HTI-Press. Akhirnya dengan jujur Amnesti Internasional mengakui terjadi diskriminasi terhadap umat Islam di Eropa. Sebagaimana yang diberitakan BBC online (24/4/2012) negara-negara Eropa melakukan diskriminasi terhadap pemeluk Islam, khususnya dalam bidang pendidikan dan pekerjaan, menurut kelompok hak asasi Amnesty International.
Dalam laporan yang dipusatkan pada Belgia, Prancis, Belanda, Spanyol dan Swiss, Amnesty mendesak pemerintah-pemerintah Eropa berupaya menangani pandangan negatif dan kecurigaan terhadap Islam.
“Perempuan Muslim tidak mendapatkan pekerjaan dan anak-anak perempuan tidak boleh hadir ke sekolah karena mereka mengenakan baju terkait kepercayaan mereka, seperti jilbab,” kata Amnesty.
“Pria dapat dipecat bila memelihara janggut yang dikaitkan dengan kepercayaannya, Islam,” tambah organisasi itu.
Laporan Amnesty itu keluar dua hari setelah partai antiimigran Fron Nasional mencapai suara besar dalam putaran pertama pemilihan presiden Prancis, dengan sekitar 18% suara mendukung pemimpinnya Marine Le Pen.
Laporan yang berjudul “Pilihan dan Prasangka: diskriminasi terhadap Muslim di Eropa” menyebutkan peraturan yang melarang diskriminasi dalam pekerjaan tidak diterapkan di Belgia, Prancis dan Belanda.
Perusahaan-perusahaan diizinkan untuk menerapkan larangan penggunaan simbol keagamaan atau budaya dengan alasan dapat mengganggu klien atau kolega mereka atau dapat mengganggu citra perusahaan, kata Amnesty.
Amnesty mengatakan langkah itu bertentangan dengan peraturan Uni Eropa.
“Peraturan Uni Eropa melarang diskriminasi dengan alasan agama atau keyakinan dalam hal pekerjaan tampaknya tidak ditanggapi di seluruh Eropa dan kami memperhatikan tingginya pengangguran di kalangan Muslim,” kata Marco Perolini, pakar diskriminasi Amnesty International.
Ia menambahkan, hal ini terutama terjadi di kalangan perempuan Muslim yang berasal dari negara lain.
Organisasi itu juga mengkritik Swiss karena melarang pembangunan menara-menara masjid baru pada tahun 2009.
Amnesty mengatakan di kawasan Katalunia, Spanyol, banyak umat Islam yang harus sembahyang di tempat terbuka karena pemerintah menolak pengajuan pembangunan masjid
dengan alasan tidak sesuai dengan tradisi dan budaya Katalan.
Buah Propaganda Islamophobia
Menguatnya diskriminasi terhadap umat Islam di Eropa tidak bisa dilepaskan dari menguatnya propaganda kebencian terhadap terhadap migran asing terutama muslim di Eropa dan Amerika saat ini. Xenophobia (ketakutan terhadap orang asing) maupun Islamophobia, telah mematikan nalar para jurnalis yang seharusnya jeli dalam mengungkap dan menyimpulkan fakta. Media kemudian mencari jalan pintas dengan mengikuti selera kedengkian yang populer di masyarakat.
Meningkatnya sentimen anti Islam (islamo-phobia) di Eropa tampak dari kemenangan bebarapa partai ultranasionalis yang dikenal anti imigran dan anti Islam di berbagai kawasan Eropa. Dalam berbagai pemilu di negara Eropa, partai-partai ekstrim itu ternyata cukup mendapat tempat. Geert Wilders – yang menyerukan untuk membakar setengah dari Al Qur’an- sukses di parlemen Belanda. perlahan mendapatkan banyak suara. Jimmie Akeson dari partai Demokrat Swedia mendapat 20 suara di Swedia. Partai Nasional Inggris (BNP) dan Liga Pertahanan Inggris (EDL) Inggris juga memiliki pandangan yang sama.
Untuk mendapat legitimasi di parlemen , partai-partai ultranasionalis Eropa mulai dari Denmark, Norwegia, Belanda, Perancis, hingga Austria berencana untuk bersatu. Mereka pun berusaha mencari simpati dari kelompok garis neo Nazi dan kaum muda rasialis ‘skinhead’.
Xenophobia dan Islamophobia ini semakin diperparah dengan berbagai kebijakan negara Eropa yang menyudutkan Islam, seolah membenarkan pandangan kelompok ultranasionalis selama ini. Seperti larangan berkerudung dan Burga di Prancis, larangan pembangunan menara masjid. Sikap jaksa di Belanda yang justru membebaskan Wilders dari tuduhan menghina Islam, membuat Islamophobia semakin mendapat seolah dengan dukungan pengadilan.
Para politisi pun untuk kepentingan pragmatisme politik malah memberi angin terhadap kebencian ini. Pada bulan Februari 2011, Perdana Menteri Inggris David Cameron ketika berbicara pada sebuah konferensi keamanan di Munich, ia menyerang doktrin multikulturalisme dan mengkaitkannya dengan seruan bagi umat Islam untuk bergaya hidup lebih kebarat-baratan. Pidato itu dipuji oleh pemimpin rasis Front Nasional Perancis, Marine Le Pen.
Pada Juli 2010 Komisi Eropa untuk Rasisme dan Intoleransi (ECRI) pada Juli 2010 telah memperingatkan bahaya ini. Laporan ECRI Januari-Desember 2009 yang memperlihatkan tren utama rasisme, diskriminasi rasial, xeno-phobia, anti-Semitisme dan intoleransi di Eropa. Salah satu temuan utama ECRI menggaris-bawahi bahwa kaum Muslim adalah korban terbesar dari diskriminasi pekerjaan, penegakan hukum, perencanaan kota, imigrasi, dan pendidikan, serta pembatasan hukum tertentu yang diberlakukan baru-baru ini.
Tidak sedikit yang khawatir pandangan penuh kebencian ini akan memakan korban. Bukan hanya berupa pelecehan terhadap muslim, atau penyerangan mesjid. Dan ini kemudian terbukti. Anders Behring Breivik, pembenci muslim, yang menganggapnya sebagai tentara perang salib, dan memiliki misi menyelamatkan orang-orang kristen Eropa , melakukan pembantaian yang korbannya justru warga eropa ‘asli’ sendiri. Sesuatu yang membuat sedih para muslim Eropa yang tidak menginginkan terjadinya pembunuhan pada siapapun . (FW)