Oleh Akhiril Fajri (Humas DPD I Hizbut Tahrir Indonesia/HTI Lampung)
Kondisi negeri ini meski sudah merdeka dari penjajahan fisik selama lebih dari 66 tahun, hingga kini belum juga sampai pada kemakmuran dan kesejahteraan. Sekalipun reformasi sudah berjalan sepuluh tahun, kondisi kehidupan rakyat belum membaik juga. Angka kemiskinan pun masih tinggi.
REFORMASI yang digadang-gadang bisa membawa perubahan mendasar dan luas pada kehidupan negeri ini ternyata juga tidak bisa membuahkan hasil yang diharapkan. Karena reformasi tidak dimaksudkan bagi terjadinya perubahan fundamental, keadaan pascareformasi pun tidak banyak mengalami perubahan.
Bila sebelum reformasi tatanan negeri ini bersifat sekularistik, setelah reformasi juga masih tetap sekuler. Bahkan, keadaan sekarang lebih buruk daripada sebelumnya. Korupsi meningkat tajam, kerusakan lingkungan makin menjadi-jadi, pornografi makin tak terkendali, jumlah orang miskin masih tetap tinggi, dan lainnya.
Lebih menyedihkan lagi, sumber-sumber kekayaan negeri ini yang semestinya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat justru berpindah ke cengkeraman asing. Aroma pengaruh kekuatan asing pun masih terasa sangat kental di negeri ini. Alhasil, upaya memerdekakan negeri ini secara hakiki belum juga berhasil meski sudah lepas dari penjajahan fisik.
Reformasi yang sudah berjalan sepuluh tahun telah berhasil menjadikan negeri ini makin demokratis. Bahkan, sekarang Indonesia dianggap sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India.
Meski demikian, nyatanya proses demokrasi yang makin demokratis itu tidak korelatif dengan peningkatan kesejahteraan serta kehidupan rakyat yang baik. Padahal, demokrasi dan proses demokratisasi dianggap menawarkan perubahan kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Namun, fakta menunjukkan tawaran itu seperti pepesan kosong.
Sekarang di tengah euforia proses demokrasi, perubahan kembali digantungkan pada proses. Jika yang dimaksudkan adalah perubahan sekadar perubahan, jelas demokrasi menjanjikan itu.
Bahkan dalam demokrasi bisa dikatakan tidak ada sesuatu yang tetap. Hal itu karena sistem dan aturan penentuannya diserahkan pada selera akal manusia. Sementara, selera akal selalu berubah dari waktu ke waktu.
Sesuatu yang dianggap baik hari ini bisa saja besok berubah menjadi sesuatu yang dinilai buruk. Sesuatu yang dinilai manfaat hari ini ke depan bisa dinilai sebagai madarat (bahaya). Hal itu karena akal senantiasa dipengaruhi kondisi lingkungan dan kepentingan (ego).
Artinya, perubahan yang ditawarkan demokrasi akan dipengaruhi bahkan ditentukan oleh kepentingan. Dalam konteks ini, kepentingan pihak-pihak yang mendominasi proses demokrasilah yang akan menentukan perubahan yang terjadi.
Di sini masalahnya. Melalui demokrasi perwakilan, suara ratusan ribu rakyat diasumsikan terwakili satu orang wakil. Tentu saja ini adalah satu hal yang sangat sulit kalau tidak bisa dikatakan mustahil.
Faktanya lebih mencerminkan suara dan kepentingan individu. Bahkan, fakta menunjukkan lebih sering justru kepentingan pihak lainlah yang lebih menonjol, selain suara dan kepentingan wakil rakyat dan kelompoknya. Sebab, demokrasi dalam prosesnya membutuhkan biaya mahal.
Di sinilah peran para pemodal yang berinvestasi melalui proses demokrasi menjadi sangat menonjol dan menentukan. Ironisnya selalu diatasnamakan suara dan kepentingan rakyat. Sebab, rakyat yang memilih orang-orang di mana mewakili mereka. Dengan demikian, kepentingan para pemodal demokrasi itulah yang menjadi penentu arah perubahan.
Jadi, demokrasi memang menjadikan perubahan. Bukan perubahan yang memihak kepentingan rakyat, tetapi lebih ke aktor-aktor demokrasi serta para pemodal mereka.
Lebih dari itu, seandainya dengan demokrasi itu tercipta kondisi yang baik di mana sepenuhnya memihak kepentingan rakyat –meski ini selalu saja masih menggantung jadi mimpi– demokrasi tidak bisa menjamin kondisi baik itu bisa terus berlangsung.
Justru demokrasi menjamin kondisi yang baik itu pasti berubah, yang belum tentu akan menjadi lebih baik. Tidak ada jaminan tabiat pilihan masyarakat dalam tatanan sekularistik. Kapitalis bisa jadi pemimpin yang penuhi hak-hak asasi rakyatnya. Sebab, karakter sistemnya eksploitatif dan hanya memihak kelompok korporasi pemegang modal besar yang selalu menjadi pilar tegaknya sistem ini.
Hal itu menunjukkan bahwa demokrasi hakikatnya memang bukan sistem yang baik, dan bukan sistem yang menawarkan perubahan lebih baik secara hakiki. Hal itu wajar karena demokrasi adalah sistem buatan manusia yang tentu saja sarat dengan kelemahan dan kekurangan serta tidak bisa melepaskan diri dari kepentingan.
Lebih dari itu, demokrasi sebagai sebuah sistem bertentangan dengan Islam, karena inti dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Makna praktis dari kedaulatan ada hak membuat hukum. Artinya, demokrasi menjadikan rakyat –riilnya adalah wakil-wakil rakyat– sebagai pembuat hukum. Sebaliknya, dalam Islam membuat dan menentukan hukum itu adalah hak Allah SWT. Artinya dalam Islam hanya Allah yang berhak membuat hukum.[]
sumber: radarlampung.co.id (15/5/2012)