Orientasi politik pragmatis lebih mendominasi daripada orientasi ideologi dalam pemilihan presiden Mesir, 23-24 Mei ini. Hal itu tergambar dalam pertarungan internal di tubuh kubu islamis, yang jauh lebih sengit dibanding pertarungan antara kubu islamis dan kubu nasionalis/liberal.
Publik dan media Mesir kini justru lebih tertarik memperhatikan persaingan sengit antara Muhammad Mursi, calon presiden resmi Ikhwanul Muslimin (IM), dan Abdul Munim Abul Futuh, mantan petinggi IM yang juga mencalonkan diri dalam pemilihan presiden Mesir.
Mursi dan Abul Futuh sama-sama didukung kekuatan politik besar kubu islamis. Di belakang Mursi ada IM, sementara Abul Futuh didukung sebagian besar gerakan Salafi, khususnya Partai Nur, sayap politik Salafi yang meraih 25 persen suara dalam pemilu parlemen, dan kaum muda IM serta partai Islamis Wasat.
Abul Futuh sakit hati dengan IM karena dipecat dari struktur organisasi Islam yang didirikan Hassan Al Banna itu. Abul Futuh, yang saat itu memaksa mengajukan diri sebagai calon presiden (capres), dinilai melanggar keputusan IM, yang tak mau mengajukan capres.
Satu lagi capres dari kubu islamis, yakni Muhammad Salim Al-Awa, dianggap memiliki kapasitas dan popularitas jauh di bawah Mursi dan Abul Futuh.
Berbagai upaya IM membujuk gerakan Salafi agar mendukung Mursi beberapa pekan lalu gagal. Padahal, menurut perhitungan di atas kertas, jika IM dan gerakan Salafi bersatu, capres mereka hampir pasti akan memenangi pilpres dalam satu putaran. Dalam pemilu parlemen lalu, IM dan gerakan Salafi meraih sekitar 70 persen suara.
Melanggar janji
Perpecahan kubu islamis ini dipicu kerisauan gerakan Salafi terkait manuver IM yang ingin menguasai semua lini kekuasaan di Mesir, dari legislatif hingga eksekutif. IM dianggap melanggar janji sebelumnya, yang ingin membangun kemitraan dalam kekuasaan, bukan dominasi.
Dengan perpecahan ini, kemungkinan besar pilpres akan berlangsung dua putaran karena tak ada capres yang mendapat dukungan mutlak. Di kubu nasionalis/liberal saat ini juga terjadi pertarungan internal antara mantan Sekjen Liga Arab Amr Mousa, mantan PM Mesir Ahmed Shafik, dan tokoh sosialis Hamdin Sabahi.
Analis politik Mustafa Fiki mengatakan, pertarungan menarik diduga terjadi pada putaran kedua, saat capres islamis berhadapan langsung dengan capres nasionalis/liberal. (kompas.com, 22/5/2012)