INDONESIA dalam situasi darurat narkoba. Serbuan barang laknat itu dari luar negeri kian menjadi-jadi. Peredarannya semakin menggila dan menjerat seluruh lapisan masyarakat.
Kini, tidak ada satu pun tempat di negeri ini yang steril dari narkoba.
Indonesia yang dulu cuma dijadikan transit oleh sindikat internasional sekarang naik kelas menjadi destinasi penjualan. Narkoba bahkan mulai diproduksi di dalam negeri.
Serbuan narkoba dari mancanegara bak banjir bandang. Pada pertengahan Mei lalu, misalnya, sabu asal China seberat 351 kg senilai sekitar Rp702 miliar disita jajaran Polda Metro Jaya. Sabu yang bisa meracuni lebih dari 3 juta jiwa itu sempat lolos dari Pelabuhan Tanjung Priok.
Dua pekan berselang, giliran Badan Narkotika Nasional (BNN) menyita hampir 1,5 juta butir ekstasi. Nilai pil gedhek yang juga berasal dari China itu tak tanggung-tanggung pula, lebih dari Rp400 miliar.
Dari dua kasus yang terungkap itu saja cukup membuat kita geleng-geleng kepala. Belum lagi penangkapan-penangkapan yang lain.
Narkoba yang diperkirakan lolos jauh lebih besar. Data BNN menunjukkan 49,5 ton sabu, 147 juta butir ekstasi, 242 ton ganja, dan hampir 2 ton heroin lepas dari jerat petugas sepanjang 2011. Barang haram bermacam jenis itu mengalir deras, membius pecandu, dan mencari mangsa baru.
Bagi mafia narkoba internasional, Indonesia ibarat surga. Ratusan juta penduduk merupakan pasar empuk untuk mengeruk fulus. Tak kurang dari Rp1 triliun setiap hari mereka kantongi dengan tumbal 15 ribu warga Indonesia setiap tahun mati.
Ironisnya, penegak hukum terus saja lembek menghadapi keberingasan sindikat narkoba. Sengaja atau tidak, kemudahan demi kemudahan diobral buat para penghancur masa depan bangsa itu. Masih sering kita dapati hakim memvonis ringan bandar, padahal undang-undang mengamanatkan kepada mereka untuk menghukum
seberat-beratnya pelaku kejahatan narkoba.
Terpidana narkotika juga nyaman di balik jeruji besi. Penjara yang semestinya membuat mereka jera malah menjadi tempat paling aman untuk mengendalikan bisnis terlarang itu.
Penjahat narkotika kini bahkan punya benteng terakhir bernama grasi.
Contohnya pun belum lama terpampang, yakni ketika Schapelle Corby mendapat hadiah pengurangan hukuman lima tahun oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Berkali-kali kita ingatkan bahwa narkoba merupakan extraordinary crime, kejahatan luar biasa, sehingga mutlak disikapi dengan ketegasan yang luar biasa pula. Narkoba merupakan malapetaka yang nyata, tetapi penegak hukum hingga Presiden malah lunglai memberangusnya.
Dalam lirik tembang Koes Plus, orang bilang tanah kita tanah surga karena keindahan dan kesuburan alamnya. Sayang, Indonesia kini juga menjadi surga narkoba. Lebih celaka lagi, surga itu ikut diciptakan pengelola negara yang semestinya menghadirkan neraka bagi penjahat narkotika. (mediaindonesia.com, 31/5/2012)