HTI-Press. Upaya Barat untuk tetap mengontrol Mesir agar tetap sekuler semakin tampak jelas. Lewat Dewan Militer Mesir yang berkuasa , Amerika Serikat dan sekutunya berupaya menghalang-halangi munculnya tokoh dari umat Islam untuk menjadi presiden Mesir mendatang.
Demokrasi Mesir yang baru, yang sering dipuja-puja oleh Barat hanyalah isapan jempol belaka. BBC online (18/04) melaporkan sejumlah kandikat presiden Mesir tetap didiskualifikasi. Wartawan BBC di Kairo melaporkan, keputusan pengadilan tersebut mengubah peta pemilihan presiden.
Abu Ismail calon kuat dari Salafi yang juga berada di lokasi, kepada para pendukungnya mengatakan: ”Kita menjadi korban konspirasi oleh pihak yang tidak bisa anda bayangkan. Apa yang terjadi di dalam adalah penghianatan untuk menciptakan perpecahan.”
Sebelumnya, secara mengejutkan dua calon presiden yang merupakan tokoh Islam secara Sabtu kemarin dicoret oleh Komisi Pemilihan Presiden, HPEC. Khairat al-Shater, seorang pebisnis dan wakil ketua Ikhwanul Muslimin, didiskualifikasi karena sengketa dakwaan masa lalu. Padahal semuanya tahu, pengadilan di masa Mubarak adalah pengadilan keji, palsu, dan penuh rekayasa. Sedangkan Abu Ismail calon prisden dari Salafi didiskualifikasi karena ibunya memegang kewarganegaraan AS, yang dibantahnya dengan keras.
Untuk menunjukkan bahwa calon dari Islam bukanlah menjadi target , komisi Pemilahan presiden, sengaja mencoret Omar Sulaiman, mantan wakil presiden yang juga menjabat kepala Departemen Intelejen di bawah kepemimpinan Mubarak. Pencalon Omar Sulaiman hanyalah rekasaya , karena siapapun di Mesir paham bahwa Omar merupakan antek Mubarak yang dibenci rakyat.
Wartawan BBC melaporkan ada ketidaknyamanan mendalam terkait ketidakberpihakan HPEC tersebut.Ketua komisi, Farouk Sultan, adalah mantan petinggi militer dan hakim di pengadilan militer. Dengan adanya keputusan terbaru ini maka kandidat tersisa adalah mantan ketua Liga Arab Amr Moussa, Abdel Moneim Aboul Fotouh dan mantan perdana menteri Ahmed Shafiq. Ketiga capresnya dikenal sekuler dan lebih bisa diterima oleh Amerika dan Israel. Fotouh yang memisahkan diri dari Ikhwanul Muslimin dalam pernyatannya siap untuk tetap mempertahankan perjanjian damai dengan Israel.
Meskipun mengklaim lebih demokratis, dewan militer Mesir yang baru saja mendapat bantuan dana dari Amerika Serikat, menggunakan berbagai cara untuk menghalangi munculnya kekuatan Islam , meskipun hanya sedikit dan tidak utuh. Dalam pemilu anggota parlemen kemarin , para kandidat dilarang mengusung isu-isu Islam. Sampai-sampai Slogan “Islam adalah Solusi” pun dilarang.
Pengadilan Administratif di Kairo pada tanggal 10/4/2012 memutuskan untuk menghentikan keputusan parlemen terkait pembentukan sebuah Majelis Konstituante yang bertanggung jawab menyusun konstitusi. Mereka khawatir karena kebanyakan anggota parlemen itu berasal dari gerakan Islam,. 75% anggota parlemen berasal dari gerakan-gerakan Islam, setelah gerakan-gerakan Islam memenangkan pemilihan pasca revolusi.
Berkaitan dengan ini Kantor berita HT (17/4) menyatakan semua ini menunjukkan bahwa prinsip (kehendak) mayoritas yang diakui dan diserukan oleh demokrasi dapat ditolak dan dibatalkan oleh pengadilan dengan cara apapun. Juga menunjukkan bahwa demokrasi adalah kendaraan para rezim sesuai dengan kepentingannya. Menyerukan demokrasi kalau ada kepentingannya disana, di lain waktu justru menginjak-injak demokrasi kalau mengancam kepentingannya. (FW, dari berbagai sumber)