Selama 30 tahun dan hingga saat ini, Indonesia alami ketergantungan dengan luar negeri. Dampaknya, Pemerintah tidak mampu menyejahterakan rakyat dan utang terus menumpuk.
Bahkan APBN yang disusun oleh Pemerintah sama sekali bukan untuk rakyat. Tapi APBN disusun untuk pejabat. Hal ini diungkapkan oleh para pembicara dari HTI DPD Jawa Timur dalam Konferensi Tokoh Umat di JX Internasional, Minggu (10/6/2012).
Dalam konferensi yang dihadiri sekitar 5000 tokoh umat di Jawa Timur, Ustadz Khoiri Sulaiman memaparkan bagaimana postur APBN yang ada. Mengingat Indonesia adalah negara demokrasi dan berpaham kapitalis, maka APBN yang disusun pemerintah merupakan wujud APBN kapitalis.
Kata Khoiri, dari data Departemen Keuangan (Depkeu), penerimaan APBN 2012 sebesar Rp 1300 triliun. Sumber terbesar penerimaan dari pajak yakni 79 persen, sisanya sumber daya alam 14 persen, sisanya lain-lain. Jumlah penerimaan APBN dari pajak ini menunjukkan tren meningkat dengan laju rata-rata 21,66 persen.
Sementara itu, dari sisi pengeluaran/penggunaan APBN 2012 sebesar Rp 1418 triliun. Paling besar digunakan untuk belanja pegawai, kedua membayar cicilan utang sebesar 12 persen, untuk belanja modal 18 persen. Dari belanja modal yang langsung bisa dinikmati rakyat itu secara riil hanya 10 hingga 12 persen.
Sedangkan proses penyusunan APBN butuh waktu 9 bulan dan memerlukan pengesahan dari DPR. Total waktunya setahun. ‘Selama proses penyusunan ini, kata Khoiri, juga terjadi negoisasi atau proses tawar menawar antar pejabat untuk fee supaya bisa disahkan. Tidak heran jika muncul kasus Nazaruddin, Angelina Sondakh dengan dugaan korupsi. Dan prosesnya itu sendiri tidak responsif terhadap rakyat misalnya ada jalan rusak, maka butuh waktu 1 tahun untuk bisa diperbaiki.
”Dengan proporsi pajak yang cukup besar pada penerimaan APBN akan berdampak pada penghasilan riil masyarakat berkurang, beban masyaraat semakin berat, potensi pendapatan sumber daya alam yang besar terabaikan. Produksi barang dan jasa pun kena PPn 10 persen sehingga harga jual juga meningkat. Karena penerimaan APBN selalu lebih rendah dari penggunaan mau tidak mau Pemerintah Indonesia harus utang dengan cicilan utang Rp 24 triliun per tahun,”tukasnya.
Ikhsan Abadi membandingkan antara ekonomi berbasiskan syariah Islam dengan ekonomi kapitalis. Ekonomi Islam selalu bertumpu pada sektor riil barang dan jasa, memperhatika kebutuhan masing-masing individu, pemerataan kekayaan merupakan tanggungjawab negara.
Dengan bertumpu pada ekonomi berbasis syariah Islam, pertumbuhan ekonomi akan meningkat karena uang mengalir di sektor riil. Imbasnya, ini bisa meningkatkan produksi barang dan jasa. Selain itu, bersifat stabil karena menggunakan dinar dan dirham dimana 1 dinar memiliki nilai yang tetap di kisaran Rp 1.250.000.
”Berbeda dengan ekonomi kapitalis menggunakan mata uang yang sewaktu-waktu nilainya bisa berubah. Apalagi sistemnya diserahkan pasar. Sedangkan ekonomi Islam, memperhatikan pembangunan hulu dan hilir dimana industri berat dikembangkan untuk penuhi kebutuhan dasarnya,”paparnya.Ustadz Arif Firmansyah Lajnah Mashlahiyah HTI DPD Jawa Timur menilai Indonesia akan tetap tergantung pada luar negeri kalau sistem negaranya tidak diubah. Padahal bahaya utang luar negeri itu membuat aspek ekonomi Indonesia berbasis riba.
Sejak zaman Orde Lama hingga sekarang, Indonesia hanya dijejali dengan khayalan pertumbuhan ekonomi oleh Amerika Serikat. Kenyataannya, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat malah membuat resesi.
Selama berpijak pada neoliberalisme yang berorientasi pasar dan bukan pro rakyat, kata Arif, jejak utang akan terus meningkat. Indonesia akan terus dijejali agenda IMF, terbelit dengan buaian penanaman modal asing, privatisasi dan ketergantungan ekonomi.
”Sudah saatnya Indonesia memiliki seorang khilafah untuk membangun Makkah (negara makmur dan barokah), karena sistem ekonomi dibangun berbasiskan syariah Islam bukan riba dan negara wajib menjamin kesejahteraan rakyatnya,”pungkasnya. (Beritasurabaya.net)
mantapzzz…Allahuakbar