Komisi Tinggi Pemilu Mesir mengumumkan berita mengejutkan dengan mendiskualifikasi sepuluh kandidat calon presiden. Tiga di antaranya adalah kandidat terkuat, yaitu bekas kepala dinas intelijen di bawah rezim Hosni Mubarak, Omar Suleiman, kandidat Ikhwanul Muslimin, Khairat el-Shater, dan politisi Salafi, Hazem Abu Ismail.
Berdasarkan peraturan pemilu Mesir, calon yang didiskualifikasi dapat mengajukan banding dalam waktu 48 jam. Shater dicoret dari bursa capres karena catatan kriminalnya di masa lalu saat menjadi aktivis politik yang menentang rezim Mubarak, sementara Suleiman masih terbilang bagian dari rezim despotik negara itu, adapun Abu Ismail didiskualifikasi karena ibunya memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat.
Di antara sepuluh nama yang didiskualifikasi dari bursa capres, ada figur-figur dengan akseptabilitas tinggi seperti, Shater. Kandidat Ikhwanul Muslimin ini memiliki peluang besar untuk menang dalam pemilu presiden Mesir. Meskipun kelompok itu sebelumnya telah mengajukan calon alternatif, namun sepertinya ada “kekuatan tertentu” yang sedang bermain mencegah Ikhwanul Muslimin menduduki jabatan eksekutif di negara itu.
Rakyat Mesir dalam beberapa hari terakhir menggelar protes untuk menentang pencalonan Suleiman. Mereka juga menyebut Shater sebagai orang yang memiliki peluang besar untuk menduduki kursi presiden. Akan tetapi, sekarang muncul isu-isu lain yang mengindikasikan bahwa “kekuatan tertentu” ingin menyetir pemilu Mesir sejalan dengan kehendak AS, terlebih Amr Moussa disebut-sebut sebagai kandidat yang didukung Barat untuk memimpin Mesir.
Beberapa pengamat politik percaya bahwa ada kemungkinan Dewan Tinggi Militer dan lembaga-lembaga yang berafiliasi dengan asing memerintahkan pencoretan beberapa nama dan mempertahankan para kandidat yang didukung Barat, khususnya AS.
Ini adalah fakta bahwa pemilu presiden Mesir merupakan sebuah momen penting bagi kebanyakan negara Barat, sebab presiden terpilih bertugas mengarahkan kebijakan dalam dan luar negeri Mesir. Setelah tumbangnya rezim Mubarak, AS ingin melestarikan pengaruhnya di negara itu dan sedang mencari tokoh yang tepat untuk didukung. Washington menginginkan pemimpin yang bisa menghidupkan kembali kedudukan AS di kawasan sekaligus tidak begitu bersinggungan dengan rezim Zionis Israel.
Oleh karena itu, AS dan Barat menyusun program untuk memenangkan tokoh yang loyal kepada mereka. Pencoretan nama-nama yang didukung oleh kelompok Islam semakin membuka peluang bagi AS untuk meloloskan jagoannya. Sebuah masalah yang jika terealisasi, akan menjadi sebuah bahaya serius bagi revolusi Mesir. (IRIB Indonesia, 15/4/2012)