Obama Sebagai Panglima Perang

Oleh Danny Schechter

New York, NY – Ketika Uni Soviet runtuh, banyak orang Amerika berharap bahwa Perang Dingin akan juga runtuh bersamanya, bahwa “keuntungan perdamaian ” akan mengakibatkan penyusutan Pentagon, dan bahwa pengeluaran belanja militer yang membengkak akan dialokasikan pada pos lain.

Mantra yang muncu saat itu adalah “musuh sudah mati”.

Namun,  itu hanya sementara.

Perang segera diganti dengan “musuh lama yang tetap hidup” namun diam, yakni ketika perang melawam teror menggantikan Perang Dingin. Perang ini bukanlah benar-benar hanya untuk memerangi kelompok teroris, tentu saja. Perang ini terutama adalah untuk menjaga agar kompleks industri militer tetap bekerja yang menjamin tersedianya semua pekerjaan di wilayah kunci, sambil mempertahankan keuntungan yang diperoleh oleh para kontraktor militer.

Sebuah ekonomi perang selalu membutuhkan perang. Rahasia besar di Washington adalah bahwa kapitalisme Amerika perlu sosialisme Pentagon untuk bisa bertahan hidup.

Serangan terhadap Menara Kembar WTC menjadi alasan untuk melakukan ekspansi besar, suatu aktivitas militer tanpa akhir. Dick Cheney memprediksi perang ini akan berlangsung lama, mungkin bisa bertahan hingga 50 tahun.
Sepuluh tahun dari masa 50 tahun itu telah berlalu tanpa akhir yang nyata. Ancaman yang ditimbulkan oleh Osama bin Laden melintas di wajah kita setiap hari sebagai sebuah wajah yang melukiskan kejahatan, bahkan walaupun saat para ahli di Afghanistan terus melaporkan bahwa semakin sedikit jihadis asing yang masuk ke negeri ini. Penyusutan pasukan mereka tidak menghentikan media untuk tetap menyoroti ancaman tak berujung dari mereka.

Status Musuh Nomor Satu’

Semua latar belakang itu terkubur: bagaimana AS meninggalkan Afghanistan setelah pasukan mujahidin yang didanainya mengusir Soviet. Washington berdiam diri saat terjadi perang saudara oleh para panglima perang yang bersaing di Afghanistan, yang menewaskan 50.000 orang.

Kemudian, AS mendorong, mengakui dan mulai membuat kesepakatan dengan Taliban sebelum 11/9, karena sebagian pembuat kebijakan AS melihat mereka adalah kekuatan “yang menstabilkan” –  hingga perlakuan brutal mereka terhadap kaum perempuan dan anak-anak gadid terlihat jelas dan menyebabkan kemarahan global.

Setelah 11/9,  saat AS gagal menghancurkan bin Laden dan Al Qaeda, Taliban diberikan status sebagai musuh nomor satu meskipun mereka bukanlah orang-orang yang menyerang Amerika. AS mengejar mereka, dan menginvasi negara mereka untuk memenuhi tuntutan yang populer agar modal bisa kembali, dan, sebagian, agar kami tidak lagi menemukan jaringan bin Laden setelah dia menyelinap pergi.

Apakah Al-Qaeda benar-benar ada? Banyak “ahli” yang tidak setuju keberadaanya. Mantan Menteri Luar Negeri Inggris, Robin Cook, menjelaskan kepada House of Commons bahwa “Al Qaeda” sebenarnya bukanlah kelompok teroris, tetapi merupakan database internasional kelompok mujahidin dan penyelundup senjata yang digunakan oleh CIA dan Saudi untuk menyalurkan senjata dan uang kepada Afghanistan yang diduduki Soviet. Sejak itu mereka telah muncul di Pakistan, Yaman, Afrika Utara dan Suriah. Jika Al-Qaeda memang ada, ia merupakan gerakan global yang terdesentralisasi, seperti apa yang Coca-Cola klaim dengan istilah “perusahaan multi-lokal “.

Intinya adalah, AS memerlukan musuh dan Taliban segera mengisi kebutuhan itu. AS telah berperang dengan Taliban selama satu dekade, tapi itu adalah perang yang tampaknya kita kalah, dan pada saat yang sama, telah kehilangan dukungan publik.

Ahli politik Michael Brenner menjelaskan:
“Ini merupakan perang salib tanpa akhir yang telah mencapai keadaan bergerak yang terus-menerus dan dihasilkan oleh pertemuan ideologi yang dogmatis, ketegaran intelektual, perhitungan politik yang sinis dan pengerahan tenaga dari kepentingan finansial dan profesional yang kuat. Saat ini, perusahaan-perusahaan -. atau setidaknya 90 persen jumlah itu – tampaknya akan keluar dari kenyataan. “

Mendapatkan ‘orang jahat’

Narasi perang tanpa akhir ini secara simbolik memerlukan “kemenangan” politik, terutama di negara yang mendanainya. Sama seperti pembunuhan Saddam Hussein merupakan suatu pencerahan perang Irak, pembunuhan dramatis bin Laden menempatkan hiasan pada kue di Afghanistan.

Pemburu besar Amerika yang berani akhirnya mendapatkan “orang jahat”. Walaupun pembunuhan itu tidak menjadikan situasi lebih baik dari sudut pandang militer AS, Amerika tetap membual. Dalam kehidupan (dan di TV), musuh-musuh Amerika itu menjadi berwajah jahat,  yang digambarkan sebagai Hitler di era modern.

Setelah mati – dan tentu saja tidak mampu berbicara kembali – mereka kemudian menjadi simbol yang hidup untuk digunakan dalam kampanye politik. Saddam memainkan peran itu untuk Bush, dan sekarang Osama memainkan peran itu untuk Obama.

Ingatlah, perang hari ini adalah lebih tentang persepsi dibanding kenyataan.

Masih ada begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab tentang bin Laden, perannya dan pembunuhan atasnya, tetapi media terus melaju dan tidak memperdulikannya sementara tidak demikian halnya bagi mantan perwira investigasi Pakistan yang keras kepala namun brilian, Shaukat Qadir.

Qadir telah menghabiskan ribuan dollar uangnya sendiri untuk melakukan penyelidikan rinci, yang sekarang muncul di monografi Kindle dengan judul “Operasi Geronimo: Pengkhianatan dan pembunuhan Osama bin Laden dan Akibatnya “. (Yang menarik adalah bagaimana Navy Seal yang membunuh bin Laden menamai operasi militer mereka dengan nama seorang pemimpin besar suku Indian!)

Saya menulis kepada mantan brigadir jenderal, yang mengatakan kepada saya mengapa Bush telah menolak Osama sebagai ancaman.

Dia juga mengatakan kepada saya:

“Kalau Anda amati, Obama perlu ancaman baru. Dalam konteks keseluruhan, ancaman yang dirasakan oleh AS sekarang datang dari Islam. Namun, beberapa negara / organisasi perlu mengidentifikasinya sebagai ‘Musuh’. Pembunuhan Osama diakukan untuk Obama, seperti halnya invasi ke Afghanistan dan Irak dilakukan untuk Bush.


Pembunuhan atas seorang manusia yang malang ini – dan saya pikir Anda dan saya tidak merasa kehilangan atas kematian Osama OBL maupun al-Qaeda – dirayakan di Amerika Serikat.

Jika wajahnya dipampang di media, banyak warga negara Amerika akan menjadi malu melihatnya seperti ketika mereka malu melihat Saddam keluar dari lubangnya, atau ketika Gaddafi tewas. “

“Saya percaya bahwa operasi ini tidak hanya bermotif politik,  namun juga adalah bagian dari perang psikologis yang diakukan untuk menghancurkan citra tentara Pakistan.”

Bencana Moral

Tidak heran jika Zbigniew Brzezinski, Penasihat Keamanan Nasional di era Jimmy Carter, mengatakan kepada Senat pada tahun 2007 bahwa perang melawan teror telah menjadi begitu berlebihan dan bahwa hal itu merupakan “mitos narasi sejarah “. Dia menyebut Irak sebagai suatu “bencana historis, strategis dan moral”.

Namun hal itu tidak menghentikan perang. Pemenang Hadiah Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz melaporkan $ 3-5 triliun telah dihabiskan untuk perang Irak, dan bahwa hal itu sangat buruk bagi ekonomi Amerika yang goyah.

Tak seorang pun pada elit penguasa di kedua partai yang tampak peduli. Mereka tidak bertanya lebih dalam karena mereka tidak ingin mengetahui jawaban – jawabannya yang akan mengungkap keserakahan mereka dan sikap loyalitas budaknya terhadap Pentagon, dan mempertanyakan narasi politik dan media yang dominan.
Jadi jika Anda mencari penjelasan mengapa perang ini terus terjadi, meskipun mayoritas publik menentangnya, Anda tidak bisa terpaku dalam antara debat pro dan kontra. Mereka merupakan perpanjangan dari kebijakan imperium yakni mengenai ekonomi nasional dan kepentingan pribadi yang dirasakan, bukan mengenai nilai-nilai.

Carilah jawabannya pada catatan anggaran dan alokasi yang merinci siapa mendapat apa, bukan pada pidato-pidato tak berujung tentang cinta kita terhadap demokrasi.

Menurut Anda, mengapa Presiden Obama memerintahkan pembunuhan itu (bukan dengan menangkap untuk diadili) atas bin Laden sebagai isu kampanye? Apakah karena dia tidak mampu memperbaiki perekonomian, kemudian dia bertindak sebagai seorang “panglima perang”?

Menurut Anda, mengapa perlu begitu lama untuk memulai pengadilan 11/9, dan mengapa hal itu dijadwalkan selama pemilihan presiden?

Mengapa Anda berpikir bahwa suatu lembaga elit seperti Universitas Yale telah mempekerjakan dan menghormati mantan Jenderal Stanley A MacChrystal, yang melakukan operasi militer kontra yang brutal di Afghanistan, sebagai seorang dosen tamu dalam mata kuliah “kepemimpinan”? (Sebelumnya, seorang pemimpin Amerika yang dikecam sebagai penjahat perang, Walt Rostow, yang merupakan penasehat utama Lyndon B Johnson pada Perang Vietnam, menjadi dekan Fakultas Hukum di Yale.)

Prajurit tua tidak pernah mati, mereka hanya beralih ke Liga Ivy.

Ini semua adalah bagian dari militerisasi ekonomi dan budaya Amerika. Militer selalu membutuhkan musuh untuk membenarkan keberadaan dan ekspansi mereka. Begitu mereka punya satu, mereka akan enggan untuk membiarkannya pergi. (RZ)

Sumber : Aljazeera.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*