Jakarta Percaya atau tidak, kasus petani hutan Rosidi (41) yang dipenjara di Rutan Kendal, Jawa Tengah merupakan puncak sengketa sejak zaman kolonial Belanda. Warga setempat dari hari ke hari terus terusir. Jika dahulu terusir oleh penjajah Belanda, kini oleh pemerintah Indonesia lewat Perhutani.
Berikut konflik panjang tersebut seperti termuat dalam eksepsi Rosidi yang dibuat tim penasehat hukum dari LBH Semarang, Senin (14/5/2012):
Sebelum abad ke 17
Setiap desa memiliki wengkon atau wewengkon (hutan desa atau kawasan desa dan atau adat). Alasan wengkon yaitu, pertama masyarakat memerlukan hutan sebagai daerah tangkapan air untuk irigasi. Kedua, setiap desa selalu otonom, memenuhi sendiri kebutuhannya untuk kayu bakar dan terutama untuk bangunan. Sehingga kedua kebutuhan tersebut harus dipenuhi sendiri dalam suatu wilayah desa.
Abad ke 18
Pemerintah Belanda mulai mengambil-alih wilayah-wilayah hutan untuk dieksploitasi secara besar-besaran sebagai pasokan bahan baku industri-industri kapal kayu milik pengusaha Cina dan Belanda. Bisnis kapal laut ini berada di sepanjang pantai Utara Jawa mulai dari Tegal, Jepara, Juwana, Rembang, Tuban, Gresik, sampai Pasuruan
Tahun 1870
Untuk memperluas wilayah eksploitasinya Pemerintah Belanda pada tahun 1870 memberlakukan azas Domein Verklairing (wilayah kekuasaan-Negara) melalui Agrarisch Wet (Undang-undang Agraria), yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Agrarisch Besluit atau Keputusan Agraria S.1870 No.118.
Pasal 1 ayat 1 Agrarisch Besluit menyatakan ‘…terhadap tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya akan menjadi milik negara’.
Tahun 1927
Pemerintah mengeluarkan Bosh Ordonantie 1927 (UU Kehutanan 1927) yang memuat pernyataan “… 30 persen dari wilayah hutan Jawa ditetapkan sebagai hutan yang tidak boleh diganggu gugat untuk kegunaan lain selain untuk dihutankan”.
Tahun inilah cikal bakal masyarakat kehilangan hak-hak atas tanah hutan karena masyarakat tidak memiliki bukti-bukti kepemilikan secara tertulis.
Tahun 1921
Menurut penuturan salah satu warga Desa Wonosari, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, Mbah Surat, Belanda meminjam tanah yang digarap warga untuk ditanami jati selama 1 kali masa panen atau sekitar 60 sampai 80 tahun. Belanda meminjam secara gratis karena warga tidak mampu membayar upeti/ pajak.
1942
Pemerintah Belanda mengeluarkan peta hutan Jawa.
Pasca Kemerdekaan 1945
Peminjaman tanah untuk hutan jati oleh Belanda dari warga berakhir. Tetapi tanah tersebut tidak serta-merta kembali kepada masyarakat. Saat ini, tanah tersebut berada di bawah kekuasaan Perum Perhutani (yang merupakan penguasa transisi dari Jawatan Kehutanan, di masa Belanda).
Tahun 1999
Lahir UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Dalam UU tersebut dinyatakan hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat. Sehingga penguasaan atas hutan tidak boleh terpusat pada seseorang, kelompok, atau golongan tertentu.
Tahun 2008
Muncul kesepakatan bersama antara negara dengan warga Desa Wonosari, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal yang menyepakati setiap ada masalah warga dengan Perhutani diselesaikan secara kekeluargaan.
5 November 2011.
Rosidi mengambil pohon jati yang ditebang dan dibiarkan terbengkalai di hutan.
22 Februari 2012
Rosidi ditangkap dan dipenjara. Rosidi didakwa pasal 50 ayat 3 UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara serta denda maksimal Rp 5 miliar. (detiknews.com, 15/5/2012)