HTI-Press. Pergolakan di Timur Tengah yang dikenal dengan Arab Spring yang terus meluas menimbulkan kekhawatiran rezim Yordania.
Dalam analisisnya Roger Farhat (http://www.middle-east-online.com), menyatakan seorang pejabat tinggi Yordania baru-baru ini merasa prihatin atas meluasnya kekerasan dari Suriah, karena ketidakstabilan politik dipicu yang oleh revolusi Arab terus meningkatkan pengaruh kelompok Islam di negara kerajaan itu.
Rezim Yordania telah semakin khawatir tentang hal itu terutama karena Salafi Jihad di Yordania yang dipimpin oleh Sheikh Abu Muhammad Tahawi baru-baru ini merilis fatwa yang menyerukan jihad di Suriah. Dalam fatwanya, Tahawi menekankan bahwa Alawi dan Syiah saat ini merupakan ancaman terbesar bagi kaum Sunni, bahkan lebih dari ancaman yang berasal dari Israel.
Menurut laporan media, seruan itu telah ditanggapi oleh kelompok Salafi Jihadis dimana lebih dari 30 Jihadis mencoba memasuki Suriah beberapa minggu yang lalu. Kesemuannya kecuali tujuh orang, termasuk Abu Anas Sahabi, yang merupakan spesialis bahan peledak, ditangkap oleh badan intelijen Yordania.
Pada tanggal 15 April demonstrasi yang dilakukan oleh Salafi Jihadis mengakibatkan bentrokan dengan polisi, dengan puluhan petugas terluka dan banyak korban sipil. Pemerintah kemudian menindak Salafi dalam serangan di al-Zarqa dan kota-kota lain yang terletak dekat perbatasan Suriah. Sekitar 147 orang ditangkap oleh pihak berwenang Yordania dan didakwa melakukan kegiatan teroris. Tudingan yang biasa ditujukan bagi gerakan Islam yang ingin menegakkan kebenaran dan bersebrangan dengan pemerintah.
Pada awal Juni, pihak berwenang menangkap dua pelaku jihad tambahan yang membawa senapan mesin dan senjata api lainnya di wilayah utara ketika mereka mencoba menyeberang perbatasan dan bergabung dengan kelompok jihad lainnya yang sudah terlibat di Suriah.
Kalau pendukung rezim kerajaan mendesak pemerintah untuk tidak ragu memisahkan diri dari pihak oposisi Suriah dan mempertahankan kebijakan low profile terhadap peristiwa yang terjadi di negara tetangga. Hal itu terutama karena kekhawatiran mereka atas rapuhnya stabilitas kerajaan, yang mungkin akan terguncang oleh kemungkinan jatuhnya rezim di Damaskus.
Tampaknya pemerintah Yordania takut atas setiap dukungan yang dapat diberikan bagi pihak oposisi yang merupakan kelompok Islamis yang berperang melawan Assad, sehingga bisa mengakibatkan respon keras dari pemerintah Suriah.
Aparat keamanan mengatakan khawatir bahwa perubahan di negara tetangga itu akan memperkuat kelompok Islam dan merusak Kerajaan, sehingga dilaporkan telah memperketat pemantauan atas para ‘aktivis pengungsi’ yang mendukung oposisi Suriah , dan mendeportasi lebih dari 50 orang di bulan Mei.
Selain itu, diperkirakan Kerajaan berusaha untuk menghindari skenario terburuk di Suriah, yang melihat penggantian rezim Assad oleh Ikhwanul Muslimin. Jika skenario seperti itu terwujud, gaungnya akan secara signifikan dirasakan di Amman sehingga gelombang pemberontakan rakyat yang menyapu melalui wilayah tersebut telah membawa kelompok Islam ke tampuk kekuasaan di negara-negara yang terkena imbas Arab Spring.
Oleh karena itu, kelompok Islam Yordania yang memanfaatkan gelombang kerusuhan itu meningkatkan anti kemapanan dengan melakukan demonstrasi di seluruh Kerajaan, dan akan melihat kesempatan yang tak tergoyahkan dan menguntungkan jika kerabat mereka berhasil menggulingkan rezim sekuler di Suriah.
Penilaian ini diperkuat oleh perubahan di antara para pejabat tinggi Yordania, termasuk King, yang menyerukan Presiden Assad untuk mengundurkan diri bulan lalu. Bagaimanapun, Raja menyesuaikan sikap dengan kejadian baru-baru ini dan mendesak bagi solusi politik untuk mengakhiri krisis yang sedang berlangsung.
Menurut sumber Yordania, perdebatan intensif dalam Dewan Kebijakan yang dipimpin Raja sendiri dan termasuk di dalamnya para pemimpin dari Royal Court, tentara, intelijen, dan pemerintah, difokuskan pada kemungkinan meluasnya kekerasan dari Suriah. Luapan kekerasan itu berpotensi bisa terjadi melalui pembunuhan politik yang menargetkan para aktivis oposisi Suriah, dengan bom-bom mobil di kota-kota Yordania, dan akhirnya kehancuran ekonomi negara yang sangat tergantung pada perdagangan dengan dan melalui Suriah.
Kekhawatiran rezim Yordania semakin bertambah, mengingat seruan-seruan yang bukan sekedar penggantian rezim tapi juga penggantian sistem menjadi Khilafah semakin kuat gaungnya di Timur Tengah. Gelombang dukungan terhadap penegakan Khilafah Islam yang paling sering diserukan oleh Hizbut Tahrir ini sangat menakutkan bagi rezim di Timur Tengah juga negara-negara Barat. Penegakan Khilafah akan memotong pengaruh dan dominasi Barat di Timur Tengah. Selama ini negara Barat menanamkan pengaruhnya melalui sistem sekuler dan kerajaan dan melalui penguasa-penguasa boneka bentukan Barat. (AF/RZ)