Kepala staf militer Israel Mayor Jenderal Benny Gantz memperingatkan bahwa pasukan Israel siap untuk berkonfrontasi dalam kasus Mesir yang telah berubah menjadi musuh, setelah bertahun-tahun menjalin perdamaian, surat kabar Mesir al-Youm al-Sabea melaporkan pada hari Senin ini (23/4) mengutip radio Israel.
Pernyataan itu muncul setelah Mesir mengakhiri kesepakatan jangka panjang pasokan gas kontroversial dengan Israel, di mana langkah ini ditafsirkan oleh analis Israel sebagai pelanggaran terhadap perjanjian perdamaian Camp David, yang ditandatangani oleh kedua negara pada tahun 1979.
Pemimpin oposisi Israel Shaul Mofaz memperingatkan krisis belum pernah terjadi sebelumnya antara Kairo dan Tel Aviv, menggambarkan keputusan Mesir tersebut sebagai pelanggaran terhadap perjanjian ekonomi termasuk dalam perjanjian perdamaian Camp David, koresponden Al Arabiya di Yerusalem melaporkan, Senin ini.
Mofaz menyerukan campur tangan Amerika Serikat, yang merupakan sponsor dari kesepakatan gas antara Mesir dan Israel.
Menteri Luar Negeri Avigdor Lieberman, sementara itu, mengatakan kepada stasiun radio Israel pembatalan kesepakatan itu “bukan pertanda baik,” namun menambahkan: “Kami ingin memahami ini sebagai sengketa perdagangan. Saya pikir untuk mengubah sengketa bisnis ke dalam perselisihan diplomatik akan menjadi suatu kesalahan. ”
“Israel tertarik untuk mempertahankan perjanjian damai dan kami pikir ini juga merupakan keuntungan tertinggi bagi Mesir,” ujarnya.
“Ini adalah preseden berbahaya yang melanggar perjanjian perdamaian dan suasana perdamaian antara Mesir dan Israel,” kata Departemen Keuangan Israel pada Minggu malam kemarin dalam sebuah pernyataan email.
Hubungan Israel dengan Mesir semakin menegang sejak aksi protes jalanan menyebabkan pengunduran diri mantan presiden Mesir Hosni Mubarak pada Februari 2011. Mubarak sendiri dianggap sekutu regional terdekat bagi Israel, dan dianggap pendukung setia perjanjian damai Camp David 1979 yang mengakhiri beberapa dasawarsa permusuhan antara kedua negara.
Anggota Knesset Binyamin Ben-Eliezer, yang menandatangani kesepakatan gas dengan Mesir selama masa jabatannya sebagai menteri infrastruktur, mengatakan kepada situs berita Ynet Israel bahwa pemutusan kesepakatan ini adalah satu lagi indikasi bahwa konflik antara Israel dan Kairo mungkin akan terjadi.
Dia mengklaim perusahaan energi Mesir tidak bisa menghentikan kesepakatan tanpa dukungan pemerintah. “Keputusan ada di politik. Sebuah perusahaan swasta tidak dapat menghentikan kesepakatan antara dua negara,” tegasnya.
Ampal-American Israel Corp, yang memiliki 12,5 persen dari East Mediterranean Gas Co (EMG), mengatakan telah diberitahukan oleh Egyptian General Petroleum Corp. dan Egyptian Natural Gas Holding Co bahwa mereka telah mengakhiri perjanjian gas pasokan antarperusahaan.
Mohammed Shoeib, ketua perusahaan EGAS Mesir, mengkonfirmasi keputusan tersebut, mengatakan kesepakatan 20-tahun dengan Israel telah berakhir pada Kamis lalu.
Shoeib mengatakan kepada TV Al-Hayat Mesir bahwa “EGAS mengakhiri kesepakatan karena pihak lain tidak memenuhi komitmennya.”
Shoeib membantah keputusan tersebut terkait adanya kepentingan diplomatik.
“Ini adalah sengketa perdagangan bukan masalah politik,” tegasnya.
Menteri minyak Mesir Abdullah Ghorab mengatakan dalam sebuah wawancara telepon menyatakan bahwa ini adalah masalah kontrak, dan “kami melaksanakan hak kami di bawah kontrak.”
Kesepakatan gas, senilai $ 2,5 miliar, ditandatangani pada 2005 dan seharusnya berjalan 15 tahun. Pasokan gas sudah terganggu secara sporadis pada saat pipa Sinai yang membawa bahan bakar ke Israel dibom 14 kali sejak awal kekacauan politik di Mesir.
Sampai serangan pipa Sinai di mulai, gas Mesir telah menyumbang sekitar 40 persen bahan bakar yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik Israel. Israel Electric Corp terpaksa menggunakan bahan bakar pengganti yang lebih mahal, dan berharap bahwa gas domestik yang ditemukan di lepas pantai Israel akan mulai menutup kekurangan gas mulai tahun depan.
Penjualan gas alam ke Israel telah menjadi salah satu kritik utama oposisi Mesir yang menyuarakan perlawanan kepada mantan Presiden Mesir Mubarak, mengklaim bahwa harga gas untuk Israel sangat rendah, sehingga memotong pendapatan nasional Mesir.
Mesir sendiri adalah yang pertama dari dua negara Arab yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel, pada tahun 1979, diikuti oleh Yordania pada tahun 1994. (eramuslim.com, 23/4/2012)