’’ dan kedok untuk menutupi niat yang sebenarnya, yaitu liberalisasi energi. Hal ini sesuai dengan UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas. Teks undang-undang tersebut menyatakan pentingnya manajemen urusan minyak dan gas sesuai dengan mekanisme pasar (pasal 3).
Pengelolaan minyak dan gas itu bisa dilaksanakan perusahaan BUMN, BUMD, koperasi, usaha kecil, perusahaan dalam negeri, dan perusahaan asing (pasal 9).
Oleh sebab itu, mau tidak mau dapat disimpulkan bahwa kebijakan di atas sesungguhnya hanyalah bagian dari rangkaian liberalisasi pada sektor migas di negeri ini. Di mana, memang merupakan amanat UU Migas, yang tidak lain merupakan bagian dari kebijakan lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
Sebenarnya argumentasi paling logis dari kebijakan pembatasan subsidi BBM ini adalah pemerintah memang ingin menyempurnakan target kebijakan ekonomi kapitalismenya. Yaitu mencabut berbagai subsidi bagi rakyat. Pembatasan subsidi BBM ini tentu turut melengkapi problem ekonomi di Indonesia.
Problem yang lain adalah tingginya biaya pendidikan dan kesehatan, harga kebutuhan bahan pokok yang makin melonjak, utang pemerintah yang terus membengkak, serta tingginya kejahatan ekonomi seperti korupsi, kolusi, suap, dan kriminalitas.
Kondisi itu terjadi karena Indonesia menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Prinsip dasar sistem ekonomi kapitalis adalah apa pun bisa dimiliki individu dan swasta/asing. Sementara, negara tidak boleh campur tangan dalam perekonomian. Akibatnya kekayaan alam dikuasai swasta/asing.
Berbeda dengan prinsip ekonomi kapitalis, dalam politik ekonomi Islam, negara wajib memberikan jaminan atas pemenuhan seluruh kebutuhan pokok bagi tiap individu dan masyarakat. Serta menjamin kemungkinan pemenuhan berbagai kebutuhan sekunder dan tersier sesuai kadar kemampuan individu bersangkutan.
Untuk menjamin terlaksananya kewajiban negara tersebut, dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan umum seperti tambang, migas, laut, dan hutan wajib dikelola negara serta tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi asing.
Hal ini guna mengoptimalkan pendapatan negara. Sebagaimana Rasulullah SAW telah menjelaskan prinsip ini dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas: ’’Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yakni: air, padang rumput, dan api’’. (HR Muslim).
Jika semua kepemilikan umum dikuasai dan dikelola negara, tentu tersedia dana yang mencukupi untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyat. Sebagai gambaran sederhana, di sektor pertambangan dan energi diprediksi didapat penerimaan sekitar Rp691 triliun per tahun.
Di sektor kelautan dengan potensi sekitar USD82 miliar atau Rp738 triliun per tahun akan diperoleh minimal sekitar Rp73 triliun. Kemudian kehutanan, dengan luas hutan sekitar 90 juta hektare dengan pengelolaan secara lestari diperkirakan akan diperoleh penerimaan sekitar Rp1.800 triliun per tahun.
Pendapatan negara sebesar ini dengan pengelolaan yang amanah, sudah cukup memadai untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dengan begitu, BBM serta biaya pendidikan dan kesehatan dapat dinikmati rakyat dengan harga murah bahkan gratis. (radarlampung.co.id, 27/3/2012)
top markotop…, fakta-fakta seperti ini perlu terus diblow-up agar rakyat makin melek politik dan sadar utk mau berjuang melakukan perubahan, merubah tdk hanya rezim tp jg sistem (kapitalisme) yg sdh ‘out of date’ serta menggantikannya dengan Islam, sistem yg sempurna yg berasal dr Dzat Yg Maha Sempurna…