Soal :
Ustadz, dapatkan anak zina dihubungkan nasabnya dengan ayah biologisnya, yaitu laki-laki yang berzina dengan ibu anak zina itu?
Ali,Bogor
Jawab :
Anak zina adalah anak yang dilahirkan oleh ibunya melalui jalan yang tak syar’i, atau anak dari hasil hubungan yang diharamkan. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 8/430).
Mengenai nasab anak zina dengan ayah biologisnya, seluruh fuqaha sepakat jika seorang perempuan telah bersuami atau menjadi budak dari tuannya (sayyid), lalu dia mempunyai anak zina, maka anak itu tak dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya. Anak itu wajib dinasabkan kepada suami sah perempuan tadi, selama tak ada pengingkaran oleh suami dengan li’an. (Wahbah Zuhaili, Ahkam Al Aulad An Natijin an Az Zina, hlm. 13; Ahmad Abdul Majid Husain, Ahkam Walad Az Zina fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 28; M. Ra`fat Utsman, Hal Yashihhu Nisbah Walad Az Zina ila Az Zani, hlm. 8; Abdul Aziz Fauzan, Hukm Nisbah Al Maulud Ila Abihi min Al Madkhul Biha Qabla Al ‘Aqad, hlm. 21).
Imam Ibnu Qudamah berkata, “Para ulama sepakat bahwa jika lahir seorang anak dari seorang perempuan yang berstatus istri dari seorang laki-laki, lalu ada laki-laki lain yang mengklaim itu anaknya, maka anak itu tak dapat dinasabkan dengan laki-laki lain tadi.” (Lihat Ibnu Qudamah, Al Mughni, 9/123; Ibnu Abdil Barr, At Tamhid, 3/569).
Dalilnya sabda Rasulullah SAW,”Al walad li al firasy wa li al ‘ahir al hajar” (Anak itu adalah bagi pemilik firasy [laki-laki berstatus suami/pemilik budak], dan bagi yang berzina hanya mendapat batu). (HR Bukhari, no 6749). Firasy secara harfiyah artinya tempat tidur (bed). Dalam hadits ini firasy artinya perempuan yang sah digauli secara syar’i, baik sebagai istri melalui nikah maupun sebagai budak perempuan (milkul yamin). (M. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha, hlm. 260).
Adapun jika seorang perempuan tak bersuami atau bukan budak perempuan, lalu mempunyai anak zina, maka di sini ada khilafiyah. Pertama, jumhur ulama dari empat mazhab, juga mazhab Zhahiri, berpendapat anak zina itu tak dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya. Kedua, sebagian ulama, seperti Hasan Bashri, Ibnu Sirin, Ibrahim Nakha`i, Ishaq bin Rahawaih, juga Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim, berpendapat anak zina yang demikian itu sah dinasabkan kepada ayah biologisnya. (Imam Kasani, Bada`i’us Shana`i’, 6/243; Imam Sarakhsi, Al Mabsuth, 17/154; Imam Maliki, Al Mudawwanah Al Kubra, 2/556; Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 9/123; Ibnu Hazm, Al Muhalla, 10/142; Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad, 5/425).
Pendapat jumhur berdalil antara lain dengan keumuman hadits “wa li ‘aahir al hajar” (bagi orang yang berzina hanya mendapat batu), yang maknanya pezina hanya mendapat kerugian (khaibah), yakni tak dapat mengklaim anak zina sebagai anaknya. (Ibnu Hajar Asqalani, Fathul Bari, 12/36).
Pendapat kedua berdalil bahwa hadits “al walad li al firasy” hanya berlaku jika terjadi kasus rebutan klaim anak zina antara pemilik firasy (suami/pemilik budak) dengan laki-laki yang berzina. Dalam kondisi ini anak zina adalah hak pemilik firasy, bukan hak laki-laki yang berzina. Hal ini menurut mereka sejalan dengan sababul wurud hadits tersebut, yaitu kasus rebutan klaim anak zina dari seorang budak perempuan. Jadi jika anak zina lahir dari perempuan tak bersuami atau bukan budak, hadits itu tak berlaku sehingga anak zina tak ada halangan untuk dinasabkan kepada ayah biologisnya. (Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad, 5/425).
Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur, sebab diperkuat dengan keumuman hadits-hadits lain yang menggugurkan dalil pendapat kedua. Sabda Rasulullah SAW, “Siapa saja laki-laki yang berzina dengan seorang budak perempuan atau perempuan merdeka, maka anaknya adalah adalah anak zina, dia (anak zina) itu tak dapat mewariskan dan menerima waris.” (HR Tirmidzi, disahihkan oleh Al Albani; Sunan At Tirmidzi Ma’a Ahkam Al Albani, hlm. 477). Penafian hubungan waris ini menunjukkan penafian nasab, sebab hubungan waris adalah implikasi dari nasab. Maka anak zina secara mutlak tak dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya, baik perempuan yang dizinai bersuami atau tidak. (Ahmad Abdul Majid Husain, Ahkam Walad Az Zina fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 68). Wallahu a’lam. (Ustadz Siddiq al Jawie)