Pihak berwenang Bangladesh telah dikecam karena menolak mengizinkan ratusan kaum Muslim yang tidak berkewarganegaraan yang melarikan diri dari kekerasan etnis yang melanda Burma Barat selama dua minggu terakhir. Krisis itu merupakan tantangan Presiden Burma Thein Sein, yang telah berjanji untuk bekerja menuju demokratisasi dan rekonsiliasi nasional.
Di hari ketika pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi meninggalkan Burma untuk melakukan tur ke negara-negara Eropa, laporan mengatakan kapal-kapal yang bermuatan lebih dari 1.500 komunitas Rohingya dalam beberapa hari terakhir dicegah memasuki perairan negara tetangga Bangladesh, di mana ratusan ribu orang tinggal di kamp-kamp tidak resmi.
Sedikitnya 21 orang tewas dan lebih dari 1.500 rumah dibakar dalam beberapa hari terakhir karena tindak kekerasan etnis terburuk dalam beberapa dasawarsa yang terjadi di negara bagian Rakhine, Burma. Saat PBB menarik stafnya dari daerah tersebut, Presiden Thein Sein mengumumkan keadaan darurat dan mengirimkan pasukan untuk menjaga ketertiban.
Ketegangan etnis di wilayah Burma itu telah berlangsung selama puluhan tahun dan komunitas Rohingya telah digambarkan sebagai masyarakat dunia yang paling teraniaya. Meskipun mereka telah tinggal di Burma selama berabad-abad, mereka hampir tidak memiliki hak apapun dan para aktivis mengatakan mereka selalu mendapat perlakuan buruk.
Komunitas Rohingya, yang ditolak kewarganegaraanya, wajib mengikuti aturan-aturan ketat yang mengatur di mana mereka bisa hidup. Setidaknya terjadi dua kali tindak kekerasan dalam beberapa tahun terakhir – yakni pada tahun 1977 dan 1992 – dimana sejumlah besar dari mereka telah masuk ke dalam wilayah Bangladesh.
Di Bangladesh situasinya sedikit lebih baik. Namun tidak ingin menerima lebih banyak dari mereka, pihak berwenang di sana melakukan apa yang mereka bisa untuk mencegah mereka masuk. Sekitar 28.000 pengungsi terdaftar pada pemerintah dan antara 200.000 hingga pengungsi 500.000 tinggal secara ilegal dan tidak mendapatkan dukungan resmi pemerintah.
Pemicu aksi kekerasan yang terakhir tampaknya adalah peristiwa pemerkosaan dan pembunuhan pada tanggal 28 Mei atas seorang wanita Buddhis, Thidar Htwe, yang diduga dilakukan oleh tiga pria Muslim. Kurang dari seminggu kemudian, sekitar 300 massa menghentikan sebuah bus yang membawa peziarah Muslim dan kemudian memukuli mereka hingga mati. Salah satu wanitanya diperkosa.
Chris Lewa, seorang aktivis veteran dan Kepala Proyek Arakan, mengatakan kemarin bahwa ketegangan telah berlangsung selama berbulan-bulan dan bahwa penduduk Arakan menentang komunitas Rohingya untuk mengambil manfaat dari media Burma yang semakin bebas dan membuat “opini yang bernada kebencian” terhadap masyarakat.
Chris Lewa mengatakan pemerintah sedang mencoba mengendalikan situasi, namun menurutnya langkah pertama adalah membatalkan semua hukum yang telah menjadikan Rohingya tidak memiliki hak apapun.
Tun Khin, yang memimpin sebuah organisasi Rohingya di Inggris, mengatakan sementara situasi telah mereda dalam 24 jam terakhir, adalah penting bahwa pemerintah pusat Burma lah yang mengambil alih keamanan, bukan pemerintah daerah. Dia menambahkan bahwa pemerintah negara bagian masih menangkapi mereka, memasuki desa-desa dan melecehkan mereka.
Para aktivis telah meminta Bangladesh untuk mengizinkan mereka masuk ke wilayahnya untuk menghindari kekerasan. Aktivis Human Rights Watch, Bill Frelick, mengatakan “Dengan menutup perbatasannya ketika kekerasan terjadi di luar kendali di Arakan, Bangladesh mengancam nyawa orang banyak.” Dia menambahkan bahwa di bawah hukum internasional, Bangladesh memiliki kewajiban untuk membuka perbatasan bagi orang-orang yang melarikan diri ancaman terhadap kehidupan mereka dan memberikan mereka perlindungan.
Thein Sein telah bersumpah untuk memimpin Burma menuju demokrasi yang sejati. Menurut pengamat, salah satu isu yang masih banyak menemukan kesulitan pengamat adalah bentrokan yang berkelanjutan dengan komunitas etnis, terakhir terjadi di negara bagian Kachin negara. Kekerasan di Rakhine adalah masalah lain bagi pemerintah sipil.
Para aktivis mengatakan bahwa sejumlah mantan tahanan politik menyalahkan Rohingya bagi kekerasan yang terjadi dan mengklaim bahwa mereka tidak memiliki hak di Burma. Awal pekan ini, Ko Ko Gyi, dari kelompok Mahasiswa Generasi 88 mengatakan “Muslim Rohingya bukanlah kelompok etnis Burma. Mereka adalah penyebab kekerasan … mereka datang dari seberang perbatasan dan negara-negara asing..” (` www.independen.co.uk, 14/6/2012)